SOLOPOS.COM - Rumongso Guru SD Djama’atul Ichwan Solo. (FOTO/Istimewa)

Rumongso
Guru SD Djama’atul Ichwan
Solo. (FOTO/Istimewa)

Sebagian besar media baik cetak maupun elektronika, Rabu (9/1), memberitakan hal ihwal rintisan sekolah bertaraf internasional/sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI). Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pada Selasa (8/1) yang dipimpin Ketua MK, c, mengabulkan seluruh permohonan uji materi Pasal 50 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengenai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/RSBI di sekolah–sekolah milik pemerintah yang dilakukan oleh beberapa individu atau kelompok masyarakat.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Pertimbangannya jelas bahwa RSBI bertentangan dengan UUD 1945. Mengapa? RSBI adalah bentuk baru dari liberalisasi pendidikan dan menjauhkan rakyat dari akses terhadap pendidikan yang bermutu. Dalam praktiknya RSBI hanya mengakomodasi kalangan kaya. RSBI melahirkan dualisme pendidikan yang berpotensi menghilangkan jati diri bangsa. Kita wajib memberi apresiasi kepada anak bangsa yang peduli dengan dunia pendidikan. Semua anak bangsa yang memiliki pemikiran jernih pasti mengamini keputusan MK tersebut.

Semua keputusan MK bersifat final/final bidding yang artinya tidak ada upaya hukum yang lain seperti kasasi atau melakukan peninjauan kembali sebagaimana dikenal dalam peradilan umum. Pemerintah harus melaksanakan segala keputusan MK itu. Jika tidak, pemerintah akan dituduh melawan UUD 1945. Kita menunggu apakah yang akan dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan terkait keberadaan RSBI. Ada kekhawatiran setelah penghapusan RSBI pemerintah akan memberikan baju baru untuk RSBI yang keberadaannya sudah dianggap ilegal itu.

Pengalaman menunjukkan pada saat MK membubarkan BP Migas karena bertentangan dengan UUD 1945, pemerintah lalu membuat lembaga baru bernama Satuan Tugas yang fungsinya mirip BP Migas yang dibubarkan.  Bisa saja RSBI hanya berganti baju. Ini penting sebab dalam pernyataan setelah penetapan keputusan MK itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, akan mengubah RSBI yang dibubarkan itu menjadi Sekolah Kategori Mandiri (SKM). Kalau begini maka yang terjadi ”habis RSBI terbitlah SKM”.

RSBI adalah anak haram dalam sistem pendidikan di Indonesia. Jangan heran bahwa mahkluk bernama RSBI menjadi kontroversi di dunia pendidikan. Saya tidak mengucapkan duka cita dengan penghapusan RSBI oleh MK. Namun, saya mengucapkan dalam Bahasa Latin requescat in pace (RIP) atau rest in peace yang artinya beristirahatlah dalam damai.

RSBI akan menjadi bagian dari sejarah masa lalu dunia pendidikan kita. Ia adalah wujud dari pengelolaan pendidikan yang salah. Kematian RSBI jangan pula dibuatkan monumen kenangan. Ia bukanlah bentuk heroisme anak bangsa sebagaimana program Indonesia Mengajar yang digagas oleh intelektual muda Anies Baswedan.

Setelah keputusan MK ini semua pihak berharap dunia pendidikan kita semakin ramah kepada siapa pun anak bangsa tanpa membeda–bedakan latar belakang sosial ekonomi. Sesuai dengan jaminan konstitusi kita, setiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan. Frasa ”setiap warga negara” berarti siapa pun warga negara itu, kaya miskin, semua berhak memperoleh pelayanan pendidikan yang baik dan bermutu.

Dalam beberapa tulisan saya di media massa, saya selalu mengkritik keberadaan RSBI. Ini bukan dilatarbelakangi kebencian saya terhadap institusi RSBI, namun dilatarbelakangi pemahaman saya bahwa pendirian sekolah berstatus RSBI adalah sebuah wujud bahwa kita menari mengikuti gamelan yang ditabuh orang lain.

Tidak mengherankan jika penolakan atas RSBI terjadi di mana–mana. Penolakan itu terjadi karena munculnya sekolah berstatus RSBI menjauhkan orang–orang miskin dari akses terhadap pendidikan yang baik. RSBI kemudian dipelesetkan menjadi rintisan sekolah bertarif internasional.

Keberadaan RSBI yang diharapkan menjadi lokomotif peningkatan mutu pendidikan ternyata meleset. Temuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa mutu RSBI kalah dengan sekolah reguler biasa semakin memberikan pembenar bahwa RSBI tidak lebih dari komersialisasi pendidikan.

Balitbang Kemendikbud menggarisbawahi bahwa jika sekolah reguler diberikan fasilitas yang memadai, mereka akan mampu mengangkat mutu pendidikan. Artinya, tidak ada gunanya mempertahankan RSBI dari segi mutu. Keputusan MK adalah palu godam buat RSBI dari sisi  relevansi UU dengan UUD 1945.

Sekolah Tanpa Diskriminasi

RSBI didirikan tidak berpijak kepada Ibu Pertiwi yang penuh welas asih kepada semua anaknya. RSBI hanya menjadi sekat pembatas antara mereka yang anak orang kaya dengan anak orang miskin. Ada yang mengatakan bahwa RSBI sudah memberi peluang kepada anak miskin untuk masuk tetapi ternyata tidak ada siswa miskin yang masuk sebab mereka takut dan ngrumangsani bahwa sekolah itu diciptakan bukan untuk golongan orang miskin.

RSBI muncul karena kedaulatan atas pendidikan kita gadaikan tanpa pernah tahu kapan mampu menebusnya. Keputusan MK yang membatalkan keberadaan RSBI adalah kemenangan bangsa Indonesia. Dari RSBI itu hanya akan lahir anak–anak pandai dan hebat dari kalangan yang mampu saja. Tetapi, mereka kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia.

Mereka lebih bangga dengan hal–hal yang  berbau asing dari pada hal– hal yang beridentitas Indonesia. Mereka menjelma menjadi anak yang sadar diri bahwa mereka berbeda dengan anak–anak Indonesia yang lain sebab mereka berasal dari golongan kaya, bersekolah dengan label internasional.

Jangan heran jika mereka kelak tidak akan bisa menjadi manusia Indonesia yang utuh. Mengapa? Sebab selama mereka sekolah di RSBI itu alam pikir mereka didesain tanpa pijakan keindonesiaan. Kelak mereka akan menggadaikan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya buat bangsa lain. Bukan buat kemakmuran bangsanya.

Setelah pembatalan RSBI, pemerintah tidak usah malu. Yang saat ini diperlukan adalah SRBI. Apakah SRBI itu? Sekolah rakyat bertaraf internasional. Sekolah yang inklusif dan mampu dijangkau oleh semua kalangan. Pemerintah juga harus bersifat adil kepada anak bangsa. Keberpihakan pemerintah kepada kalangan kurang mampu dalam dunia pendidikan masih kurang. Usaha peningkatan mutu pendidikan tidak harus dilakukan dengan membuat cluster sekolah yang berujung kepada kastanisasi sekolah.

Pendidikan yang yang tidak diskriminatif kepada semua anak bangsa akan membangun optimisme. Anak yang hari ini duduk di bangku–bangku sekolah yang yang memberi akses kepada siapa pun anak bangsa itu kelak akan mampu bertindak untuk membebaskan bangsa dari keterpurukan. Pendidikan yang tidak diskriminatif kepada semua anak bangsa itu tidak membelenggu, tetapi membebaskan. Untuk kasus penghapusan RSBI ini, RIP bisa juga singkatan dari ”relakan ia pergi”. Jangan pernah menyesali kepergian RSBI!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya