SOLOPOS.COM - Bambang Arianto bulaksumur4@gmail.com Peneliti Politik Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) dan Jaringan Intelektual Muda Universitas Gadjah Mada

 

 

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Bambang Arianto bulaksumur4@gmail.com Peneliti Politik Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) dan Jaringan Intelektual Muda Universitas Gadjah Mada

Bambang Arianto
bulaksumur4@gmail.com
Peneliti Politik Bulaksumur Empat
Research and Consulting (BERC)
dan Jaringan Intelektual Muda
Universitas Gadjah Mada

 

Calon presiden (capres) yang akan berlaga dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 kini sedang larut dalam upaya menggaet atensi publik. Mereka mengarahkan mesin partai politik, media, dan lembaga survei untuk dijadikan tukang penggenjot popularitas yang cenderung artifisial.

Kultur politik Indonesia yang setiap hari mengekor gaya kampanye ala calon presiden Amerika Serikat menjadikan survei politik eksistensinya kian diperlukan. Dalam kontestasi elektoral para kandidat presiden, menggandeng lembaga survei menjadi batu loncatan untuk tebar pesona.

Popularitas dijadikan target utama para kandidat walaupun tidak memiliki elektabilitas yang memadai. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, survei politik telah diakui sebagai upaya membaca dinamika partisipasi publik dengan catatan tetap menjaga objektifitas.

Survei secara ilmiah pastilah memiliki metodologi yang bisa dikritik dan diperdebatkan oleh banyak pihak. Hasil survei yang di luar akal sehat, tendensius, dan di luar opini publik jelas akan merusak dinamika perilaku pemilih. Opini publik dalam leksikon politik selalu mengedepankan konstruksi sosial, personal, dan politis.

Opini yang acak dalam nalar pemilih lama-lama akan sampai pada suatu tren tertentu yang bisa diukur, diprediksi, dan diperbandingkan bila memiliki dampak pada publik. Secara ilmiah, hasil survei ditujukan guna mengetahui replikasi atas sebuah fenomena publik.

Masalahnya, sekarang survei opini publik telah berevolusi menjadi sebuah industri politik di tengah rivalitas demokrasi elektoral. Semenjak sistem pemilu langsung, survei menjadi alat kampanye terselubung para kandidat.

Namun, survei politik untuk kepentingan popularitas klien selayaknya harus dibingkai dengan objektivitas. Bukan malah menonjolkan ilusi popularitas (hiperrealitas), apalagi mendesain, mereduksi, dan memutarbalikkan fakta sesuai pesanan klien. Cara-cara seperti ini nantinya akan mencederai perilaku pemilih dan menjadi penyebab mandulnya sensibilitas publik.

Lembaga survei itu wajib memberikan solusi opini publik atas dinamika perilaku pemilih tanpa melacurkan diri demi rente ekonomi. Lembaga survei harus berupaya realistis, objektif, dan rasional dalam membaca dinamika opini publik apalagi perilaku pemilih.

Penilaian dinamika perilaku pemilih yang terlalu subjektif dan dipaksakan berakibat munculnya identitas negatif bagi lembaga survei. Publik meragukan independensi dan nirkepentingan sebuah lembaga survei, yang akhirnya memaksa publik apatis terhadap setiap publikasi hasil survei perilaku pemilih.

Sebuah survei yang belum lama ini dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) memunculkan tanda tanya besar para peneliti perilaku pemilih. Hasil survei itu memfavoritkan Megawati Soekarnoputri dan Aburizal Bakrie (ARB) sebagai calon presiden (capres) paling potensial pada Pemilu 2014.

Publik gusar sebab survei tersebut tidak mengikutsertakan Joko Widodo alias Jokowi (Gubernur DKI Jakarta) dan Prabowo Subianto (Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya). Alasannya nama Jokowi dan Prabowo Subianto hanya capres wacana, bukan capres riil, apalagi Jokowi bukanlah pemimpin struktural partai sehingga hanya dipandang sebatas capres wacana.

Berdasarkan survei ini, hanya Megawati yang dapat bersaing dengan ARB dengan perolehan suara yang terpaut tipis. Sementara, Jokowi dan Prabowo yang selalu unggul dalam survei elektabilitas yang dilakukan lembaga lain menjadi dipinggirkan.

Namun, selang beberapa hari kemudian, LSI kembali merilis hasil surveinya. Kali ini, nama Jokowi dan Prabowo Subianto ikut disurvei. Hasilnya, dua nama ini memimpin. Jokowi meraih 38,3 persen dan Prabowo Subianto 11,1 persen. Mereka dikuntit Wiranto yang meraih 10 persen.

Uniknya, nama ARB dan Megawati tidak ikut dalam survei ini. Bisa dibayangkan bila nama ARB dan Megawati diikutkan, hasilnya jelas akan berbeda karena sampai saat ini belum ada kandidat yang mampu menandingi elektabilitas Jokowi dan Prabowo.

Survei itu jelas bermain dengan asumsi politik. Asumsi pertama, hanya dua partai politik yang mampu memenuhi persyaratan mencalonkan presiden, yakni Partai Golonangan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Asumsi kedua, dari dua partai politik itu hanya ketua umumnya yang bisa dicalonkan jadi presiden.

Asumsi itu menilai hanya ARB dan Megawati yang bertarung. Surevi kali berikutnya, yakni dengan kembali memunculkan wacana poros tengah. Kali ini, Jokowi dan Prabowo disurvei sebagai capres nasionalis tanpa dibandingkan dengan ARB maupun Megawati.

Jokowi dikategorikan sebagai capres dari poros tengah, padahal asumsi ini terkesan kontraproduktif bila dilihat dari personalisasi Jokowi. Asumsi demikian menjadi sangat janggal, apalagi PDIP berencana mengajukan dua nama capres sekaligus dalam Pemilu 2014.

Ini menunjukkan ada upaya pengiringan opini publik untuk memecah jejaring PDIP meluas dan mendongkrak beberapa capres populis agar dilirik oleh publik. Survei yang hanya berdasarkan asumsi dan sengaja dibuat untuk membenarkan analisis politik tertentu tidak boleh menonjolkan apalagi meminggirkan calon-calon tertentu dengan mendasari pada asumsi semata.

 

Mencederai Demokrasi



Di Amerika Serikat, kontroversi lembaga survei ternyata juga pernah terjadi. Lembaga survei dianggap lebih tertarik pada industrialisasi pembentukan opini publik dengan menarik perhatian media massa ketimbang mengungkap opini publik yang sesungguhnya.

Lembaga-lembaga survei di sejumlah negara berkembang, khususnya yang sedang membangun proses konsolidasi demokrasi, tidak sedikit yang diragukan kejujuran moralnya terhadap publik. Buku berjudul The Opinion Makers: An Insider Expose The Truth Behind The Polls (2008) yang ditulis David W. Moore membongkar bobroknya lembaga survei di Amerika Serikat yang selama ini menjadi kiblat demokrasi.

Moore adalah seorang bekas peneliti di sebuah lembaga survei yang akhirnya berani berbalik arah (turn around) dan membongkar kepalsuan sebuah lembaga survei. Kasus ini dapat menjadi renungan bagi lembaga survei di Indonesia guna memperbaiki kinerja secara profesional,  memperbaiki integritas, dan berkomitmen terhadap independensi.

Publik menilai lembaga survei sering kali tidak dapat bersikap netral dari politic of interest tim sukes dalam kontestasi elektoral. Selain itu, kinerja lembaga survei dianggap hanya menjadi the opinion makers yang hendak memengaruhi perilaku pemilih terhadap salah satu partai politik maupun kandidat pemimpin.

Oleh sebab itu, lembaga survei hanya sering menjadi penebar politik ilusi popularitas (hiperrealitas) bahkan mengubur proses demokratisasi itu sendiri. Menjelang pesta demokrasi pada 2014, rivalitas popularitas pasti terjadi, apalagi gelagat pembunuhan karakter kandidat dengan kandidat lainnya sudah menjadi hal lumrah. Namun, kecerdasan publik akan menjadi penuntun bagi publik untuk memilih mana kandidat yang dipercaya atau tidak layak dipercaya.

Hasil survei yang merupakan gambaran dinamika perilaku pemilih haruslah dapat menjadi instrumen penting dalam demokrasi. Konsolidasi demokrasi jangan sampai dicederai oleh banalitas lembaga survei yang menyebabkan mandulnya rasionalitas perilaku pemilih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya