SOLOPOS.COM - Nur Alam Windu Kuncoro nurosolo@yahoo.com Peminat kajian sosial, politik, dan ekonomi Anggota Hizbut Tahrir Indonesia

Nur Alam Windu Kuncoro nurosolo@yahoo.com Peminat kajian sosial, politik, dan ekonomi Anggota Hizbut Tahrir Indonesia

Nur Alam Windu Kuncoro
nurosolo@yahoo.com
Peminat kajian sosial,
politik, dan ekonomi
Anggota Hizbut Tahrir
Indonesia

Terhitung sejak 1 Januari 2014, pemerintah memberlakukan progran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika mendengar kalimat tersebut? Sesuatu yang manis,  indah, menyenangkan, dan membuat hati kita menjadi tenang. Ini berarti kesehatan kita bakal terjamin meski tidak secara sempurna dan paripurna.

Tapi, apakah memang demikian halnya? Apakah negeri ini sedang ”surplus anggaran” hingga sedemikian royal memberikan jaminan kesehatan secara gratis?

Ekspedisi Mudik 2024

Bukankah saat ini para pemimpin kita sering berdebat soal inflasi, angka kemiskinan, pengangguran, pencabutan subsidi, dan problem defisit anggaran lainnya. Jadi sesungguhnya ada apa di balik program JKN?

Penyikapan beragam mengemuka menghadapi kebijakan JKN. Di kawasan Soloraya pemerintah daerah ada yang mendukung, keberatan, dan ada yang masih menunggu petunjuk pelaksanaan.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 24/2011 tentang BPJS yang merupakan amanat dari UU sebelumnya, yaitu No. 40/2004 tentang SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

UU BPJS ini menetapkan dua jenis layanan, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Apa yang akan diperoleh rakyat dengan adanya JKN? Konon kabarnya berupa jaminan kesehatan yang disebut universal health coverage (UHC), yaitu cakupan layanan kesehatan yang menyeluruh.

Artinya, rakyat—siapa pun dia–bisa berobat gratis di mana saja, kapan saja, tanpa diskriminasi. Dalam salah satu forum sosialisasi JKN, seorang dokter berucap,”Mau cuci darah 1.000 kali juga gratis, tidak ada batasan. Tidak ada lagi pasien yang meninggal karena dipingpong dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya” (majalahkesehatan.com, 23 Agustus 2013).

Dalam sistem JKN fakta sesungguhnya tidaklah gratis sebagaimana yang mengemuka dalam sosialisasi. Justru seluruh rakyat negeri ini wajib membayar iuran tiap bulan. JKN adalah asuransi sosial. Hanya peserta yang membayar premi yang akan mendapat layanan kesehatan JKN.

Itu wajib bagi seluruh rakyat sesuai prinsip kepesertaan dalam UU SJSN yang bersifat wajib. Seluruh penduduk negeri ini wajib jadi peserta asuransi sosial kesehatan atau JKN), dan tentu wajib membayar premi/iuran tiap bulan.

Pasal 17 UU SJSN menyatakan: (1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya, dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.

Iuran untuk orang miskin dibayar oleh pemerintah (ayat 4) dan mereka disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI), atas nama hak sosial rakyat. Tapi, hak itu tidak langsung diberikan kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada pihak ketiga (BPJS) dari uang rakyat yang dipungut melalui pajak.

Jadi realitasnya rakyat diwajibkan membiayai layanan kesehatan diri mereka dan sesama rakyat lainnya. Tidak ada yang gratis untuk rakyat. Justru rakyat wajib membayar iuran, baik layanan itu dipakai atau tidak.

JKN lebih tepat disebut layanan kesehatan prabayar, persis seperti layanan telepon dan listrik prabayar. Setiap rakyat wajib membayar premi (iuran) tiap bulan. Jika tidak membayar maka tidak akan mendapat manfaat layanan kesehatan JKN.

BPJS dibolehkan mengambil iuran secara paksa dari rakyat setiap bulan, dengan masa pungutan yang berlaku seumur hidup, dan uang yang diambil tidak akan dikembalikan. Pengembalian hanya dalam bentuk layanan kesehatan menurut standar BPJS, yaitu hanya saat sakit.

Jika rakyat tidak membayar, akan dihukum oleh negara dengan sanksi berupa denda (lihat Buku Saku FAQ BPJS Kesehatan, Jakarta, Kemenkes, 2013). Berapa besarnya uang yang dihimpun BPJS? Sesuai standar iuran JKN, jika seseorang itu pekerja yang menerima upah, misalnya pegawai negeri sipil (PNS) atau karyawan perusahaan swasta, besarnya iuran adalah 5% dari uang gaji.

Iuran itu yang 3% dibayar oleh pemberi kerja dan yang 2% dibayar oleh pekerja. Misalkan seorang laki-laki PNS mempunyai seorang istri dan tiga anak usia sekolah dengan penghasilan Rp3.755.000 per bulan maka besarnya iuran adalah 2% dari Rp3.755.000 atau Rp75.100 per bulan.

Jika seseorang itu pekerja yang bukan penerima upah, misalnya pedagang bakso, pedagang bubur kacang hijau, atau tukang becak, besarnya iuran per orang per bulan adalah Rp25.500 (untuk perawatan kelas III), Rp42.500 (untuk perawatan kelas II), atau Rp 59.500 (untuk perawatan kelas I).

Padahal laki-laki PNS tersebut dan juga pedagang bakso tadi tak hanya dibebani pemalakan struktural atas nama BPJS, tapi masih harus membeli elpiji yang naik tidak terkendali, membayar uang sekolah anak, membayar biaya listrik, air, pulsa ponsel, biaya tranportasi, angsuran rumah, membeli pakaian, dan kebutuhan rumah tangga lainnya yang harganya semakin melangit dari hari ke hari. Inikah kesejahteraan rakyat yang diidam-idamkan oleh negara?

      

Motif

Selain kental motif imperialisme (baca: penjajahan) asing, motif utama dari kebijakan ini adalah murni komersialisasi kesehatan, yaitu penghimpunan dana rakyat.

UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan kesehatan menjadi kewajiban rakyat. Jika SJSN berjalan sempurna, bisa dikalkulasi bahwa betapa besar dana yang dipalak dari rakyat oleh BPJS.



Kompas edisi 26 Desember 2013 memberitakan penyelenggara jaminan kesehatan diperkirakan akan mengumpulkan dana iuran peserta sedikitnya Rp80 triliun per tahun. Akumulasi dana ini akan bertambah besar saat BPJS Ketenagakerjaan beroperasi penuh pada 1 Juli 2015 dan menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian dan jaminan pensiun.

Kemana dana berjumlah ”wah” itu? Dana jaminan Sosial itu wajib disimpan dan diadministrasikan di bank kustodian yang merupakan Badan Usaha Milik Negara atau BUMN (Pasal 40 UU BPJS).

Artinya bank BUMN bisa mendapat sumber dana baru. Sesuai Pasal 11 UU BPJS, dana itu diinvestasikan. Tentu dalam bentuk surat berharga, termasuk Surat Utang Negara (SUN) dan surat berharga swasta. Dengan demikian negara mendapat sumber dana baru.

Selain negara, pihak swasta dan para kapitalis  (asing) juga akan menikmati dana itu yang diinvestasikan melalui instrumen investasi mereka. Karena itulah asing (khususnya yang direpresentasikan Bank Dunia, IMF, ADB, USAID) sangat kemecer (baca: bernafsu) melirik bisnis asuransi massal ini.

Mereka mendikte agar SJSN dalam bentuk asuransi sosial itu segera eksis meski pernah tertunda. Dengan demikian bisa dipahami lahirnya UU  SJNS layak dinilai berbau kepentingan asing, sebagaimana UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas (Migas), UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dan UU bernuansa liberal lainnya.

Jadi siapa yang pro asing sesungguhnya? Sedangkan pemerintah ke mana- mana selalu menyosialisasikan empat pilar kebangsaan, padahal kebijakan yang dilahirkan sangat tidak sesuai dengan empat pilar kebangsaan itu.

UU yang baru biasanya masih ada kekurangan dalam banyak hal. Hal ini tidak menjadi permakluman bagi rakyat Indonesia untuk menyetujui UU  SJSN. Cukup sudah kebijakan yang pro kapitalisme asing yang melukai dan menyengsarakan rakyat.

Liberalisasi sektor publik telah membawa malapetaka. Pencabutan subsidi telah membuat rakyat menjadi papa. Pajak dan pungutan menjadi pendapatan primadona, sementara utang menjadi yang utama. Sedangkan sumber daya alam diobral secara cuma-cuma.

Sebagaimana kebutuhan primer pangan, sandang dan papan, pendidikan dan kesehatan adalah tanggung jawab negara, bukan ditanggung rakyat. Jaminan penyelenggaraannya harus terjangkau, bahkan kalau bisa gratis. UU SJSN lahir sebagai tambal sulam dari kapitalisme yang rapuh dan merusak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya