SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (11/6/2015), ditulis Bandung Mawardi. Penulis adalah pengelola Jagat Abdjad Solo.

Solopos.com, SOLO — Wahai Gibran dan Selvi, aku bukan tamu di pesta pernikahan kalian di Graha Saba Buana Solo, 11 Juni 2015. Aku tentu tak harus memberi kado berisi gelas dan piring, tak memasang spanduk di pinggir jalan, tak  perlu memasang iklan di koran, tak perku mengirim karangan bunga berharga jutaan rupiah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Aku pun tak akan membuat ucapan selamat di media sosial. Bapakmu melarang pemberian kado atau hadiah tapi sulit mengelak dari ulah para penggemar atau publik dalam eskpresi membuktikan turut berbahagia atas pernikahan kalian.

Barangkali mengirim doa tak termasuk dalam larangan. Pemberian tulisan ini mungkin bisa jadi sejenis pengganti “ceramah ilegal” di Graha Saba Buana. Aku hidup di rumah buku, berada di desa. Tulisan ini berisi penjelasan-penjelasan pernikahan mengacu buku-buku.

Aku belum bisa menggubah teks-teks sastra seperti pujangga keraton saat mengabadikan pernikahan melalui teks naratif. Dulu, pernikahan-pernikahan para penguasa sering menghasilkan kitab sastra, berisi nasihat dan cerita.

John Pamberton (2003) membuka halaman-halaman kitab sastra untuk melihat Jawa pada masa silam. Sejak abad XIX, pernikahan-pernikahan di Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran memunculkan kitab sastra.

Aku menemukan Partakrama gubahan Sindusastra dan Waryagnya gubahan Mangkunagoro IV. Gibran, apakah ada pujangga yang mendokumentasikan pernikahanmu berwujud teks sastra? Aku tentu bersedia jika mendapat penugasan. Berita-berita pernikahanmu memang tak berkait sastra.

Aku memaklumi pernikahan pada masa sekarang memang tak lagi bersastra. Kehadiran teks sastra bermaksud reflektif, memuat pelbagai ajaran religius, seks, politik, harta, dan sosial.

Gibran, bapakmu tentu tak sempat memikirkan memberi tugas kepada pujangga. Beliau sudah memikul tugas-tugas berat demi Indonesia. Gibran dan Selvi, aku ingin berbagi cerita tentang pernikahan dan sastra.  Dulu, pujangga asal Solo bernama Rendra menjalin asmara berlanjut ke pernikahan.

Selama berpacaran, Rendra menggubah puisi-puisi romantis dan obsesif. Gibran dan Selvi, pernahkah kalian membaca puisi-puisi Rendra? Aku mau meminjami atau memberikan buku-buku puisi Rendra jika ada janji sebagai referensi belajar asmara dan kehidupan.

Rendra menggubah puisi serial pernikahan berjudul Kakawin Kawin, termuat di buku Empat Kumpulan Sajak (1961). Penggunaan istilah ”kakawin” mengingatkan kita pada kerja kesastraan para kawi atau pujangga Jawa pada masa silam.

Kisah percintaan dan pernikahan sering diceritakan dalam kakawin. Teks sastra itu dibaca dan dipelajari selama ratusan tahun. Aku agak mengerti kakawin setelah membaca Kalangwan garapan Zoetmulder dan Kapustakaan Jawa susunan Poerbatjaraka.

Rendra adalah manusia Jawa yang menengok ke tradisi dalam bercinta dan mengerti hidup. Kita simak petikan puisi berjudul Serenade Hitam. Rendra bercerita secara heroik: Marilah, Candra Kirana!/ Kita rampas kemenangan/ dan kita tepiskan kematian./ O, betapa kubenci kehancuran/ dan kuyakini hari yang gemilang./ Kemarilah, Candra Kirana!/ Lelakimu di sini:/ pohon pautan tempat berpegang./ Keluarlah dari hutan!/ Di sini kita kawin./ Di sini kita berpelukan./ Di bawah mentari./ Di bawah langit siang.

Aku terpukau membaca puisi Rendra, mengacu ke ingatan cerita Panji. Aku terharu meski tak pernah memiliki pengalaman asmara heroik.  Rendra pun menganggap pernikahan itu peristiwa sakral untuk menjalani titah dalam kehidupan. Aku pilihkan sebait dari puisi berjudul Serenade Merjan.

Simaklah: Kau dan aku/ yang berpijak di bumi pusaka/ di tengah alam semesta/ yang telanjang dan terbuka,/ adalah sumber dari hidup yang baru/ kita adalah persemaian/ dari dosa, penderitaan/ dan napas harapan kehidupan. Rendra berpuisi demi mengisahkan pernikahan.

Heroisme Rendra agak berbeda dengan keluguan Sapardi Djoko Damono.   Pujangga ini kelahiran Solo. Sapardi Djoko Damono saat masih bocah sering bermain di jembatan di kawasan Komplang. Jembatan itu dekat Graha Saba Buana. [Baca: Keperluan Hidup]

 

Keperluan Hidup
Pujangga bertubuh kurus dan bertampang kalem itu menggarap dua novel hiburan berbahasa Jawa untuk ongkos pernikahan. Dulu, orang-orang memberi julukan  ”novel panglipur wuyung”. Sastra telah jadi modal hidup bersama.

Sapardi Djoko Damono tak lupa mengekalkan peristiwa pernikahan melalui puisi. Aku sajikan kutipan dari puisi berjudul Doa Perkawinan”gubahan Sapardi Djoko Damono (1965).

Dua ekor merpati sedang mengadu paruhnya, Tuhanku,/ dan kami akan kawin,/ apakah yang mesti ditunggu lagi, kami akan menyusun bata-bata,/ satu demi satu, membangun sebuah rumah/ yang sederhana,/ semoga Engkaulah yang nanti datang/ menyalakan lampuku/ barangkali kami terpaksa tidur dilantai saja/ dan menggigil kedinginan waktu hujan tiba,/ tapi tangan-Mu semoga menutup atap yang bocor gentingnya. Romantis!

Aku tak mampu menggubah puisi seperti Rendra dan Sapardi Djoko Damono. Aku cuma menulis puisi wagu sehalaman kertas putih. Lembaran itu aku bingkai sederhana seharga Rp10.000. Dulu, puisi jadi persembahan bagi istriku, setelah acara pernikahan di gedung tua.

Aku memilih puisi meski tak seromantis puisi Rendra dan Sapardi Djoko Damono. Gibran dan Selvi, aku memasang puisi itu di dinding rumah. Aku senang melihat puisi ketimbang melihat foto-foto pernikahan di dinding rumah. Gibran, apakah dirimu membuatkan puisi untuk Selvi?

Dulu, aku pernah belajar tentang pernikahan melalui ceramah-ceramah Ki Ageng Suryomentaram. Ceramah-ceramah itu diterbitkan menjadi buku berbahasa Jawa dan Indonesia. Ceramah sering diadakan di Solo berbarengan penerbitan majalah Dudu Kowe.

Aku sajikan petikan dari buku Falsafah Hidup Bahagia (2003) mengenai makna perkawinan. Ki Ageng Suryomentaram berkata, ”Perkawinan menjadi keperluan hidup, dan hidup menjadi tujuan perkawinan. Namun, manusia sering mengalami kesulitan dalam perkawinan. Bahkan, kesulitan itu sudah dirasakan jauh sebelum memperoleh suami atau istri… Bersuami dan beristri berarti bersama memenuhi kebutuhan tiga hal: bersanggama, berkeluarga, dan menikmati keindahan.”



Aku sering termenung membaca pemikiran-pemikiran Ki Ageng Suryomentaram. Aku membaca buku-buku “filsuf Jawa” itu sebelum menikah pada 2007. Aku juga menggenapi membaca dan mempelajari Tata Cara gubahan Padmasusastra. Kitab lawas berisi lakon hidup manusia: kelahiran, pernikahan, dan kematian.

Pembelajaran tentang pernikahan tentu tak melulu dengan teks-teks sastra. Kita pun harus mempelajari kitab suci. Aku jadi ingat kebiasaan orang-orang di Indonesia menjadikan kitab suci sebagai ”persembahan” dalam pernikahan.

Aku tentu tak melupakan acara-cara pernikahan di gedung atau kampung yang sering mengundang ulama, bertugas memberi ceramah singkat bertema pernikahan. Ulama dipastikan menggunakan kitab suci dalam memberi nasihat saat para tamu sedang makan, bergosip, atau saling berfoto.

Aku tak mengingat isi ceramah saat acara pernikahanku. Pikiranku tak tenang saat dipaksa menjalani ”ritual berfoto”. Aku malu dan ketakutan jika difoto. Aku malah hampir bertengkar dengan tukang foto akibat memaksa posisi tubuh dan eskpresi wajahku. Pernikahan itu bukan foto!

Dulu, aku tersiksa selama ”ritual berfoto” dan tak terlalu memberi perhatian pada isi ceramah ulama. Sekarang aku masih belum mau melihat foto-foto pernikahanku atau mengingat isi ceramah.

Aku malah terus menggandrungi sastra dan kepustakaan Jawa. Gibran dan Selvi, semoga kalian berkonsentrasi dalam adegan-adegan foto dan memberi telinga kepada penceramah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya