SOLOPOS.COM - Norbertus Kaleka (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (25/9/2017). Esai ini karya Norbertus Kaleka, seorang wirausaha, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, dan telah menulis beberapa buku tentang pertanian. Alamat e-mail penulis adalah torarama@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Bung Karno pada 1960 ketika berpidato dengan tajuk Jalannya Revolusi Kita mendengungkan,”Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa fondasi, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi…”

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Norbertus Kaleka (Istimewa)

Norbertus Kaleka (Istimewa)

Menurut Bung Karno,”Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari revolusi Indonesia… Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk gendut karena mengisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanah itu!” (Bachriadi & Wiradi,  2011).

Pada 24 September 1960, Presiden Soekarno mengesahkan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA menjadi dasar untuk redistribusi tanah bagi para petani miskin dan tak bertanah.

Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September sesungguhnya merupakan peringatan lahirnya UUPA atau UU No. 5/1960. Itu artinya lebih dari setengah abad (57 tahun) UUPA tersebut berlaku. Pertanyaan pokok yang menjadi isu dan selalu didengungkan pada perayaan Hari Tani Nasional ini adalah apakah keadilan agraria, terutama bagi para petani, sudah tercapai?

Menurut Bachriadi dan Wiradi (2011), land reform bertujuan melindungi dan menghormati kepentingan petani, baik petani kecil, penyakap, atau buruh pertanian.  Hak rakyat, khususnya rakyat miskin, atas lahan dijamin dan dilindungi sehingga pemanfaatan kekayaan alam sebagai upaya menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan dapat terwujud.

Apakah harapan tersebut terwujud? Orde Baru yang berkuasa selama tiga dekade tidak bisa diwujudkan UUPA, bahkan gagal total. Keberpihakan penguasa lebih banyak ditujukan pada kepentingan pemilik modal yang dibalut bahasa demi pembangunan bangsa. Kepentingan pembangunan dan kepentingan umum menyimpang dari semangat UUPA.

Maka lahir calo-calo tanah sebagai akibat naiknya nilai ekonomi tanah. Para cukong dan calo tanah membeli tanah dengan harga murah dan menjualnya dengan harga lebih tinggi kepada kelas menengah di kota yang ingin menjadikan tanah sebagai investasi untuk masa depan.

Selanjutnya adalah: Pada era reformasi muncul ketetapan MPR tentang pembaruan agraria…

Pembaruan Agraria

Pada 2001, era reformasi, muncul Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tujuannya untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah dan kekayaan alam lainnya, menyelesaikan konflik-konflik agraria dan sumber daya alam, dan memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam yang rusak (Setiawan, 2008).

Pasal 2 Tap MPR tersebut menjelaskan pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria yang dilaksakanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bagaimana realisasinya? Keadilan agraria tampaknya menjauh setelah puluhan tahun negeri ini merdeka. Konflik agraria bermunculan di berbagai daerah dalam ribuan kasus. Distribusi penguasaan tanah cenderung semakin timpang.

Data Badan Pusat Statistik dari hasil sensus pertanian pada 1963, 1973, 1983, 1993, menunjukkan indeks Gini berturut-turut adalah 0,55, 0,52, 0,54, dan 0.59.  Menurut Wiradi (2001), yang agak menarik adalah perkembangan dari 1963 ke 1973, indeks Gini menurun dari 0,55 menjadi 0,52. Mungkin inilah, sedikit atau banyak, sebagai hasil land reform.

Hubungan petani dan tanah adalah hubungan abadi yang tak terpisahkan. Bila petani terlepas dari tanah maka dia bukan petani lagi. Pokok soalnya adalah tanah sebagai basis ekologi utama usaha tani semakin langka dan semakin terpecah-pecah satuan luasnya sehingga skala keekonomiannya menjadi menurun ketika diusahakan.

Luas kepemilikan tanah di Indonesia semakin menurun sejak 1960-an. Menurut Setiawan (2008), pada 1963, rata-rata penguasaan tanah petani adalah 1,05 hektare. Pada 1973  menjadi 0,99 hektare, tahun 1983 menjadi 0,90 hektare, dan pada 1993 menurun lagi menjadi 0,81 hektare.

Kini semakin banyak dijumpai petani yang hanya memiliki lahan pertanian seluas 0,3 hektare atau hanya menjadi buruh tani (landless). Mayoritas petani kita, yaitu sekitar 84% dari total rumah tangga petani, hanya memiliki tanah di bawah satu hektare atau bahkan di bawah 0,5 hektare.

Sebagai negara agraris, Indonesia merupakan negara dengan penguasaan lahan pertanian tersempit di dunia dengan land-man ratio 362 meter persegi per kapita pada 2003 dan 354 meter persegi per kapita pada 2008 (Adnyana, 2005; SPI, 2010).

Ketimpangan kepemilikan tanah pertanian menghasilkan beberapa konsekuensi. Pertama, jumlah rumah tangga petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare terus bertambah. Kedua, di Pulau Jawa luas kepemilikan tanah sekitar 0,47 hektare. Hampir 70% luas tanah pertanian dikuasai oleh sekitar 16% rumah tangga petani kaya tetapi mayoritas rumah tangga petani, yaitu sekitar 43%, hanya menguasai 13% luas tanah pertanian.

Selanjutnya adalah: Penguasaan tanah oleh petani yang semakin mengecil…

Semakin Mengecil



Penguasaan tanah oleh petani yang semakin mengecil diakibatkan pula oleh fragmentasi kepemilikan melalui pewarisan, hibah, dan jual beli. Pada saat yang bersamaan, fragementasi fisik lahan pertanian juga terjadi secara deras akibat alih fungsi untuk kegiatan nonpertanian.

Alih fungsi lahan pertanian, terutama pada lahan-lahan subur, membuat investasi besar pada pembangunan irigasi menjadi sia-sia. Alih fungsi lahan pertanian juga menambah  jumlah rumah tangga petani tak bertanah.  Sementara di sektor perkebunan, kelapa sawit semakin memperdalam kesenjangan kepemilikan tanah karena terdapat sekitar 11,5 juta hektare lahan kelapa sawit, 52 % milik swasta dan 11,69% milik perusahan negara (Arsyad, 2012).

Hal yang tak dapat disangkal bahwa kemiskinan petani berhubungan erat dengan luas kepemilikan tanah yang diusahakan dalam usaha tani. Petani kecil dengan luas tanah dibawah 0,5 hektare adalah kelompok terbesar dalam populasi penduduk miskin.

Dengan demikian petani gurem sesungguhnya dalam hati kecil mereka berharap akan hadirnya suatu pembaruan agraria atau reformasi agraria yang menata ulang atau merestrukturisasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, tertutama tanah, untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya.

Isu keadilan agraria semakin kuat disuarakan pada saat peringatan Hari Tani Nasional ini. Pada kenyataaannya, di satu sisi, orang dengan kekuatan modal dapat memiliki tanah dalam satuan yang luas dan menjadikannya sebagai aset atau investasi.

Di sisi yang lain, banyak petani hanya mempunyai sebidang kecil tanah yang yang ketika digarap hasilnya tidak mencukupi untuk hidup keluarganya, bahkan jauh lebih banyak lagi petani yang tidak mempunyai sejengkal tanah untuk digarap.

Terkait peringatan Hari Tani Nasional ini pemerintah perlu diingatkan tentang program Nawacita yang ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui land reform dan program pendistribusian tanah seluas sembilan juta hektare kepada petani gurem.

Lahan-lahan telantar yang dikuasai perusahaan swasta harus pula dipandang sebagai sumber-sumber agraria yang penting dalam pembangunan pertanian. Dibutuhkan jaminan kepastian hukum atas penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya agraria bagi kesejahteraan petani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya