SOLOPOS.COM - Abdullah Hanif, Peserta Program Magister Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. (FOTO/Istimewa)

Abdullah Hanif, Peserta Program Magister Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. (FOTO/Istimewa)

Hari ini (9/2) diperingati sebagai Hari Pers Nasional [yang mengambil momentum hari lahir organisasi profesi wartawan Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI]. Sebagian besar masyarakat kita mungkin tidak mengetahui karena tidak dijadikan sebagai hari libur.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hanya para wartawan [anggota PWI] dan [sebagian] mereka yang bergelut di dunia media massa sajalah yang selalu memperingatinya [organisasi profesi jurnalis Aliansi Jurnalis Independen atau AJI tak mengakui hari ini sebagai Hari Pers Nasional].

Media massa (pers) memang memiliki peran sentral bagi kehidupan manusia. Tak dapat dibayangkan kehidupan tanpa sarana penyiaran berita, pelapor berita, wartawan, surat kabar, televisi, tanpa radio, dan sekarang tanpa Internet.

Tidak dapat dimungkiri dalam berinteraksi sosial manusia membutuhkan informasi. Media massa merupakan sarana bagi publik untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mayoritas khalayak menghabiskan waktu mereka tidak kurang dari tujuh jam untuk mengonsumsi media massa di tengah kesibukan mereka.

Hal ini mengindikasikan media massa secara sadar maupun tidak memiliki peran vital dalam kehidupan bermasyarakat. Selain sebagai penyalur informasi, media massa juga dapat berfungsi sebagai penghibur, bahkan pelarian dari beban pekerjaan yang menumpuk.

Lindsey (1994) mengatakan bahwa media massa memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakat. Contonya adalah kesaksian bohong Angelina Sondakh dalam persidangan kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet beberapa waktu silam. Ketika hampir semua media menyudutkan Angie maka demikian pulalah opini publik.

Melihat realitas tersebut, tak bisa dimungkiri media massa pun turut berperan sentral menumbuhkan nasionalisme publik. Tengoklah ketika Indonesia diganggu negara sebelah, bagaimana reaksi publik merespons gangguan itu? Kecaman, nada berang hingga turun jalan pun menjadi bukti nasionalisme rakyat Indonesia.

Media dan ideologisasi publik menjadi perhatian serius di abad XXI ini. Hal ini tidak terlepas dari kajian filsafat yang mendengung-dengungkan kajian logosentris. Filsafat tidak hanya berkutat persoalan kosmologis, teosentris maupun antroposentris. Filsafat memandang persoalan tanda (logosentris) sebagai wacana yang cukup krusial.

Yasraf A Piliang (2005) berpendapat media massa di Indonesia saat ini sedang dilanda dua penyakit endemik. Penyakit tersebut sangat erat kaitannya dengan pembentukan nasionalisme publik.

Pertama, krisis simbolisme. Ini adalah suatu kondisi ketidakmampuan sistem simbolisme untuk menciptakan citra atau makna positif tertentu. Misalnya citra masyarakat indonesia yang ramah, damai dan beradab.

Sayangnya, citra yang berkembang oleh publikasi media massa tentang Indonesia cenderung bersifat negatif. Tak pelak, hal ini menggiring masyarakat indonesia mengalami degradasi nasionalisme.

Kedua, abjeksi. Ini adalah suatu kondisi yang ditandai adanya proses degradasi sosial. Media memiliki peluang besar menciptakan abjeksi. Abjeksi menempatkan posisi bangsa Indonesia baik secara psikis maupun simbolis dalam pelbagai kedudukan yang sangat rendah. Baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun kultural.

Hal ini telah menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan martabat dan kehormatan dalam pergaulan internasional. Abjeksi yang berlarut-larut hanya akan menciptakan semacam rasa rendah diri kolektif yang dapat menggiring pada kematian sebuah bangsa.

 

Minim Nasionalisme

Scannell (1988) membahas peran media massa sebagai pembentuk nasionalisme. Ia menyatakan bahwa media massa, khususnya televisi, memainkan suatu peran dalam mengonstruksi ruang kebangsaan. Bahkan di era modern ini hampir 80 persen faktor pemicu nasionalisme adalah media massa.

Dalam bukunya, Nasional. Is. Me, Pandji Pragiwaksono menuturkan bahwa sikap pesimistis yang melanda bangsa Indonesia saat ini tak lain lantaran ulah media yang selalu menyoroti Indonesia hanya pada sisi negatif.

Padahal masih banyak sisi positif bangsa ini, namun sayangnya kurang diekspose secara signifikan. Selama ini peran media massa Indonesia kurang begitu serius dalam membangun nasionalisme. Media massa lebih banyak mengekspose budaya-budaya luar Indonesia, seperti tayangan K-Pop yang berasal dari Korea.

Tayangan-tayangan yang dari luar itu justru mengalahkan program-program lokal, seperti Laptop Si Unyil, Si Bolang, Ethnic Runaway dan sebagainya. Ketika ditelisik secara lebih mendalam, tayangan yang menonjolkan lokalitas keindonesiaan sangat minim, jika tidak boleh dikatakan nihil.

Lihatlah sinetron televisi kita, budaya asing lebih mendominasi setiap segmennya daripada budaya pribumi asli. Bahkan iklan pun didominasi produk-produk asing luar negeri.

Saat ini media massa Indonesia, khususnya televisi, kurang begitu menonjolkan dimensi nasionalisme dalam setiap tayangannya. Media massa Indonesia saat ini berada di simpang jalan: sebagai instrumen demokrasi dan instrumen bisnis (kapitalis). Parahnya, jalan yang kedua lebih mendominasi orientasi media massa saat ini karena mampu meraup materi yang melimpah.

Maka di hari yang penting bagi [sebagian] media massa ini, kita berharap media massa dengan kekuatan politisnya kembali menyuguhkan berita maupun tayangan yang menggugah semangat kecintaan terhadap Tanah Air.

Media bukan semata mengejar kepentingan bisnis semata, namun harus mengedepankan pendidikan publik dalam menumbuhkan nasionalisme. Inilah khitah pers Indonesia sesungguhnya.



 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya