SOLOPOS.COM - Anton A. Setyawan (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (20/5/2015), ditulis Anton A. Setyawan. Penulis adalah dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Perekonomian nasional pada triwulan I 2015 mengalami pelambatan pertumbuhan. Badan Pusat Statistik (BPS) memublikasikan laporan pertumbuhan ekonomi triwulan I yang menunjukkan angka 4,7%.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Angka pertumbuhan ekonomi ini lebih rendah 0,18% dibandingkan pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2014 yang sebesar 4,89%. Jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi yoy (year on year), yaitu triwulan I 2014 dengan pertumbuhan ekonomi 5,21%, penurunannya sebesar 0,5%.

Hal ini dipicu realisasi belanja pemerintah yang baru mencapai 18,5%. Nilai kurs rupiah melemah sampai  dengan kisaran Rp13.000 per dolar Amerika Serikat (US$). Selain itu, ada faktor eksternal yaitu pelemahan ekonomi beberapa negara mitra dagang utama Indonesia, seperti Tiongkok dan Singapura.

Ekspedisi Mudik 2024

Kedua negara tersebut mengoreksi target pertumbuhan ekonomi mereka. Tiongkok mengoreksi target pertumbuhan ekonomi dari 7,4/5 menjadi 7%, sedangkan Singapura mengoreksi target pertumbuhan ekonomi dari 4,9% menjadi 2,1%.

Masalah di bidang ekonomi yang lain adalah pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) gagal mengantisipasi pelemahan harga komoditas ekspor yang terjadi dua tahun terakhir, kebijakan untuk mengatasi defisit neraca perdagangan juga belum dilakukan dengan baik, dan ketidakmampuan mengantisipasi struktur pasar oligopoli yang menyebabkan harga komoditas dan bahan pokok menjadi tidak stabil.

Enam bulan tentu waktu yang belum cukup untuk melakukan perubahan secara struktural sehingga evaluasi terhadap pemerintah Jokowi-JK saat ini hanya bersifat pengamatan jangka pendek. Memberikan kritik membangun kepada pemerintah tetap perlu dilakukan.

Kondisi yang perlu dikhawatirkan adalah mundurnya jadwal beberapa kebijakan yang bersifat struktural. Presiden Jokowi sudah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang berisi delapan kebijakan untuk mengurangi tekanan pada mata uang rupiah dan memperbaiki struktur industri, namun pelaksanaannya menemui banyak kendala.

Pada awal pemerintahan, Presiden Jokowi dan  Wakil Presiden Jusuf Kalla menetapkan beberapa target kebijakan ekonomi, yaitu reformasi birokrasi dan izin investasi, penguatan visi misi dalam rencana pembangunan jangka menengah, reformasi pendidikan, dan peningkatan penerimaan negara.

Selain itu, pemerintah Jokowi-JK menetapkan lima sektor yang menjadi prioritas kebijakan ekonomi, yaitu sektor pertanian, perikanan dan kelautan, energi, industri, dan pariwisata. [Masalah Struktural]

 

Masalah Struktural
Ketidakstabilan ekonomi makro Indonesia yang terlihat dari melemahnya nilai tukar rupiah disebabkan karena defisit neraca pembayaran Indonesia. Sepanjang 2014 lalu, defisit neraca perdagangan Indonesia (NPI) mencapai US$1,89 milliar.

Sumber defisit NPI pada 2014 adalah besarnya impor minyak dan gas (migas). Masalah struktural lain yang mengganggu adalah pasar komoditas bahan pokok yang cenderung oligopoli.

Kita bisa melihat pada saat panen raya beras, harga beras berada pada Rp9.000 sampai dengan Rp12.000 per kilogram. Hal ini terjadi pada saat pasokan beras melimpah. Kondisi seperti terulang pada saat harga komoditas pangan seperti daging sapi, kedelai, dan cabai mengalami kenaikan harga tanpa sebab yang jelas.

Pasar komoditas pangan yang dikuasai sekelompok pedagang besar membuat harga menjadi stabil tinggi. Masalah struktural ini perlu penyelesaian jangka menengah dan jangka panjang yang bisa dimulai sekarang.

Sumber defisit neraca perdagangan yang bersumber dari migas bisa dikurangi dengan pengembangan bahan bakar alternatif yang tidak perlu diimpor, seperti biodiesel dan biofuel.

Dalam jangka pendek harus ada perbaikan mekanisme impor migas yang bisa mengurangi biaya produksi dan pengolahan migas di Indonesia.    Neraca perdagangan Indonesia yang mengalami defisit dalam kurun waktu dua tahun terakhir memberikan pelajaran perlunya pengembangan industri substitusi impor dan berorientasi ekspor.

Ekspor Indonesia yang didominasi komoditas primer rentan dipermainkan oleh harga komoditas global yang fluktuatif.  Pelemahan mata uang rupiah seharusnya menjadi momentum perbaikan ekspor karena harga produk lokal bisa bersaing.

Regulasi investasi yang tidak kondusif dan ketidakjelasan kebijakan industri menyebabkan Indonesia tidak bisa menikmati kenaikan ekspor seperti yang pernah terjadi pada awal 2000-an lalu. [Jangka Pendek]

 

Jangka Pendek
Dalam jangka pendek pemerintah perlu melakukan langkah taktis untuk menggairahkan perekonomian. Pada saat kondisi ekonomi lesu dan sektor swasta mengalami penurunan permintaan, pemerintah perlu memberikan stimulus.

Stimulus yang diperlukan adalah percepatan belanja pemerintah, terutama belanja barang modal. Belanja pemerintah akan menggerakkan sektor swasta untuk meningkatkan aktivitas produksi sehingga ada peningkatan kapasitas produksi.

Semakin besar belanja pemerintah akan menggerakkan perekonomian (permintaan agregat). Pemerintah sama sekali tidak boleh melakukan efisiensi dengan penghematan karena itu akan ”membunuh” perekonomian.

Secara umum kebijakan ekonomi pemerintah Jokowi-JK dalam enam bulan awal pemerintahan kurang memberikan perhatian pada stabilitas ekonomi makro. Perbaikan masalah struktural dalam perekonomian nasional sangat diperlukan, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan jika tidak ada stabilitas ekonomi makro.



Sensitivitas pemerintah Jokowi-JK terhadap masalah ekonomi makro perlu diperbaiki karena stabilitas ekonomi makro menjadi fondasi utama untuk mengeksekusi kebijakan strategis untuk membangun perekonomian nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya