SOLOPOS.COM - TARGET -- Seorang warga memberi sedekah kepada seorang pengemis di pinggir Jalan Jenderal Sudirman, Solo, beberapa waktu lalu. DPRD Jateng mempertanyakan kinerja Pemprov yang dinilai gagal memeunhi target pengurangan kemiskinan. (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

Gagasan kali ini karya Tiyas Nur Haryani. Penulis merupakan alumnus Magister Administrasi Publik UNS.

Solopos.com, SOLO — Kemiskinan menjadi masalah utama di Indonesia. Pendistribusian bantuan kemiskinan yang tidak merata atau salah sasaran, menuntut kita untuk mengkaji ulang uji data kemiskinan masyarakat.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Karut-marut data kemiskinan masih menjadi persoalan yang terus dihadapi pemerintah. Jaminan sosial di Indonesia rata-rata menggunakan skema berdasarkan status kemiskinan.

Karut-marut data ini berimplikasi kepada pembuatan dan pengelolaan data penerima bantuan. Kasus di Kota Solo tampak dari diseminasi Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Solo pada Jumat (27/2/2015).

Diseminasi itu menemukan fakta, data kacau dalam kepesertaan kartu jenis gold pada program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS) dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS adalah cerminan ketidakefektifan pengelolaan data kemiskinan di negeri ini.

Salah sasaran masih menjadi isu langganan dalam pendistribusian jaminan sosial berbasis data kemiskinan. Oleh karena itu, dibutuhkan uji publik data kemiskinan sebagai sebuah alternatif kebijakan untuk memperkecil margin eror. Namun, kendala pendataan di Surakarta masih minim partisipasi kehadiran warga dalam forum-forum akuntabilitas sosial data kemiskinan.

Selama ini, data statistik sektoral kemiskinan masih tumpang tindih antar instansi penanggulangan yang sebetulnya memiliki program beririsan. Beragam versi data kemiskinan yang muncul menjadikan berbagai intervensi program jaminan sosial belum optimal. Data kemiskinan yang valid menjadi titik awal keberhasilan pemenuhan hak dasar warga miskin. Mempertanyakan sejauh mana efektivitas mekanisme akuntabilitas sosial dalam validitas data penting untuk dikaji.

Permasalahan di lapangan pada saat pendataan antara lain; lemahnya peran serta masyarakat dalam setiap proses pendataan, tumpang tindih data nasional dan daerah, serta ego sektoral antar instansi dalam melakukan statistik sektoral menimbulkan selisih data kemiskinan. Belum optimalnya verifikasi data yang dilakukan petugas juga menjadi faktor penghambat efektivitas program-program pro poor.

Reformasi dan desentralisasi melahirkan reposisi peran masyarakat dan menguatnya akuntabilitas. Dewasa ini akuntabilitas sosial dapat didesakkan oleh masyarakat ketika pemerintah gagal memenuhi tuntutan rakyat. Akuntabilitas sosial dalam pemutakhiran data kemiskinan mampu meningkatkan efektivitas pendataan kemiskinan.

Akuntabilitas sosial dalam agenda pendataan adalah bagaimana melibatkan warga masyarakat dalam memberikan masukan atas data yang telah disajikan oleh pemerintah. Hal tersebut merupakan kunci penting akuntabilitas sosial dalam penyusunan data kemiskinan.

Keterlibatan publik dalam forum akuntabilitas sosial perlu masuk menjadi bagian tahapan validitas data kemiskinan untuk menampung masukan kelompok sasaran. Akuntabilitas sosial menjadi penting dilaksanakan seiring dengan perkembangan proses demokrasi dan reformasi.

Alternatif Kebijakan
Akuntabilitas sosial dalam pendataan kependudukan belum mampu berjalan optimal di Indonesia lantaran masih lemahnya aturan hukum. Pasal 15 dan 16 Undang-Undang No 16 Tahun 1997 Tentang Statistik hanya sebatas memberi wewenang kepada badan statistik untuk mengumumkan dan menyebarluaskan hasil statistik yang diselenggarakannya belum ditindaklanjuti dengan optimalisasi akuntabilitas sosial pada data kemiskinan tersebut. Keterbukaan informasi publik dan akuntabilitas sosial masih minim di lapangan.

Masih kentalnya birokrasi red tape di Indonesia tinggalan budaya Orde Baru membuat reformasi birokrasi belum mencapai tujuan yang dicita-citakan. Selama ini pelayan publik masih bertindak atas dasar prinsip peraturan sehingga bersikap kaku dan minim lahirnya kreativitas dalam pelayanan publik yang berkualitas. Terlalu lamanya proses indoktrinasi kultur birokrasi, mengarahkan aparat birokrasi selalu melihat ke atas, mementingkan kepentingan pucuk pimpinan daripada masyarakat (Agus Dwiyanto, 2006). Faktanya, birokrasi yang belum berorientasi pada kepuasan dan kepercayaan publik membuat akuntabilitas sosial cenderung lemah.

Beragam data kemiskinan yang sampai dengan saat ini masih saling tumpang tindih membutuhkan sinkronisasi dan pemerintah perlu mulai membangun sistem data kemiskinan terpadu. Uji publik yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat guna menjaring masukan warga, harapannya mampu membantu menghasilkan data kemiskinan yang valid dan akuntabel.

Selanjutnya, persoalaan sinkronisasi data memang bukan pekerjaan mudah untuk saat ini, mengingat banyaknya instansi baik di daerah dan pusat yang melakukan pendataan statistik sektoral. Uji publik terhadap data statistik sektoral tanpa sinkronisasi dan integrasi data kemikinan antar instansi juga dapat dipilih sebagai alternatif kebijakan yang dapat diambil pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan sebagai mitigasi ketika sinkronisasi data sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan masih kuatnya ego sektoral antar instansi yang melakukan pencatatan statistik sektoral dalam penanggulangan kemiskinan sesuai tugas dan fungsi masing-masing instansi. Sistem data kemiskinan terpadu dibutuhkan untuk menjaga keakuratan data kemiskinan nasional dan di daerah.

Kanal-kanal warga perlu dioptimalkan agar akuntabilitas sosial mendapatkan umpan balik. Pengembangan masyarakat juga harus dilakukan oleh swasta, pemerintah dan lembaga masyarakat untuk membangun masyarakat yang melek informasi publik serta mampu memberi umpan balik pada pemerintah.

Efektivitas pengentasan kemiskinan di daerah juga terhambat dengan indikator kemikisnan nasional, sehingga banyak daerah tidak dapat menemukan akar masalah kemiskinan yang ada di daerah masing-masing. Keberhasilan dari akuntabilitas sosial sulit terwujud jika dalam pencatatan kemiskinan masih kental dengan standar nilai berdasarkan juklak, padahal setiap daerah memiliki kondisi sosial ekonomi dan politik yang berbeda-beda. Hal tersebut kembali membawa kecenderungan birokrasi red tape dalam penanganan pengaduan data kemiskinan yang tidak tepat sasaran sehingga masyarakat memilih mekanisme voice. Oleh karena itu, dalam pendataan kemiskinan perlu mulai dipertimbangkan adanya indikator lokal. Desentralisasi semestinya mampu memotret kearifan lokal dan local genius yang ada, salah satunya menyoal kemiskinan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya