SOLOPOS.COM - Flo Kus Sapto W, Praktisi pemasaran Dosen tamu di Magister Managemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret

Flo Kus Sapto W, Praktisi pemasaran Dosen tamu di Magister Managemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret

Desakan kepada partai politik ataupun politisi untuk memiliki visi dan misi yang jelas dan substansial kian mengemuka, khususnya di tahun politik menjelang Pemilihan Gubernur Jawa Tengah (Pilgub Jateng) 2013 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Visi dan misi itu diharapkan  menjadi produk yang punya ”daya jual”. Dengan adanya selling point itu partai politik atau politisi akan terlihat berbeda satu sama lain. Tentu tidak semata-mata berbeda kemasan namun sama isi, tetapi betul-betul memiliki perbedaan yang signifikan baik secara ideologis maupun materi-materi strategis.
Selama ini hampir bisa dipastikan pada setiap bursa pemilihan kepala daerah (pilkada) semua partai politik (parpol) mengusung tema-tema simpatik. Misalnya, terkait isu-isu kesehatan, pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Implementasinya dengan subsidi, pembebasan biaya, peningkatan investasi dan peluang usaha. Secara ideologis hampir tidak ada parpol yang berani mengusung identitas aslinya.
Misalnya, salah satu parpol yang selama ini dikenal tabu terhadap ziarah kubur dan tahlilan mendadak ikut dalam ritual tersebut (Koran Tempo, 6/4). Pimpinan partai dan para elitenya dengan tanpa canggung bersilaturahmi ke makan Sunan Kalijaga di Demak pada Kamis (4/4). Secara politis tindakan itu tentu bertujuan untuk menarik suara para nahdliyin. Padahal selama ini secara prinsip faham religiositasnya tidak seperti itu. Sangat kentara bahwa parpol cenderung sangat pragmatis.
Padahal konsep-konsep ideologis yang semestinya diusung justru akan kembali menegaskan identitas dan esensi perjuangan politiknya sehingga bisa menunjukkan idealisme politik. Dengan idealisme itu parpol dan politisi tidak lagi terjebak dalam pragmatisme sempit. Misalnya, pencitraan sebatas untuk menaikkan elektabilitas dalam pemilihan anggota legislatif. Demikian juga dengan tema-tema kampanye yang sebatas untuk memenangkan bursa pilkada. Purifikasi idelogi ini yang akan menggiring publik menetapkan pilihan secara lebih rasional dan ideal.
Namun demikian, apakah rasionalitas dan idealisme benar-benar memang sudah ada pada publik sebagai konsumen? Dengan kata lain, apakah hanya parpol dan politisi saja yang masih terjebak dalam pragmatisme?
Sering kali rasionalitas itu tidak selalu berkorelasi positif dengan kebaikan-kebaikan universal. Sebagai contoh, bagaimana rasionalitas universal bisa menjelaskan pilihan politik publik kepada pasangan kandidat yang menjanjikan umroh? Selain itu, di Pilgub Jawa Barat (Jabar), pilihan sejumlah desa yang mendapatkan dana dari Pemprov Jawa Barat masing-masing Rp 100 juta juga sarat ”rasionalitas” dan ”idealisme” sendiri.
Di satu sisi, pilihan itu dirasakan rasional sebagai ucapan terima kasih kepada kandidat yang mengupayakan dana itu cair beberapa saat sebelum pemungutan suara, meskipun di sisi lain belum tentu rasional dan ideal bila dikaitkan dengan suara hati. Di dalam kasus ini rasionalitas sangat identik dengan pragmatisme. Pilihan kepada kandidat yang memberikan kemanfaatan nyata (umroh, dana bantuan) menjadi sangat praktis. Realitas visi dan misi kandidat telah terpinggirkan oleh alasan-alasan rasionalitas sempit. Ironisnya, kekalahan justru sering dialami oleh parpol atau politisi yang mencoba bermain cantik. Penyertaan modal yang terukur diiringi idealisme konsep-konsep tata kelola publik yang menyentuh substansi sering kali justru diakhiri dengan gigit jari.
Kekalahan terhadap kekuatan modal dalam praktik-praktik money politics harus diterima dengan kebesaran jiwa. Idealisme ini dengan sendirinya juga akan bersinggungan dengan pragmatisme. Jika parpol tidak cukup idealis untuk tetap pada jalur ideologinya maka pergeseran ke perhitungan-perhitungan praktis tinggal menunggu waktu. Dibutuhkan sebuah kecerdasan dan integritas kolektif bagi parpol dan kadernya untuk tetap bertahan dalam idealisme jalur politik.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Koalisi Pragmatis
Berangkat dari pemikiran tersebut, di Pigub Jateng terlihat adanya kecenderungan parpol dan kandidat menunjukkan pergeseran itu. Parpol dan kandidat yang awalnya terlihat idealis telah bergerak ke pragmatis. Misalnya, tanpa bermaksud menghakimi, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang selama ini dikenal mengusung jargon-jargon antikorupsi dan memperjuangkan petani, ternyata justru memilih berkoalisi dengan–alah satunya—Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Seperti sudah banyak diberitakan media, PKS adalah parpol yang beberapa kadernya sedang terkait kasus rasuah.
Ironisnya lagi, kasus-kasus rasuah itu berkaitan langsung dengan kepentingan para peternak dan petani. Korupsi impor daging sapi, indikasi suap pengadaan benih jagung, karut-marut pengaturan impor bawang, dan sebagainya adalah sebagian contoh nyata. Seharusnya jika hendak tetap idealis, Partai Gerindra tentu tidak akan memilih berkoalisi dengan PKS. PKS dalam waktu-waktu ini–dan juga karena dominasinya di Kementerian Pertanian–tidak bisa dikatakan berpihak kepada petani. Padahal petani inilah yang selama ini dijadikan salah satu esensi tema-tema kampanye Partau Gerindra. Setidaknya hal itu terlihat di iklan-iklan politiknya.
Jika benar demikian, publik tentu cukup cerdas untuk memberikan dua penilain. Pertama, Partai Gerindra tidak sungguh-sungguh mempunyai visi dan misi memberantas korupsi dan berpihak kepada petani. Visi-misi itu sekadar untuk materi iklan. Di dalam kajian pemasaran, iklan memang selalu dibikin semenarik mungkin. Walaupun kenyataannya bisa sebaliknya. Kedua, Partai Gerindra serius dengan visi dan misinya tersebut. Namun, untuk alasan-alasan pragmatis situasional, hendak melupakan sejenak idealismenya.
Setali tiga uang dengan Partai Gerindra, ada juga kandidat gubernur yang terlihat idealis di permulaannya. Lalu berubah menjadi pragmatis di tahapan selanjutnya. Hadi Prabowo (HP) terlihat cukup idealis ketika masuk dalam penjaringan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dia bahkan sempat mengucapkan tidak hendak maju dalam bursa Pilgub Jateng jika tidak melalui PDIP (26/2). Namun, ketika pilihan PDIP ternyata jatuh kepada Ganjar Pranowo (GP) dan Heru Sudjatmoko (HS), HP kemudian berpindah. HP lalu maju bersama Don Murdono (DM) melalui Partai Gerindra, PKS, Partai Hari Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).
Banyak sinyalemen beredar bahwa keputusan HP untuk tetap maju meski lewat parpol lain itu karena sudah telanjur basah. Persiapan energi dan amunisi politik mendorongnya demikian. Daripada hancur karena mundur lebih memilih maju dengan sebuah peruntungan. Bisa jadi sinyalemen itu tidak benar. Bagaimanapun, keputusan HP untuk tetap maju dengan kendaraan parpol lain telah menandai sikapnya yang cenderung pragmatis daripada idealis.
Sementara itu, ada juga parpol dan kandidat yang tetap mencoba idealis. Dalam hal ini, PDIP bisa merepresentasikan hal itu. Sebagai parpol dengan market share terbesar, PDIP memang terkesan terlalu percaya diri untuk tidak berkoalisi dengan partai lain. PDIP juga sempat diduga mempermainkan atmosfer politik ketika tidak kunjung menentukan kandidatnya sampai dengan menit-menit terakhir pendaftaran cagub-cawagub. Sinyalemen negatif dari strateginya ini adalah dugaan menantikan ”lelang” mahar tertinggi di antara para kandidat. Adapun penjelasannya adalah karena PDIP tidak mau dikhianati lagi oleh kader-kadernya. Walaupun prediksi PDIP tersebut ternyata meleset. Bibit Waluyo (BW) yang dulu diantarkan menjadi Gubernur Jateng telah berpindah. Demikian juga HP yang telah ke lain hati.
Kini PDIP telah memilih menjagokan salah satu pasangan kadernya yang terbukti loyalitasnya meski popularitas dan elektabilitas pasangan GP-HS dianggap jauh di bawah kandidat lain. Namun, itu tidak penting lagi bagi PDIP. Di atas kertas PDIP memang berpotensi kalah. Namun, idealismenya adalah tetap hendak menunjukkan politik etis yang semestinya dilakukan baik oleh parpol maupun kadernya. Inilah sebuah pendidikan politik yang sesungguhnya. Meski dengan demikian PDIP berisiko sebagai pecundang. (ho.sapto@yahoo.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya