SOLOPOS.COM - Anhar Widodo anhar.widodo@gmail.com Peneliti Lembaga Kajian Media dan Transparansi Informasi Publik (Matrik) Peserta Program Pascasarjana Riset dan Pengembangan Teori Komunikasi Universitas Sebelas Maret

Anhar Widodo anhar.widodo@gmail.com Peneliti Lembaga Kajian Media dan Transparansi Informasi Publik (Matrik) Peserta Program Pascasarjana Riset dan Pengembangan Teori Komunikasi Universitas Sebelas Maret

Anhar Widodo
anhar.widodo@gmail.com
Peneliti Lembaga Kajian
Media dan Transparansi
Informasi Publik (Matrik)
Peserta Program Pascasarjana
Riset dan Pengembangan
Teori Komunikasi
Universitas Sebelas Maret

Peringatan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (HUT PWI) 2014 yang kemudian dilegitimasi secara formal sebagai Hari Pers Nasional, yang puncak acaranya digelar pada 9 Februari 2014 di Bengkulu, mengandung sejumlah makna strategis terutama dalam memetakan hubungan antara pers (baca: media massa) dan dinamika politik nasional.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Merujuk klaim sejumlah pengamat, tahun  ini adalah tahun politik, di mana akan diselenggarakan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih calon anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) dan pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang akan berkuasa lima tahun ke depan. Yang menarik untuk diperbincangkan adalah persoalan relasi kuasa antara media dan politik.

Ekspedisi Mudik 2024

Dalam politik yang serba bermedia dan media yang menempatkan politik sebagai isu utamanya, kita menjadi sering bertanya, apakah media berpengaruh pada (praktik) politik dan proses demokrasi kita, atau sebaliknya, politik berpengaruh pada (praktik) media massa kita.

Menjadi penting melihat bagaimana relasi antara politik dan media, karena dinamika yang demikian ternyata menimbulkan masalah yang cenderung tidak tuntas dalam tataran regulasi, alih-alih pada praktik di lapangan.

Lihat saja bagaimana Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagai ujung tombak penyelenggaraan dan pemantauan pemilu, membuat aturan-aturan agar pemilu berjalan sesuai dengan cita-cita dan visi demokrasi kita, dan ternyata mengalami kegamangan saat mengatur urusan politik dan media.

Mereka gamang ketika menghadapi soal aktivitas kampanye pemilu dengan memanfaatkan media. Dari sudut pandang kelompok skeptis, bisa jadi media adalah bagian dari praktik politik berbiaya tinggi. Berapa dana yang dikeluarkan partai politik dan calon anggota legislatif untuk memproduksi dan menayangkan iklan kampanye di media massa?

Memang ada lembaga pengawas dan secara normatif partai politik (parpol) serta calon anggota legislatif diwajibkan membuat rekening dana kampanye, tetapi tidak mungkin perhitungan di atas kertas akan valid  dan sesuai serta menunjukkan angka di lapangan yang sesungguhnya.

Sementara dari perspektif yang lebih positif, media menjadi alat yang paling efektif dan efisien untuk melakukan sosialisasi dan kampanye pemilu kepada masyarakat secara luas. Sebagai contoh, tidak mungkin, misalnya, seorang calon anggota DPR yang bertarung memperebutkan kursi di daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah IV (Sragen, Karanganyar, Wonogiri) atau Jawa Tengah V (Solo, Sukoharjo, Boyolali, Klaten), dalam masa kampanye kurang lebih 2-3 bulan dapat secara efektif berkomunikasi politik secara langsung dengan seluruh lapisan masyarakat di setiap penjuru desa.

Apalagi, misalnya, jika calon anggota legislatif tersebut adalah orang pusat (baca: Jakarta) yang secara sosiokultural maupun psikososiokultural belum cukup memahami karakter dan praktik budaya masyarakat di masing-masing dapil. Maka, pilihan membangun komunikasi (politik) bermedia adalah keniscayaan.

Kompetisi

Wilayah politik, kata Pierre Bourdieu (1991), adalah tempat yang menghadirkan kompetisi di antara banyak agen yang terlibat, termasuk di dalamnya produk-produk politik, isu-isu, program, analisis, komentar, konsep, dan kegiatan yang diciptakan.

Televisi dan media massa secara luas telah menjadi arena kontestasi politik baru dengan banyak kepentingan yang berkait kelindan, termasuk di dalamnya adalah kepentingan konsumen (penonton). Hal ini seperti apa yang dikemukakan Kellner maupun Grossberg.

Dalam pandangan Douglas Kellner (1996), media adalah area kontestasi bagi kelompok-kelompok sosial yang kuat dan ideologi politik yang saling bersaing dan berjuang untuk menjadi yang dominan, sedangkan masyarakat bisa ikut merasakan perjuangan identitas ini melalui imaji-imaji, wacana, mitologi, dan tontonan yang diketengahkan oleh media.

Lawrence Grossberg dan kawan-kawan (2006) menyatakan media telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, dari perasaan mereka, tentang identitas diri mereka, dan perasaan kesejarahan mereka. Media telah menyediakan bagian terbesar dari bayangan dan latar belakang kenangan hidup masyarakat.

Denis Mc Quail (1996) menulis sejumlah alasan mengapa media mengambil peran penting sebagai institusi dalam masyarakat dan perlu mendapatkan perhatian tersendiri dalam ruang-ruang diskusi intelektual. Menurut dia, media merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.

Selain itu, media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.

Politik dalam ragam media yang bagaimana pun adalah komoditas. Sebagai berita, politik adalah informasi yang patut diketengahkan dan selalu menjadi isu aktual pemberitaan media massa. Sebagai iklan, politik adalah bagian dari penyangga dan penopang keberlangsungan hidup media massa kita.

Bisa dikatakan, tahun politik bagi sejumlah media adalah masa bulan madu paling indah dengan dunia politik. Pertanyaan kita, bagaimana sebenarnya konsumen media kita mengonsumsi informasi/berita peristiwa politik yang hadir di hadapan mereka?  Apakah saat membaca media cetak atau media online serta menyaksikan televisi, audiens memperlakukan peristiwa tersebut layaknya politik pada praktik di lapangan yang penuh intrik dan penuh dengan konflik?

Atau, audiens melihatnya seperti tayangan sinetron, alih-alih seperti pertandingan sepak bola atau tinju?  Lantas atas pertimbangan jurnalisme yang bagaimana media massa mengemas informasi-informasi politik tersebut dalam bahasa yang tidak bias makna dan bergaya polisemi dalam persepsi masyarakat pembacanya?

Kekhawatiran kita adalah saat sebuah momen politik dimaknai layaknya informasi hiburan yang lain maka agenda media untuk melakukan edukasi politik kepada masyarakat menjadi tidak tersampaikan, alih-alih kontraproduktif dan menimbulkan masalah baru.

Perlu kiranya kita melakukan kajian kritis dan lebih komprehensif seputar tayangan pemberitaan politik di media massa dalam kaitannya dengan kesadaran dan gairah politik masyarakat. Kellner dan Durham (2006) menuliskan: with media and culture playing such important roles in contemporary life, it is obvious that we must come to understand our cultural environment of we want control over our lives.

Sederhananya, begitu pentingnya peran yang dimainkan media dan budaya dewasa ini, menuntut kita (produsen, distributor, dan konsumen media) untuk lebih mengerti dan memahami lingkungan budaya di mana media tumbuh dan berkembang. Ini jika kita masih berharap dapat mengendalikan kehidupan kita –alih-alih dalam upaya membangun konstruksi dan praktik politik yang lebih elegan dan demokratis dalam arti yang sebenarnya.

Tema Hari Pers Nasional tahun ini adalah Pers Sehat, Rakyat Berdaulat. Harapan akhirnya, sebagaimana visi tema tersebut, (jika) pers sehat (maka) rakyat (akan benar-benar) berdaulat. Dirgahayu pers Indonesia…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya