SOLOPOS.COM - Tundjung W Sutirto, Pemerhati budaya Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret

Tundjung W Sutirto, Pemerhati budaya Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret

 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hari ini (21/5) tepat lima belas tahun momentum lengsernya Soeharto—akrab disapa Pak Harto, kini sudah almarhum—dari kursi kepresidenan Indonesia. Sejak saat itu, lembaran sejarah baru dibuka sebagai tonggak reformasi. Sukacita bangsa Indonesia menyambut reformasi seperti burung yang lepas dari sangkar kekuasaan otoriter.

Euforia politik di sana sini seperti pesta pora karena memasuki hidup baru yang kemudian sampai sekarang kita benar-benar telah barada di masa setelah Orde Baru. Harapan awal reformasi saat itu adalah Indonesia lebih jaya, lebih sejahtera, lebih makmur, lebih aman, lebih nyaman, lebih tenteram, lebih terbuka dan lebih enak.

Tetapi, setelah 15 tahun reformasi, faktual yang terjadi semakin jauh dari harapan-harapan bersama tadi. Indonesia tidak semakin baik tetapi malahan menuju negara gagal. Reformasi berada di persimpangan jalan. Indonesia saat ini saya sebut mengalami sakit epistemologis, yaitu sakit metode.

Saya sebut sakit metode karena metode yang digunakan untuk menuju cita-cita berbangsa dan bernegara adalah metode yang tidak sahih. Bahkan, banyak terjadi eksperimen di semua lini tentang bagaimana cara mengelola negara ini agar menjadi negara yang besar. Cara-cara yang ditampilkan oleh penguasa untuk mengelola negara mulai menghadapi resistensi dari rakyatnya sendiri.

Tentu, dalam kondisi negara yang terancam gagal orang mencari alternatif-alternatif pencerahan. Salah satunya adalah kemunculan kembali kecenderungan keromantisan terhadap masa lampau yang mungkin dirasakan lebih enak dibandingkan dengan masa kini. Salah satu wujud keromantisan itu ditunjukkan oleh maraknya gambar Pak Harto yang kemudian disertai tulisan yang berbunyi: Piye kabare, Le? Isih penak jamanku, ta?

Pemandangan seperti itu dari hari ke hari semakin marak dijumpai di mana-mana, terutama di jalanan. Ada pula yang terpampang di bagian kaca belakang kendaraan atau di bak truk yang lalu-lalang di jalanan. Bahkan, di banyak perempatan jalan berlampi pengatur lalu lintas ada pengasong  yang berjualan stiker bergambar Pak Harto tersebut yang dijual seharga Rp10.000.

Saya sempat bertanya kepada pengasong tersebut tentang hasil penjualan stiker itu. Sungguh luar biasa, dalam pandangan saya, karena ternyata jawaban yang saya dapat adalah setiap membawa seratus lembar hari itu langsung habis. Memang ada variasi bunyi tulisan dalam stiker. Tetapi, intinya adalah pesan simbolik dari seorang mantan presiden kepada generasi sekarang bahwa keadaan bangsa saat ini ternyata tidak lebih baik dari zaman ketika ia berkuasa.

Bahkan dari pemberitaan sebuah media massa disebutkan bahwa di Kabupaten Bojonegoro stiker bergambar Pak Harto  sempat booming. Percetakan sempat kewalahan menerima pesanan stiker bergambar Pak Harto tersebut. Fenomena sindiran sosial itu semakin meluas dan bisa menjadi idiom perpolitikan di Tanah Air kita.

Buktinya, ada baliho besar yang dipasang oleh partai politik (parpol) baru di sebuah petigaan jalan di kawasan Demangan, Kota Jogja, yang juga seolah-olah menjawab sindiran itu dengan menuliskan jawaban di baliho itu dengan bunyi: Kabare apik Mbah, tenang wae, isih penak jamanku saiki…he…he…! Artinya, parpol baru tersebut menganggap serius maraknya stiker bergambar Pak Harto tersebut.

Gambar dalam bentuk stiker itu menggambarkan Pak Harto, seorang mantan presiden Indonesia, dengan rambut yang putih sambil melambaikan tangan disertai senyum khasnya. Ketika stiker itu bertebaran di kawasan publik, mudah dilihat dan dibaca oleh siapa pun, di alam bawah sadar ada fenomena kerinduan kepada Pak Harto.

 

Protes Sosial

Menurut Sigmund Freud, seorang ahli jiwa awal abad ke-20, fenomena seperti itu secara kejiwaan adalah sebuah id di antara ego dan superego.  Orang melakukan sebuah tindakan karena di alam bawah sadar menginginkan kembalinya keromantisan yang menyebabkan seseorang (masyarakat) merasa happy.

Fenomena maraknya stiker bergambar Pak Harto tersebut bagi sebagian masyarakat menjadi simbol protes sosial. Masyarakat protes dengan membuat komparasi antarperiode kekuasaan yang notabene belum tentu kekuasaan pada masa lalu itu juga enak. Tetapi, simbol-simbol protes itu semakin mendapat tempat di hati masyarakat tatkala logika-logika kondisi berbangsa dan bernegara secara kontemporer semakin resisten. Dari hari ke hari resistensi sosial terhadap politik semakin jelas dengan semakin banyaknya warga yang memilih menjadi bagian dari golongan putih (golput)—tak menggunakan hak pilih–pada setiap pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Ketika di setiap pemilihan gubernur atau pilgub (mungkin termasuk Pilgub Jawa Tengah) angka golputnya tinggi, sudah pasti ada resistensi yang tinggi dan hal ini tidak dapat dianggap sebuah masa yang enak jika dibandingkan pada zaman Pak Harto dulu. Konstruksi pemikiran masyarakat yang gandrung Pak Harto dengan memasang gambar berwujud stiker tersebut jelas logika yang berbalik dengan suatu keadaan di era sekarang.

Pada masa Pak Harto soal pilgub tidak serumit saat ini. Pilgub zaman Pak Harto dulu amat sederhana, tidak seperti sekarang ketika setiap pemilihan kepala daerah penuh dengan trik, intrik dan kepalsuan. Hasil pemilihan kepala daerah saat sekarang di samping menghabiskan energi juga kemudian malah melahirkan raja-raja kecil yang merasa lebih berkuasa daripada presiden. Mungkin tingginya angka golput di setiap pilgub di seluruh provinsi di Indonesia menjadi logika pembenar bahwa zaman Pak Harto dulu lebih enak.

Bagi masayarakat yang gandrung masa Pak Harto juga merekonstruksi fakta bahwa tata hubungan bermasyarakat dan berbangsa lebih enak dulu daripada sekarang. Dalam kurun waktu 20 tahun pemerintahan Pak Harto (1978-1998), jarang terjadi keributan antarsuku, antargeng, antarpreman apalagi antarkampung, tawuran pelajar, pembakaran masjid, sampai soal teroris.

Premanisme, anarkisme, brutalisme pada zaman Pak Harto jelas ”digebug” (istilah yang dipakai Pak Harto dulu) dan diproses sekalipun dilakukan secara tertutup. Sedangkan tindakan vigilante (pembangkangan sipil) pasti ditangani secara represif. Pada masa Pak Harto juga ada korupsi. Tetapi, mungkin dipaksa bungkam atau entah sebab yang lain. Yang jelas, korupsi tidak vulgar, tidak terjadi secara masif dan bergerombolan seperti saat ini.

Zaman sekarang justru menjadi lebih enak bagi koruptor karena sekalipun tertangkap tangan masih bisa dengan enak tersenyum dan melambaikan tangan. Vonis pidananya amat ringan, bahkan dengan berbagai dalil koruptor bisa bebas atau setidaknya tidak tidur di penjara. Banyak kaum muda seusia Gayus H Tambunan yang lihai bermain jurus-jurus korupsi. Ukuran enak di zaman Pak Harto tentu soal ekonomi dan kebutuhan sandang. Harga dan bahan-bahan kebutuhan pokok relatif aman, terjamin dan terkendali.

Meskipun penghasilan rata-rata pada masa Pak Harto masih kecil, namun dibandingkan dengan harga-harga masih terjangkau. Kondisi itu terbalik dengan sekarang. Meskipun gaji dan penghasilan rata-rata sudah naik,  ternyata lebih besar lagi kenaikan harga-harga sehingga daya beli rupiah terhadap kebutuhan pokok menjadi lemah.

Pada zaman Pak Harto posisi Indonesia dalam soal hubungan dalam kawasan regional maupun internasional disegani kawan dan lawan. Indonesia saat itu memiliki politisi dan negarawan ulung yang dikenang sepanjang masa oleh kawan dan lawan baik di dalam maupun luar negeri. Tidak seperti sekarang, negara menghadapi ancaman seperatisme dalam negeri dan pelecehan oleh negara tetangga.

Jadi, ketika di masyarakat saat ini muncul kerinduan kepada Pak Harto melalui gambar stiker atau di meda sosial, itu sebenarnya bentuk sindiran yang di dalamnya ada protes terhadap rezim kontemporer yang berkuasa. Ini tidak dapat disalahkan dan kalau semakin hari kondisi bangsa dan negara semakin menuju negara gagal, kerinduan itu akan semakin besar dan Pak Harto dengan segala kelebihan dan kekuranganya pada zamannya akan ”hidup kembali”. (tunjung_ws@yahoo.co.id)



 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya