SOLOPOS.COM - Siti Muyassarotul Hafidzoh, Peneliti pada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta. (FOTO/Istimewa)

Siti Muyassarotul Hafidzoh, Peneliti pada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta. (FOTO/Istimewa)

Setiap tanggal 29 September, kaum terpelajar di Indonesia yang bernama sarjana mesti merefleksikan jati dirinya dalam peran sosial kemasyarakatan. Kaum sarjana jangan sampai tenggelam dengan gelar kesarjanaan mereka, apalagi malah mencederai etika sosial kesarjanaan. Sekarang ini, kaum sarjana yang telah mendapatkan status sosialnya seringkali terjebak dalam gejolak politik kekuasaan yang makin menjauhkan diri mereka dalam peran sosial profetiknya. Di tengah gejolak politik kuasa, kaum sarjana sering kali menjadi corong kekuasaan, sehingga ia alpa memihak kebenaran yang diyakini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Memisahkan sarjana dalam gejolak politik kekuasaan memang rumit. Dhaniel Dhakidae (2003) telah menandainya, bahwa kekuasaan adalah bagian yang sulit ditinggalkan dalam dunia kesarjanaan. Pertaruhan eksistensi sarjana dan intelektual membuka ruang terbuka dalam gejolak kuasa politik. Mendekat dan atau menjauh dengan kuasa politik sangat menentukan arah sarjana dalam karier pemikirannya. Sepak terjangnya bisa berubah dan berbalik arah ketika harus bersinggungan dengan jalan politik. Bisa melahirkan revolusi besar dalam sebuah peradaban bangsa, bisa juga melahirkan tragedi dan pengkhianatan yang sulit dimaafkan.

Setiap kali Pemilihan Umum (Pemilu) akan digelar, kaum sarjana dan partai politik terjadi tawar-menawar posisi (bargaining position) yang terus mengejutkan opini publik. Ketika reformasi bergulir, aktivis-sarjana menggelorakan spirit perubahan dan perlawanan yang menggugah. Tidak sedikit sarjana yang kemudian menjadi ting-tang kekuasaan, berlabuh dalam jalur kuasa politik uang yang menggiurkan. Ada juga yang teguh dengan prinsip netralitas dan keajegan penelitiannya. Semua terus terjadi dan bergulir setiap waktu.

Dalam berbagai debat publik akhir-akhir ini, para sarjana muda tersebut begitu bersemangat menjelaskan visi dan misi mereka secara cerdas dan tangkas. Mereka ingin meremajakan kepemimpinan Indonesia agar tidak terjebak dalam kuasa kaum tua yang melanggengkan status quo. Deretan sarjana dan aktivis muda akan terus bergiliran menjadi berita media dalam perebutan kuasa. Berbagai argumentasi dilayangkan untuk menjustifikasi pentingnya kehadiran mereka dalam peta gerak Indonesia masa depan. Kehadiran mereka diimajinasikan sebagai sebuah gerak baru yang bisa mencerahkan dan membawa perubahan bagi Indonesia. Semangat anak muda dan spirit kesarjanaan yang menancap dalam diri mereka dikobarkan dengan segala upaya sebagai wujud peran serta dalam mengisi Indonesia. Perubahan Indonesia dijanjikan dengan sekian teori dan gagasan yang penuh warna-warni.

Sayang, sampai detik ini, kesarjanaan kritis masih minim hadir dalam diri sarjana Indonesia. Sarjana justru mendekam diri, mendengkur penuh ragu dalam melangkah dan terjebak dalam arus kapitalisme liberal yang menjerat. Lihat saja, pengangguran yang terjadi di mana-mana adalah akibat keterjebakan sarjana yang terpaku hidupnya dengan kegiatan pasar (market). Terjebak dalam arus pasar, sehingga sarjana tidak mampu melakukan kritik sosial yang bisa menginspirasikan gerakan pembebasan. Setiap kali tiba waktu pendaftaran PNS, di sana sarjana menjajakan hidupnya dengan penuh tragis, karena mengantre dan menunggu peluang yang masih belum pasti.

Matinya nalar kritis dan redupnya simpul gerakan pembebasan dari sarjana adalah kabar buruk yang sangat menyakitkan bagi dunia pendidikan di Indonesia.

 

Memihak Kebenaran

Relasi sarjana dan kekuasaan selalu mengundang polemik yang serius. Gramsci melihat bahwa sarjana haruslah memihak kepentingan-kepentingan kaum kelas yang sedang tumbuh. Gramsci melihat bahwa secara organis, sarjana harus menjalankan fungsinya yang pokok dan mencipta homogenitas kesadaran dalam merealisasikan keadilan bagi kaum buruh. Konsepsi Gramsci mengenai sarjana organik memang menimba inspirasinya dari interpretasi Marxis mengenai formasi sosial yang ada dalam konteks Eropa yang meletakkan persoalan-persoalan status sebagai bergantung pada kepentingan-kepentingan kelas.

Sementara dalam analisis Weberian, sarjana merupakan wakil terkemuka (sounding board) dari ranah ide yang tidak dengan sendirinya mendukung ide-ide yang kondusif buat kepentingan-kepentingan material. Para sarjana, lanjut Weberian, karena komitmen alamiahnya atas upaya pengejaran kebenaran serta keterlibatan bersama mereka dalam wacana nalar kritis, mengambil jarak, jika bukannya sekaligus memisahkan diri, dari masyarakat sambil tetap mempertahankan suatu perspektif kritis atas kekuasaan. Weber masih menoleransi keterlibatan sarjana dalam dunia politik sepanjang mereka itu adalah individu yang berpaham individualis yang memiliki komitmen untuk menyelamatkan dunia agar tidak menjadi penjara bagi individualitas dan menjadi kuburan bagi kebebasan (Yudi Latif: 25).

Pernyataan sangat tegas dilancarkan oleh Julien Benda. Menurut Imam Cahyono (2004), dalam perspektif Bendaian, jika seorang sarjana menjadi mesin politik kekuasaan berarti ia telah melakukan pengkhianatan. Hal ini merupakan kesalahan yang tidak terampunkan dari seorang sarjana. Semestinya sarjana menjadi moral oracle (orang bijaksana penjaga moral) sekaligus menjadi penyambung lidah rakyat untuk menyampaikan prinsip-prinsip moral. Kaum sarjana seharusnya mengambil jarak dengan proses-proses politik, bukannya menggunakan kemampuan sarjananya untuk mendukung kubu politik tertentu. Kehadiran kaum sarjana dalam ranah politik kecil kemungkinannya dapat menggulirkan ide-ide perubahan. Sebaliknya, hal ini akan membuatnya tenggelam, sekadar menjadi kaki tangan politik, alias budak-budak kekuasaan (servants of power).

Baik yang diwartakan Gramsci, Weber dan Benda, sarjana sepatutnya memihak jati diri kebenaran yang telah digelutinya. Jati diri sarjanaitas akan menjadi basis kesadaran terdalam sarjana dalam melangkahkan gerak dirinya. Dalam konteks ini, petuah Sartono Kartodirjo menarik. Bagi Sartono, sarjana perlu menjalankan mesu budi, yakni olah jiwa agar tidak tergoda dengan nafsu jasmaniah. Olah jiwa dengan penuh ketekunan, dedikasi dan teguh dengan kritisisme dalam menelaah fakta sosial. Mesu budi ini akan melahirkan asketisme sarjana, di mana sosok sarjana akan selalu memihak pada kejernihan hati nuraninya. Jernihnya hati nurani inilah yang menjadi basis gerak sarjana, baik berpentas dalam politik kekuasaan atau menjadi akademikus dalam kampus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya