SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi bandungmawardi@yahoo.co.id Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi  bandungmawardi@yahoo.co.id  Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi
bandungmawardi@yahoo.co.id
Pengelola Jagat Abjad Solo

Sepak bola mengandung seribu makna, mulai dari kaus sampai doa. Peristiwa orang-orang berebutan bola di lapangan mengartikan olahraga dan produksi pelbagai makna politik, identitas, religius, ekonomi. Para pemain bergerak di lapangan, mengurusi bola untuk membuat gol.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Penonton menggerakkan kata, berteriak, atau melantunkan lagu. Gerak tubuh pemain dan bola mengarah ke selebrasi kolektif, menginginkan gol dengan ejawantah ekspresif: dari tepuk tangan sampai bersujud. Kita melihat adegan di lapangan sepak bola tak melulu menendang bola, melempar bola, menjegal, berlari.

Adegan di lapangan juga memunculkan pesan-pesan religius. Kita bisa melihat adegan religius itu saat para pemain Indonesia membuat selebrasi gol di pertandingan-pertandingan Piala AFC U-19. Pencetak gol, para pemain, pelatih lekas bersujud, mencium tanah untuk berdoa.

Mereka berterima kasih kepada Tuhan yang memberi kekuatan dalam peristiwa pertandingan sepak bola. Tuhan selalu bersama mereka. Sujud menjadi tindakan ekspresif dan dramatik, menampilkan pengakuan hamba atas kuasa Tuhan. Gol dan sujud perlahan memberi ingatan pada penonton tentang religiositas sepak bola.

Bersujud memang sering terjadi saat orang melakukan ibadah salat. Sujud pun dilakukan oleh orang-orang dalam peristiwa-peristiwa tertentu berdalil doa atas segala berkah dari Tuhan. Adegan bersujud terjadi di lapangan saat suara penonton bergemuruh dan tepuk tangan penonton bergema setelah terjadi gol.

Kita melihat para pemain Indonesia mengekspresikan diri dengan bersujud. Mereka memerlukan laku religius, mengartikan sepak bola tak cuma urusan kemenangan. Doa selalu ada dalam permainan sepak bola. Sarlito Wirawan Sarwono (Koran Sindo, 13 Oktober 2013) memberi ungkapan impresif untuk menanggapi adegan-adegan para pemain Indonesia.

Selebrasi gol mengandung laku khusyuk dalam pertandingan sepak bola. Khusyuk itu tampak saat Evan Dimas menceploskan gol ke gawang lawan, Timnas Kores Selatan, yang memunculkan rentetan adegan melampiaskan emosi: berlari, mengepalkan tangan ke atas, sujud, tertawa, menangis. Khusyuk diperlukan dalam sepak bola, tak cuma saat menjalankan salat.

Khusyuk mengandung pengertian mencurahkan seluruh pikiran dan emosi dalam tindakan. Kita pun mafhum bahwa khusyuk dan tindakan religius di lapangan sepak bola mengacu ke kualitas kondisi jiwa-raga pemain.

Sabtu, 12 Oktober 2013, jutaan penonton melihat pertandingan menegangkan antara Indonesia melawan Korea Selatan. Indonesia menang 3-2. Kemenangan itu harus diperoleh dari peristiwa 90 menit di lapangan, bertanding untuk membuat gol. Adegan bersujud terjadi berulang, setelah ada gol.

Sujud berjemaah pun dilakukan setelah pertandingan berakhir. Timnas  Indonesia bersujud sebagai doa dan terima kasih atas kuasa Tuhan. Bersujud menimbulkan nuansa baru dalam persepakbolaan di Indonesia.

Kemenangan beraroma religius, diekspresikan dengan bersujud, atau berlutut dengan menangkupkan kedua tangan di dada (Koran Tempo, 14 Oktober 2013). Mereka insaf bahwa Tuhan memiliki kuasa atas segala ikhtiar para pemain di lapangan sepak bola.

Kita mulai diingatkan bahwa sepak bola di Indonesia mengandung pengertian religius. Selebrasi religius atas kemenagan Indonesia bisa menjadi momentum untuk meniliki sejarah sepak bola berkaitan dengan agama.

Majalah Medan Moeslimin edisi 15 Mei 1915 memuat surat pembaca, berisi masalah sepak bola dan agama. Surat pembaca itu demikian: Dengen ini soerat saia moehoen tanjak pada toean oleh krana anak-anak Boemi Poetra sekarang banjak kang gemar maen voetbal dari itoe saia moehon tanjak keterangan pada toean redacteur apakah itoe permainan voetbal ada melanggar sarak igama Islam?

Majalah Medan Moeslimin terbit di Solo, dipimpin Haji Misbach. Majalah itu berisi penjelasan agama dan politik, reaksi literer atas kolonialisme. Kebimbangan si pembuat surat pembaca mendapat jawab dari redaksi: Igama kita tiada sekali-kali melarang pada orang jang main voetbal. Terseboet sjarah minhadj seperti toehpah d.l.l.s. dalam bab ’kitaboessabaq’ adalah keterangan bahoewa main bal dengen toengkat atau lain-lain jang ada sama faedahnja dengan itoe, boleh sadja, sala tiada pake bertaroekan dan toada mengachirken wektoe sembahjang. Ajooh! Saudara, djangan oendoer, boedilah kesehatan badan saudara,  djangan ambil memet akan santri jang bilang charam itoe. Adanja igama kita ditjela dan dihinaken oleh lain fihak ialah dari sebab perboeatannja santri sematjam itoe. Sedikit-sedikit bilang, charam, kafir, apa ertinja.

 

Dilema

Sejak awal abad XX, sepak bola atau sepak raga memang mengandung pelbagai dilema berkaitan agama, politik, pendidikan. Pengertian kaum ulama, kaum pergerakan politik, pemerintah kolonial sering berbeda, bergantung pamrih dan misi sepak bola.

Surat pembaca di Medan Moeslimin membuktikan ada curiga bahwa sepak bola adalah representasi olah raga dari kaum kafir. Olah raga ini dikenalkan oleh kaum Eropa di Indonesia di masa kolonialisme, mengakibatkan ada sangkaan bahwa segala hal berbau Eropa cenderung haram.

Sikap menolak perlahan berubah. Sepak bola justru bisa menjadi ekspresi mengolah nasionalisme, identitas, religisositas. Cerita sepak bola di Indonesia mulai berubah. Fenomena religius para pemain di Piala AFC U-19 memberi ingatan bagi kita, sepak bola itu religius.

Ekspresi religius memberi jeda, hening sejenak. Sepak bola tak mutlak keringat dan teriakan. Ada hening di keramaian: doa. Waktu terus bergerak, sampi pertandingan berakhir. Di sela gerak waktu ada kesadaran religius.

Kita bisa mengutip puisi berjudul Sepakbola (2005) gubahan Acep Zamzam Noor: Waktu adalah gelanggang olahraga, nampaknya:/ Banyak lapangan, banyak permainan, tapi selalu berujung/ Pada kalah dan menang.

Waktu dan olahraga diartikan oleh para pemain Indonesia dengan jeda religius meski detik-detik terus melaju sampai wasit meniup peluit, tanda pertandingan berakhir. Kemenangan dicapai merujuk ke sujud dan doa sebagai ekspresi religius.

Stigmatisasi atas sepak bola sebagai ekspresi tubuh berbalut pamrih politik, bisnis, popularitas, perlahan mendapat imbuhan konstruktif: religiositas. Sepak bola di Indonesia mulai bergelimang doa-pengharapan.



Pemaknaan sepak bola terus berlangsung dengan keinsafan dan eskpresi khusyuk, mengelak dari sikap-sikap politis dan destruktif. Sepak bola membuat kita masih memiliki gapaian makna keindonesiaan dan religiositas ketimbang terpuruk di urusan korupsi dan politik licik. Kita turut berdoa, melafalkan doa, agar Tuhan memberi berkah dan kemenangan.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya