SOLOPOS.COM - Puguh Karyanto karyarina@gmail.com Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret Alumnus S3 Environmental Management, College of Law, Government, and International University Utara Malaysia

Puguh Karyanto  karyarina@gmail.com   Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret Alumnus S3 Environmental Management, College of Law, Government, and International University Utara Malaysia

Puguh Karyanto
karyarina@gmail.com
Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret Alumnus S3 Environmental Management, College of Law, Government, and International University Utara Malaysia

Pada awal 1980-an memiliki dan mengendarai sepeda motor merupakan gengsi tersediri. Kini kendaraan tersebut sering menjadi kambing hitam penyebab padatnya arus lalu lintas dan merupakan pemegang rekor pelanggaran ketertiban lalu lintas di jalanan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kepemilikan dengan cara mudah menjadikan populasinya melonjak naik sementara sarana ruas jalan dan rambu kurang memadai. Sepeda motor mengakibatkan ketergantungan pada sarana transportasi publik menjadi berkurang. Sepeda motor kemudian menjadi salah satu alternatif alat transportasi yang privat, multifungsi, dan murah.

Pada 1980-an tersebut mobil hanya dapat dimiliki kalangan tertentu yang termasuk golongan orang kaya. Kini pemerintah tampaknya menjadi sangat peduli untuk memberikan kesempatan kepada warga negara kelas menengah untuk dapat menikmati rasa memiliki mobil baru.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah merupakan payung hukum yang dapat memfasilitasi kepemilikan mobil murah melalui klausul keringanan pajak bagi mobil ramah lingkungan atau yang dikenal sebagai low cost green car (LCGC).

Payung hukum tersebut diterapkan dengan petunjuk teknis (juknis) Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.

Peraturan menteri tersebut ditetapkan pada 1 Juli 2013 dan diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 895 pada 5 Juli 2013 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin. Tampaknya LCGC semacam Toyota Agya, Daihatsu Ayla, dan Honda Brio Satya mungkin akan turut ambil bagian untuk semakin meningkatkan panjang mobil relatif terhadap ruas jalan yang tersedia.

Salah satu alasan pemerintah memfasilitasi LCGC tentu berhubungan dengan komitmen pemerintah terhadap pengurangan emisi karbon global dan nasional seperti yang disepakati di Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah persetujuan global pada konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim atau dikenal sebagai United Nation Convention on Climate Change (UNFCCC) yang berlaku secara global untuk mengurangi rata-rata emisi gas rumah kaca.

Upaya pengurangan emisi itu dilakukan dengan menetapkan target pembatasan dan pengurangan emisi gas-gas tersebut, salah satunya gas buang kendaraan bermotor. Fasilitas dari pemerintah untuk LCGC tampak bersifat ramah lingkungan melalui peran serta dalam pengurangan polusi udara karena emisi gas buang sesuai Protokol Kyoto.

Tapi, perspektif lain dapat memberikan analisis yang berbeda ketika  dampak ekononomi lingkungan muncul dan menjadi efek bumerang bagi konsumsi bahan bakar fosil secara nasional serta pada jumlah emisi total itu sendiri.

Efek bumerang tersebut dikenal dalam kajian ekonomi lingkungan dengan istilah perverse incentive, yaitu insentif atau dorongan pada wilayah kebijakan yang sering memunculkan hasil yang bersifat kontraproduktif relatif terhadap tujuan utama kebijakan tersebut.

Cerita perverse incentive pada ranah ”hemat bahan bakar minyak (BBM)” pernah terjadi di Amerika Serikat pada 1970 ketika kebijakan Corporate Average Fuel Economy (CAFE) diterapkan atas industri otomotif untuk memproduksi mobil ramah lingkungan yang hemat bahan bakar. Hal tersebut tentu dimaksudkan untuk mengurangi polusi udara karena gas buang dan penghematan konsumsi BBM nasional.

 

Transportasi Publik

Akibat kebijakan tersebut, terjadi perubahan perilaku masyarakat di mana pemilik kendaraan cenderung meningkatkan jarak tempuh harian. Mobil yang hemat akan menjadikan pemiliknya cenderung lepas kontrol terhadap pemakaian mobil. Konsumsi bahan bakar nasional meningkat hingga 30% dibandingkan dengan konsumsi sebelumnya. Laju penambahan emisi tetap tidak terkendali.

Cerita yang sama terulang di Thailand pada 2013 ketika kebijakan menyangkut LCGC yang ditetapkan pemerintah Thailand telah menyebabkan–di Kota Bangkok saja–terjadi penambahan kepemilikan mobil hingga 800.000 unit pada 2013 ini. Dengan ruas jalan kota yang sama, tentu kita bisa membayangkan kepadatan lalu lintas yang terjadi.

Dampak kurang baik pada contoh kasus cerita perverse incentive tersebut ditimbulkan oleh serangkaian ”perubahan perilaku” secara individual maupun kolektif dalam memanfaatkan sarana transportasi karena fasilitas.

Tampaknya pemerintah kurang menyadari kemungkinan munculnya fenomena perverse incentive yang berdampak munculnya permasalahan lingkungan yang baru. Hal tersebut terlihat pada berbagai rencana mitigasi yang telah disiapkan yang lebih ditekankan pada bagaimana mengurangi kemacetan.

Rencana mitigasi mengurangi kemacetan itu berupa sistem buka tutup, pelat nomor kendaraan genap-ganjil, electronic road pricing (ERP), hingga menaikkan bea parkir. Komitmen penegakan Protokol Kyoto menjadi kabur karena dualisme. Pada satu sisi meratifikasi protokol namun pada sisi lain kontraproduktif dengan tujuan protokol yaitu ketika emisi gas buang tetap sulit dikendalikan.

Dalam konteks ekonomi lingkungan, sistem kebijakan LCGC yang dibuat  justru membahayakan komitmen ”hijau” pemerintah Indonesia ketika bahaya perverse incentive seperti pada contoh di atas tidak dimasukkan dalam kalkulasi saat sistem kebijakan dibuat. Dua contoh kasus di atas juga telah menunjukkan bahwa perverse incentive muncul karena perubahan tingkah laku dalam konsumsi.

Apakah strategi buka-tutup, pelat nomor genap-ganjil, electronic road pricing (ERP), hingga menaikkan bea parkir yang dirumuskan pemerintah dapat mencegah masyarakat kelas menengah memiliki mobil? Tampaknya kesejahteraan masyarakat menengah telah membaik, dan kemampuan membeli mobil murah telah diikuti dengan kemampuan membayar tarif-tarif tersebut.

Terlebih lagi, kenyamanan berkendara akan lebih memotivasi untuk tetap memiliki mobil meskipun dengan beban biaya tambahan dan rumitnya aturan. Dengan kata lain, dapat diprediksi bahwa kenaikan kepemilikan mobil akan mengiringi perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat kelas menengah dalam berkendara.

Sekadar membayangkan, jika kebijakan tetap dilanjutkan, sebentar lagi mobil akan menjadi ”kambing hitam” kepadatan dan pelanggaran lalu lintas selain sepeda motor. Kebijakan perbaikan sarana dan prasarana transportasi publik tetap merupakan solusi yang bijaksana daripada terfokus pada pengadaan mobil murah yang mungkin hanya menguntungkan beberapa orang pelaku ekonomi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya