SOLOPOS.COM - Daniel Tito (Istimewa)

Gagasan Solopos, Jumat (1/7/2016), ditulis Daniel Tito. Penulis adalah pengarang dan pegiat sastra Jawa serta Ketua Panitia Kongres Sastra Jawa I di Solo. Saat ini, penulis tinggal di Sragen.

Solopos.com, SOLO — Hadir dengan esai pendeknya yang kenes bertajuk Ke Mana Perginya Pulung Sastra Jawa? (Solopos, 8 Juni 2016), Keliek S.W sukses. Setidaknya sukses nggugah macan turu. Membangunkan harimau tidur.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Jauh sebelumnya, Suripan Sadi Hutomo, guru besar Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya atau Unesa) juga menyentak dengan mengatakan pulung sastra Jawa telah berpindah dari Solo ke Surabaya.

Waktu itu, entah karena sungkan atau menganggap kurang bermanfaat, tak banyak yang menanggapi apa yang dikemukakan Suripan itu. Memangnya begitu penting memperdebatkan soal keberadaan pulung dibanding kondisi sastra Jawa itu sendiri?

Jangan-jangan itu hanya akan membuat lebih tegas dan nyata tamsil pinisepuh yang berbunyi rebut balung tanpa isi, berebut sesuatu yang tak ada manfaatnya. Akan tetapi, bolehlah kita sekarang berbusa-busa memasalahkan pulung. Sekadar untuk regeng-regeng, menghangatkan suasana, daripada amem dan blangkemen (sepi dan diam seribu bahasa).

Sekali-sekali sastra Jawa juga membutuhkan panggung untuk menunjukkan eksistensinya, bahwa sastra Jawa masih bernapas, belum (benar-benar) tewas seperti dugaan banyak orang selama ini.

Saya pribadi jika dipaksa membicarakan pulung yang dikaitkan dengan sastra Jawa lebih cenderung kepada aktivitas terbesar sastra Jawa itu sendiri. Pada era 1960-an hingga 1970-an, begitu semarak penerbitan karya sastra Jawa di Solo, hingga diberangusnya novelet-novelet saku yang lebih dikenal dengan roman panglipur wuyung, roman picisan, oleh pemerintah Orde Baru karena dianggap merusak mental (mental yang mana?).

Kemudian sarasehan Sastra Jawa yang paling spektakuler juga diselenggarakan berkali-kali di Solo dari kurun waktu 1971 hingga 1981 dengan markas besarnya bernama Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) di Dalem Sasanamulya di bawah asuhan S.D. Humardani yang lebih akrab disapa Pak Gendon.

Keliek benar ketika menyodorkan catatan kegiatan sastra Jawa di Solo pada dekade itu. Dia masih anak sekolahan (baca: mahasiswa Jurusan Sastra Jawa Universitas Sebelas Maret atau UNS Solo) dan saya (ehem…) sudah tercatat sebagai pengarang hanya karena rajin menulis di dua media: Koran Dharma Nyata dan Dharma Kandha.

Jika benar bahwa pulung merupakan simbol atau penanda aktivitas terbesar, sejatinya pulung sastra Jawa itu ada di mana-mana dan bisa berpindah-pindah ke mana-mana. Sewaktu-waktu. Tak keliru Suripan, kala itu, mengatakan pulung sudah berpindah dari Solo ke Surabaya.

Pulung itu pindah setelah media-media berbahasa Jawa di Solo, yaitu Dharma Nyata, Dharma Kandha, Parikesit, Jawa Anyar tewas,  ngemasi, berguguran satu per satu, yang masih hidup sehat tinggal Panjebar Semangat dan Jaya Baya di Surabaya.

Dua media itulah yang menjadi ladang tersubur persemaian dan pertumbuhan sastra Jawa. Kemudian ketika guru Bahasa Jawa di SMK Kesatrian Purwokerto, Jefrianto, mengatakan pulung sastra Jawa layak jatuh di Barat (Tegal) yang punya media berbahasa Jawa Panginyongan (Solopos, 24 Juni 2016) juga tak bisa disalahkan.

Bisa juga pulung itu pernah jatuh di Belanda pada era 1980-an tatkala J.J. Rass menemukan buku kumpulan geguritan (dicetak stensilan) karya panggurit-panggurit Blora bertajuk Napas-Napas Tlatah Cengkar di perpustakaan Leiden, yang justru tak beredar di Indonesia.

Dengan begitu sebenarnya bisa dipahami seandainya Dhanu Priyo Prabowo yang Peneliti Utama Bidang Sastra di Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ikut ngotot bahwa pulung sastra Jawa sudah lama bercokol di Jogja karena di sana masih terbit secara teratur Majalah Djaka Lodang dan Mekarsari yang sekarang tetap hidup secara magersaren, menginduk koran harian yang menghidupinya.

Juga kegiatan-kegiatan diskusi, pelatihan penulisan sastra Jawa, yang kemudian ditampung pada majalah sastra Jawa, Pagagan. Ternyata tidak. Meskipun mengakui aktivitas sastra Jawa itu bergiat secara nyata di Jogja, Dhanu justru percaya pulung itu bisa balik ke Soloraya dengan hadirnya Harian Solopos yang menerbitkan tulisan sastra Jawa setiap Kamis yang kualitasnya–menurut Dhanu–lebih bagus daripada di media-media lain sejenis. Salahkah? Tidak juga.

Saya lebih tertarik untuk mendoakan agar lembar Jagad Jawa di Solopos tidak semakin mungkred (berkurang). Saya sudah tidak gembeng, gampang menangis, tapi terenyuh juga ketika menyaksikan lembar Jagad Jawa yang setiap Kamis pagi selalu saya sisir pada kesempatan pertama itu berkurang dari empat halaman menjadi dua halaman dan sekarang satu halaman.

Mudah-mudahan tidak jadi setengah halaman kemudian seperempat halaman, lalu seperti novel Margaret Mitchell, Gone With The Wind. [Baca selanjutnya: Gagrag Anyar]Gagrag Anyar

Suka atau tidak, sastra Jawa (apalagi yang berlebel gagrag anyar) berbeda dengan sastra Indonesia, apalagi sastra dunia. Profil sastra Jawa bisa dilihat dari banyak buku.

Sekadar menyebut, bisa disimak di buku Sosiologi Sastra Jawa (1997) karya Suripan Sadi Hutomo hingga yang paling gres karya Supato Brata, Srawungku Karo Sastra Jawa (2015).

Kebanyakan karya sastra Jawa ditulis oleh orang pedesaan, guru desa, pegawai desa, petani, yang lebih mengandalkan bakat alam. Karya-karya mereka sangat kental dengan aroma dan dinamika kehidupan pedesaan.

Membaca crita cekak dalam majalah berbahasa Jawa dari era 1950-an hingga kini tak banyak berubah. Tak jauh beranjak dari kehidupan natural pedesaan. Bagi pembaca (termasuk pengarangnya) yang berusia tua, yang mengalami masa-masa tersebut, tentu kondisi itu akan membangkitkan nuansa romantisisme.

Sebaliknya, bagi generasi muda yang tak mengenal sastra Jawa akan seperti menyaksikan kisah-kisah dinosaurus. Secara tersamar, sejatinyalah tatkala kita heboh perkara pulung maka yang kemudian muncul adalah romantisme masa lalu sastra Jawa.

Betapa nikmatnya saat membicarakan pengarang-pengarang sastra Jawa yang sudah murud ing kasidan jati, seperti Esmiet, Tamsir A.S., Suripan Sadi Hutomo, Muryalelana, Sudharma K.D., Widi Widayat, Any Asmara, dan seterusnya dengan kencana rukmi, masa jaya masing-masing.

Kenapa? Karena Sastra Jawa masa kini dan masa depan tak segemerlap dibanding dengan karya-karya pendekar yang sudah sumare itu. Jika pengarang sastra Indonesia berderajat akademik seperti Prof. Sapardi Djoko Damono dan Prof. Budi Darma–sebagai contoh–hingga di usia senja masih bergiat menulis esai, puisi, cerpen, lalu  berapa akademisi dari Sastra Jawa yang kini masih (bisa) menulis geguritan, cerkak, tembang?



Jangan abai, banyak lho profesor (tak sekadar doktor) sastra Jawa sekarang. Dulu kita punya Prof. Th. Sri Rahayu Prihatmi yang bisa menulis crita cekak bagus di majalah Mekarsari, walau beliau peneliti dan pengajar sastra Indonesia.

Kini kita punya Prof. Suwardi Endraswara, tapi rupanya lebih sibuk menulis buku teks yang madolke dan sudah tak sempat lagi menulis geguritan. Saya sadar, saya bisa salah ketika mengait-kaitkan soal pulung sastra Jawa dengan romantisme masa lalu, termasuk kegemaran menyebut-nyebut karya-karya pujangga hebat seperti Ronggawarsita, Yasadipura, Mangkunagoro IV, dan lain-lainnya.

Jika keadaan sastra Jawa masih seperti sekarang: yang datang ke sarasehan ya cuma itu-itu saja, yang menulis cerkak dan guritan cuma itu-itu saja, dengan penambahan satu dua nama baru yang timbul tenggelam seperti batang pisang yang terbawa arus banjir bandang, ya berbicara soal pulung hanyalah ulah ngayawara.

Itu pembicaraan berlebihan, ilusif, seperti penilaian Bandung Mawardi (Solopos, 13 Juni 2016). Kita kalah telak dengan produksi rokok. Meski sekarang tak lagi muncul iklan di media massa karena diawasi dengan ketat, bahkan bungkusnya diberi gambar-gambar sadis dan nggilani, ditulisi ”Merokok Membunuhmu”, tetap saja kebanjiran generasi penerus penikmatnya.

Terakhir, pemahaman atas pulung versi Bonari Nabonenar (Solopos, 15 Juni 2016) bagus, menempatkan pulung paralel dengan teknologi komunikasi masa kini. Saya hanya meminta, tolong diteliti, seberapa banyak pengarang sastra Jawa yang melek teknologi informasi dan yang masih gagap teknologi?

Jangan-jangan secara diam-diam masih ada yang merasa nyaman, asyik, tatkala bergulung dengan mesin ketik manual kemudian menyuruh anak atau cucunya memindah ke komputer.

Ini juga bagian dari romantisisme. Remy Sylado pun kabarnya masih suka mendengar suara ketak-ketik tengah malam tatkala jari-jarinya memencet tuts mesin ketik. Toh, karya-karya hebatnya mengalir dengan deras.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya