SOLOPOS.COM - Bonari Nabonenar (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (15/6/2016), ditulis Bonari Nabonenar. Penulis adalah penekun sastra Jawa yang tinggal di Trenggalek, Jawa Timur.

Solopos.com, SOLO — Dua hal yang mendasari esai Keliek S.W., Ke Mana Perginya Pulung Sastra Jawa  (Solopos, 8 Juni 2016), adalah anggapan bahwa pulung sastra Jawa pernah tinggal di Solo, terutama saat Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) giat memfasilitasi berbagai kegiatan sastra Jawa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Jika mau mengungkap semua hal yang mendukung anggapan itu tentu akan kita saksikan daftar yang sangat panjang, dari Wulangreh, Wedhatama, Centhini, hingga naskah lakon Teater Gapit. Kini Keliek melihat kemeriahan kegiatan sastra Jawa di wilayah lain, sementara Solo dia anggap sepi sejak era 1990-an. Begitukah?

Saya setuju bahwa sastra Jawa pernah mengalami zaman keemasan di Solo, pulung sastra Jawa pernah ”tinggal” di Solo. Saya kurang sependapat dengan pernyataan sekarang ini Solo kalah dinamis dalam urusan sastra Jawa (modern) dibandingkan dengan daerah-daerah lain.

Taman Budaya Surakarta (TBS) yang kini jadi Taman Budaya Jawa Tengah di Solo yang tumbuh dari cikal bernama PKJT dalam kacamata saya masih jauh lebih akomodatif terhadap sastra, termasuk sastra Jawa, jika dibandingkan dengan Taman Budaya Jawa Timur.

Itulah sebabnya bersama Keliek saya memilih menemui Moertidjono sebagai Kepala TBS waktu itu (2001) untuk menggelar Kongres Sastra Jawa yang pertama. Kami menyiapkan segala sesuatunya, membuat proposal, mencetak dan menyebarkan undangan, dari Surabaya.

Acara-acara pementasan sastra, termasuk sastra Jawa, juga sesuatu yang tidak susah untuk kita lacak di agenda tahunan TBS. Di pihak lain, kita pelototi tujuh hari tujuh malam pun belum tentu ketemu acara sastra Jawa yang diinisiasi dan digelar oleh Taman Budaya Jawa Timur.

Paling banter yang bisa terjadi di Jawa Tmur, setahu saya, adalah Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) menggelar acara sarasehan atau parade membaca guritan dengan meminjam tempat.

Ketika di luar Solo menjamur sanggar-sanggar sastra (Jawa), seperti Sanggar Pari Kuning (Banyuwangi), Sanggar Triwida (Tulungagung), Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro, Sanggar Roro Jonggrang (Jogja), Sanggar Pramesthi (Semarang), Solo memang seperti sepi-sepi saja. Kemeriahan sanggar-sanggar itu tidak selalu berbanding lurus dengan capaian literer orang-orang di dalamnya.

Ingat, sanggar tidak bisa dibesarkan dengan semangat gerombolan atau semacam lembaga yang setiap anggotanya menghadiri acara diwajibkan mengenakan pakaian seragam nyaris mirip apa yang dilakukan anggota partai politik yang sedang berkampanye.

Ingatlah pula bahwa yang sempat disebut Keliek, seperti Roeswardiyatmo, Sukardo, Daniel Tito, Arswendo Atmowiloto, Moch. Nursyahid Purnomo, Poer Adhie Prawoto, dan lain-lain yang beraktivitas di wilayah Soloraya termasuk, jangan lupa, Keliek S.W sendiri, tidak hanya menulis dalam bahasa Jawa, tetapi juga dalam bahasa Indonesia.

Bisa jadi kenyataan demikian mengabarkan adanya ruang interaksi yang lebih luas, lebih cair, dan membuat mereka cukup asyik walau tidak menggabungkan diri ke dalam sebuah sanggar.

Sangat spekulatif memang, tetapi ketiadaan sanggar atau paguyuban sastra Jawa yang signifikan di Solo ketika di wilayah lain merebak bukanlah hal yang patut dipusingkan atau memancing rasa iri. [Baca selanjutnya: Teknologi Komunikasi]Teknologi Komunikasi

Solo juga telah memiliki rumah budaya, Balai Soedjatmoko, yang bahkan tidak atau belum dimiliki kota sebesar Surabaya. Itu semakin melengkapi TBS yang sangat akomodatif terhadap sastra Jawa.

Lalu, lahir koran yang merontokkan mitos Solo adalah makam media (cetak), yaitu Solopos, yang memiliki halaman Jagad Jawa, persis seperti taman kota yang disiapkan untuk menjamin ketersediaan udara yang lebih segar ketika banyak pihak sibuk memperjualbelikan space iklan.

Yang tak kalah menariknya adalah lahirnya komunitas Pawon Sastra yang diurus dan beranggotakan kaum muda kreatif dengan militansi yang tinggi di bidang literer. Sanggar itu menerbitkan buletin, buku, menyelenggarakan pelatihan menulis, sarasehan, dan pementasan sastra secara berkala.

Kalau merujuk sistem, saya tidak melihat sanggar-sanggar atau paguyuban sastra Jawa di luar Solo sekarang ini yang diurus atau dikelola sebagus Pawon Sastra. Itu baru yang dapat saya lihat dari kejauhan. Pada titik ini, saya yakin sesungguhnya Keliek tidak sedang benar-benar cemburu.

Ia tampak gelisah, seperti seorang pesepak bola senior yang menarik diri ke luar arena untuk beberapa lama dan melihat ada banyak peluang menjebol gawang lawan yang tidak dimanfaatkan oleh kawan-kawannya yang sedang berlaga.

Berbeda dengan Keliek yang memakai istilah ”pulung sastra Jawa” untuk ngopyak-opyak para pengarang/sastrawan Jawa di wilayah Soloraya, Suripan Sadihutomo pernah memakainya untuk mbombong para pengarang sastra Jawa di wilayah Jawa Timur.

Pada akhir 1980-an (seingat saya) Suripan pernah melontarkan pernyataan bahwa pulung sastra Jawa wis bali ngetan (pulung sastra Jawa telah kembali ke Jawa Timur). Pertanyaannya sekarang adalah masihkah penting–jika pun dianggap ada–pulung itu diperebutkan oleh semua komunitas (sastra Jawa), oleh Solo, Jogja, Surabaya, Tegal, Tulungagung, atau oleh Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY?

Mari kita bayangkan yang disebut pulung itu sejenis bola cahaya yang turun dari langit lalu melayang-layang di udara sebelum hinggap di suatu tempat untuk menjadi semacam pemancar ulang energi positif bagi suatu wilayah, kaum, keluarga, atau seseorang.

Mungkin itu lebih mendekati pulung yang biasanya banyak dibicarakan orang menjelang pemilihan kepala desa. Dalam kaitannya dengan sastra Jawa (gagrag anyar), saya lebih melihat pulung itu ialah teknologi komunikasi terkini yang memungkinkan berlipatgandanya potensi pengembangan bahasa dan sastra Jawa.

Pulung itu sedang mengudara sekarang ini, melintasi seluruh muka bumi, dan membuat kita semua menikmati kecanggihan aji pameling, panrawangan, dan sejenisnya tanpa harus melalui lelaku yang berat. Pulung (sastra Jawa) itu ada di Solo, Jogja, Surabaya, Tegal, Semarang, Bojonegoro, Lamongan, Rembang, Pati, di semua tempat. Kita mau menangkap pancarannya atau tidak, itulah persoalannya!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya