SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (18/5/2015), ditulis Bandung Mawardi. Panulis adalah pengelola Jagat Abjad Solo.

Solopos.com, SOLO — Bambang Soekawati Dewantara (1989) mengenang percakapan bersama sang bapak, Ki Hadjar Dewantara, pada tahun 1959. Percakapan itu mengenai masa depan Padepokan Taman Siswa dan buku.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hari demi hari, Ki Hadjar Dewantara semakin menua. Beliau berharap keluarga bersiap mengurusi dan mengembangkan Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara berwasiat, ”Karena kita sudah diberi rumah sebesar ini, kalian semua tak usah mengusik-ngusik semua hal di Padepokan Taman Siswa.”

Kita mengimajinasikan suara itu lirih tapi bermakna. Bambang Soekawati Dewantara berkata tentang keinginan memiliki buku-buku Multatuli, koleksi di Padepokan Taman Siswa.

Sang bapak menjawab, ”Jangan, tak usah. Kalau buku itu kaubawa maka cuma kau sendiri membaca. Sedangkan di Padepokan Taman Siswa, buku itu akan dibaca orang-orang.”

Sejak berdiri pada 1922, Perguruan Nasional Taman Siswa mengusahakan bibliotek atau perpustakaan sebagai tempat orang membaca buku. Kita perlahan membuka ingatan-ingatan tentang tokoh dan kebermaknaan perpustakaan di Indonesia, dari masa ke masa.

Sejak akhir abad XIX, ikhtiar membuat bibliotek dilakukan oleh pelbagai pihak. Di Pecenongan, Batavia, terdapat taman baca milik keluarga Usman bin Fadli. Henri Chambert-Loir (2014) mencatat koleksi-koleksi penting pelbagai bacaan sastra bercorak hiburan.

Semula naskah-naskah disewakan untuk dibaca dalam pelbagai hajatan. Taman bacaan itu perlahan mengalami surut. Koleksi mulai dijual ke sekian tokoh dan Batviaasche Genootschaap van Kunsten en Wetenshappen.

Keberadaan taman baca itu pantas tercatat dalam kesejarahan perpustakaan partikelir. Rintisan perpustakaan pernah jadi program kerja Boedi Oetomo (1908). Nota pemerintah kolonial (1909) mencatat pelbagai misi pendirian Boedi Oetomo.

Perkumpulan pribumi modern itu mengusulkan kepada pemerintah agar mendirikan perpustakaan rakyat. Usulan membuktikan kemauan kaum terpelajar untuk merangsang para murid di Hindia Belanda menjangkau pelbagai ilmu dengan membaca buku-buku di perpustakaan.

Misi besar itu kelak dieajawantahkan Soetomo dengan seruan pengadaan buku-buku murah dan perpustakaan demi ”kemadjoean”. Imam Soepardi, jurnalis dan penulis buku, menjalankan wasiat Soetomo sejak masa kolonial sampai kemerdekaan.

Kaum pergerakan kebangsaan memberi perhatian besar atas perpustakaan atau bibliotek sebagai penunjang pendidikan-pengajaran dan sebaran nasionalisme. Marco Kartodikromo, jurnalis radikal dan novelis, turut menggerakkan Indonesia dengan pendirian bibliotek di Salatiga.

Pada 1924, berdirilah bibliotek bernama Hidoep. Bibliotek dibuka setiap hari, kecuali Jumat, Minggu, dan hari besar umum. Buku-buku bacaan disediakan agar publik bisa turut belajar.

Marco Kartodikromo membuat bujukan cerdas: para pelanggan surat kabar Hidoep diperkenankan meminjam secara gratis di perpustakaan Hidoep. Di Salatiga, Marco Kartodikromo menjadi pemimpin redaksi surat kabar Hidoep, penjual buku, dan pengelola perpustakaan.

Pada masa 1920-an, perpustakaan partikelir mungkin kalah pamor dengan keberadaan bibliotek-biblitek milik Balai Poestaka atau pemerintah. Di pelbagai kota, Balai Poestaka menjalankan program pengadaan bibliotek, tempat orang-orang membaca dan meminjam buku.

Misi perpustakaan ini mengacu ke misi politik dan pendidikan-pengajaran. Perpustakaan mulai menjadi ”surga ilmu”, tujuan orang-orang untuk membuka halaman-halaman buku dan surat kabar agar mengerti pelbagai hal.

Perpustakaan pun mengartikan peningkatan jumlah penduduk melek aksara. Di Indonesia perkembangan perpustakaan menandai pemenuhan ambisi-ambisi kemajuan, nasionalisme, dan keilmuan.

Pada masa 1940-an, jumlah bibliotek partikelir bertambah. Penduduk tak selalu memilih bibliotek bercap pemerintah. Di majalah Kadjawen edisi 5 Mei 1939,  kita bisa menyimak pengumuman tentang bibliothek. Apakah bibliotek partikelir itu?

Dulu, orang-orang mengartikan bibliotek partikelir adalah ”peroesahaan jang menjewakan boekoe 2 ataoe 3 sen tiap-tiap boekoe boeat beberapa hari, dan bisa memberi keoentoengan jang loemajan.” Keinginan membaca buku-buku di bibliotek mesti bermodal uang.

Membaca itu tak gratis! Balai Poestaka mengumumkan ”Bibliotheek partikoelir jang soedah tertjatat pada kami soedah lebih dari 480. Soedah kami djandjikan bahwa barang siapa jang masoek daftar pada nomor 500, akan mendapat boekoe gratis sedjoemlah boekoe pesanannja. Artinja, djika ia memesan boekoe f50 dia akan mendapat boekeo seharga f50 lagi, boleh dipilihnja sendiri.” [Baca selanjutnya: Persewaan Buku]

 

Persewaan Buku
Perpustakaan itu berisi buku-buku tapi memberikan penghasilan bagi pemilik atau pengelola. Sekarang kita mengenali sebagai tempat persewaan buku. Kita meminjam buku atau majalah sesuai tarif.

Perkembangan jumlah perpustakaan atau bibliotek milik pemerintah, universitas, atau partikelir terus bertambah di pelbagai kota dan kampung. Pada masa 1950-an, institusi-institusi pendidikan dianjurkan memiliki ruang untuk perpustakaan.

Pemimpin kota dan kabupaten diminta mendirikan perpustakaan umum, bermaksud memenuhi hak warga untuk belajar atau membaca buku. Penerbit-penerbit buku turut membentuk perpustakaan.



Kita bisa mengingat ambisi penerbit Gunung Agung di Jakarta. Penerbit bercorak nasionalis itu mengusahakan penerbitan buku dan perpustakaan. Laju revolusi bergerak, menempatkan perpustakaan sebagai modal membesarkan capaian intelektualisme dan nasionalisme.

Perkembangan perpustakaan itu bukti  jumlah penduduk melek aksara meningkat. Pemerintah gencar mengadakan program pemberantasan buta huruf, disokong ketersediaan buku-buku dan perpustakaan. Kaum intelektual semakin memaknai perpustakaan sebagai tempat bergelimang ilmu.

Murid-murid dan mahasiswa mengkrabi ruangan berisi rak, buku, meja, dan kursi. Pengertian tentang perpustakaan mulai dimiliki publik secara ”baku”. Situasi itu tak dibarengi penerbitan buku-buku bertema perpustakaan.

M. Said dalam buku berjudul Pemimpin Perpustakaan (1953) menjelaskan belum ada sebuah buku pun yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia, khusus mempersoalkan seluk-beluk perpustakaan. Itulah jang menggerakkan penulis untuk menulis di sekitar hal itu.

Buku berisi materi-materi informatif dengan ketebalan 57 halaman bertujuan menjalakan obor pengertian dalam seluk-beluk perpustakaan. Ingatan-ingatan itu kita hadirkan lagi agar ada latar saat publik memberi tanggapan tentang nasib Perpustakaan Nasional, perpustakaan daerah atau kota, perpustakaan di sekolah dan universitas, dan taman baca di pelbagai kampung.

Kita memiliki sejarah panjang dalam pendirian dan pengembangan bibliotek atau perpustakaan. Sekarang perkembangan perpustakaan mengikutkan pelbagai perusahaan negara dan swasta.

Program perpustakaan diadakan berdalih kontribusi perusahaan dalam peningkatan minat baca dan pendidikan publik. Berita-berita menggembirakan itu mengandung sejenis keraguan. Kita kadang mendapat keluhan bahwa jumlah pengunjung di perpustakaan-perpustakaan menurun.

Penyediaan fasilitas  Internet di perpustakaan membuat lorong-lorong rak buku semakin sepi. Di meja-meja tak ada tumpukan buku. Kursi-kursi untuk para pembaca tampak kosong dan berdebu. Di perpustakaan, sekian orang sibuk di ruangan Internet dan melupakan buku-buku di rak.

Berita ini tak usah membuat kita kecewa atau marah. Situasi itu kelumrahan. Barangkali kita masih merindukan ada orang fanatik menjalani hari-hari di perpustakaan. Orang itu mungkin penganut ”bukuisme”.

Kita masih bisa menemukan orang-orang ambisus menjadi ”penghuni” perpustakaan. Raga bergerak di lorong-lorong rak buku. Mata melihat dan membaca judul-judul buku. Tangan memegangi buku-buku dengan gairah tak biasa. Aroma buku terhirup memberi sensasi literer.

Zaim Rofiqi (2014) melalui puisi berjudul Perpustakaan berkisah: Ia membuka pintu / dan masuk ke dalam perpustakaan itu… Apa saja yang harus / mulai ia baca? / Katalog apa, definisi mana, kamus siapa / yang harus ia percaya.

Di dalam perpustakaan, tokoh itu bimbang dan terlalu berharap. Di ujung puisi, kita berempati pada si tokoh: Ia terus tinggal di perpustakaan itu / sambil berharap / mendapatkan berbagai penjelasan. / Namun karena tak kunjung menemukan / beragam hal yang disebut jawaban / ia pun memilih diam / meski kadang masih juga/ airmata ia titikkan.

Kita tak usah terlalu terharu. Nasib si tokoh itu ada dalam puisi. Nasib kita berbeda jika masih berminat mengurusi perpustakaan-perpustakaan dan tekun sebagai pembaca buku. Selamat Hari Buku Nasional 17 Mei 2015 dan selamat ulang tahun ke-35 Perpustakaan Nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya