SOLOPOS.COM - Mudhofir AbdullaH, Wakil Rektor Bidang Akademik Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Mudhofir AbdullaH, Wakil Rektor Bidang Akademik Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Di tengah isu-isu korupsi, kekerasan berbasis agama dan krisis moral bangsa yang kian melukai akal sehat, pondoek pesantren (selanjutnya disebut pesantren) dituntut untuk meningkatkan peran dalam membangun karakter bangsa. Keberadaan pesantren yang jauh sebelum Indonesia merdeka dianggap telah ikut memainkan peran dalam membentuk wajah Nusantara baik dalam tradisi, budaya, pandangan dunia, maupun sistem nilai bangsa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pesantren masih tetap relevan dan menjanjikan untuk menjadi garda depan dalam mengawal kelangsungan bangsa yang terancam oleh krisis moral, krisis identitas dan krisis kepribadian. Eksistensi pesantren memang sedikit redup akibat aksi-aksi terorisme oleh pelaku yang berasal dari beberapa pesantren. Stigma pesantren sebagai pemasok teroris masih melekat karena tiadanya publikasi tentang pesantren sejak sepuluh tahun terakhir.

Berita-berita mengenai pesantren kurang proporsional dan mengalami disinformasi. Seminar tentang pesantren yang diselenggarakan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, Maret lalum, seakan-akan menyegarkan kembali fakta peran pesantren dan tantangan-tantangannya dalam menempatkan diri di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam membentuk karakter bangsa.

Ekspedisi Mudik 2024

Menurut Dawam Rahardjo, dalam sejarahnya pesantren di Indonesia telah menyumbangkan pendidikan moral yang bisa menjadi modal sosial bagi tegaknya bangsa. Hanya saja, menurut Dawam, agar pesantren dapat memainkan peran maksimal dan strategis, pesantren harus menghilangkan terlebih dahulu hambatan-hambatan internal seperti: sifat paternalistik, tiadanya kebebasan (berpikir), ketergantungan (mudah dikooptasi), tidak ramah lingkungan dan sektarian.

Meskipun analisis Dawam masih mengacu pada pesantren tempo dulu, namun harus diakui bahwa lima faktor penghambat itu masih tersisa di sejumlah pesantren terpencil. Tentu saja, secara umum semua pesantren telah berubah. Pesantren-pesantren telah mengakomodasi perubahan-perubahan sosiokultur sebagai cara mereka bertahan hidup. Model-model pengajaran dan sasaran pendidikan telah sejauh mungkin beradaptasi dengan tuntutan-tuntutan terkini kehidupan.

 

Keluar dari Cangkang

Berbeda dengan Dawam yang sedikit pesimistis terhadap peran pesantren, Masykuri Abdillah yakin bahwa pesantren bisa menyumbangkan konsep-konsep utama tentang keteladanan. Ia menegaskan bahwa konsep al akhlaq al karimah bisa menjadi konsep ideal yang perlu dijabarkan dan dioperasionalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep al akhlaq al karimah bisa menjadi prototipe bagi standar moral yang secara populer diterjemahkan sebagai karakter bangsa.

Penting dicatat bahwa dua intelektual muslim tersebut sulit ketika diminta untuk memberikan bukti. Kritik publik pada idealisasi dunia pesantren sebagaimana bersumber dari ajaran Islam sering terpatahkan pada tingkat implementasi. Secara konseptual, idealisasi itu bagus tapi belum tentu bagus pada tingkat aktual. Ada diskrepansi antara dimensi konseptual dan dimensi aktual dari ajaran Islam. Itulah sebabnya, korupsi, kekerasan agama, kemalasan dan sikap pemaksaan diri masih tetap hadir berimpit dengan idealisasi karakter sebagaimana diidealkan pesantren dan atau Islam.

Jika idealisasi itu benar-benar bagus lalu apa sumbangannya bagi kehidupan bangsa yang dipenuhi oleh penyakit-penyakit sosial akut seperti korupsi, terorisme dan ketidakjujuran? Di sinilah masyarakat pesantren memperoleh pukulan telak. Dunia pesantren yang mendidik umat dengan keketatan moral ternyata tak mampu berkelanjutan setelah mereka memasuki kehidupan nyata.

Itulah sebabnya Clifford Geertz dalam Islam Observed (1968) menjuluki pesantren sebagai ”kuburan dan balasan”. Artinya, pesantren dianggap oleh Geertz hanya berfokus pada masalah-masalah kematian dan akhirat serta kurang berminat pada isu-isu perbaikan tatanan sosial politik. Dalam pandangan Geertz, pesantren tak bisa diandalkan dan kurang relevan dengan konteks pembangunan karakter bangsa sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.

Tentu saja Geertz terlalu pesimistis dan oleh Anthoni John dan juga Marshal G Hugdson pandangan Geertz dianggap tidak objektif. Geertz hanya mengamati pesantren dari perspektif kaum abangan dan tidak melihat pesantren dari perspektif komprehensif, misalnya, pesantren-pesantren yang melahirkan tokoh-tokoh nasional dengan peran-peran yang strategis.

Walaupun demikian, kritik Geertz dan kaum modernis—seperti Dawam Rahardjo—perlu untuk didengar. Kritik-kritik itu telah direspons dengan aksi-aksi perubahan nyata sebagaimana digerakkan Gus Dur sejak era 1970-an. Pesantren telah keluar dari cangkangnya dengan tatapan masa depan yang berubah dan optimis. Peran-peran sosiokultur telah dimasuki sebagai medan perjuangan dan kelanjutan dari visi teleologi.

Di hadapan perubahan sosiokultur yang kian deras dan globalisasi masif, pesantren tetap tumbuh dan berkembang. Bahkan telah mendapat kepercayaan masyarakat dalam mendidik umat. Krisis-krisis moral yang kian mendera anak-anak bangsa yang ditunjukkan oleh tawuran, kenakalan remaja, narkoba dan lain-lain memunculkan pemahaman bahwa keberadaan pesantren menjadi alternatif pendidikan. Namun, sejalan dengan kepercayaan masyarakat, pesantren pun telah melakukan perubahan-perubahan yang perlu sehingga eksistensinya benar-benar dapat berkelanjutan.

 

Agen

Bersama-sama dengan lembaga pendidikan umum, pesantren punya tugas yang sama dalam membentuk karakter bangsa. Menurut Dawam, dalam seminar itu, karakter bangsa bisa dikategorikan ke dalam dua hal: karakter bangsa sebagaimana dicerminkan oleh warganya dan karakter sebagaimana yang diidealkan oleh para pemimpinnya. Pesantren sebagai komunitas warga perlu menyumbangkan konsep-konsep utama tentang karakter berikut aksi-aksi nyata dalam kehidupan.

Demikian pula, para pemimpin perlu menjadi teladan dengan kode-kode moral umum sebagaimana dicerminkan oleh peraturan-peraturan hukum serta norma-norma masyarakat. Dalam konteks simbol moral, dunia pesantren menempati posisi sentral. Dunia pesantren adalah artikulasi dari idealisasi moral sebagaimana dilekatkan pada para kiai dan atau tokoh-tokoh agama sebagai representasi ajaran moral Tuhan.

Dengan posisi ini, dunia pesantren harus tampil dengan teladan indah; dengan kontribusi nilai-nilai keteladanan; dan dalam memproduksi anak-anak bangsa yang berkarakter. Merujuk ke ajaran Islam awal, jauh sebelum kewajiban salat, puasa, haji dan zakat diperintahkan oleh Allah, kesempurnaan akhlak adalah yang pertama diserukan.

Kesempurnaan akhlak adalah tujuan utama agama ini diturunkan, diajarkan dan menjadi dasar utama Muhammad SAW diutus. Ini menegaskan bahwa masyarakat tanpa akhlak, tanpa karakter dan tanpa standar moral berarti masyarakat itu menjadi tidak bermakna. Dalam semangat ajaran dasar Islam ini maka pesantren tentu harus menjadi agen yang pertama dalam membangun karakter bangsa dalam arti yang sesungguhnya. (mudhofir1527@gmail.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya