SOLOPOS.COM - Thontowi Jauhari, Wakil Ketua Bidang Pendidikan Politik dan Kebudayaan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah

Thontowi Jauhari, Wakil Ketua Bidang Pendidikan Politik dan Kebudayaan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah

UU No 8/2010 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD dan DPD sebagai suatu sistem perekrutan wakil rakyat (anggota DPR/DPRD) melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 tidak bisa menjamin produk yang berkualitas. Mestinya sebagai suatu sistem perekrutan yang baik, sistem itu harus menjamin kualitas produknya. Artinya, UU tersebut sebenarnya sudah cacat sejak lahir.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Biaya pemilu yang nilainya triliunan rupiah seolah-olah hanya menjawab kepastian adanya pemilu setiap lima tahun sebagai syarat wajib adanya dalam negara dengan sistem demokrasi. Kualitas wakil rakyat terpilih secara umum tidak akan banyak perubahan atau bahkan lebih buruk.

Setidak-tidaknya ada dua persoalan yang sering dikeluhkan publik, atau bahkan oleh para wakil rakyat sendiri, namun tidak dijawab atau diantisipasi melalui proses legislasi dengan hukum sebagai tool of social engineering (alat rekayasa sosial), yakni terkait rendahnya kualitas wakil rakyat saat ini dan  semakin tingginya biaya politik dari pemilu ke pemilu.

Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, dalam penelitiannya menemukan fakta para wakil rakyat di Senayan periode 2009-2014 rata-rata menghabiskan biaya Rp6 miliar,  terendah Rp2 miliar dan  tertinggi  hingga Rp22 miliar. Sebuah nilai yang amat fantastik, namun tidak dijawab dengan kewenangan yang dimiliki melalui pembuatan  UU untuk mencegahnya agar tidak terulang dalam pemilu berikutnya.

Para wakil rakyat lebih nikmat menjawab persoalan biaya politik tinggi tersebut dengan melakukan mafia anggaran dan korupsi, baik secara ”legal” atau tidak. ”Korupsi legal” dengan memperbanyak kegiatan yang ujung-ujungnya bagaimana dapat menambah isi saku. Atau, melalui cara ilegal seperti yang dilakukan M Nazaruddin, Wa Ode Nur Hayati, Zulkarnain Djabar, Luthfi Hasan Ishaaq dan sebagainya.

Para wakil rakyat tampaknya telah abai dengan persoalan yang amat krusial dalam pemilu ketika membahas UU tersebut. Mereka tidak berbicara tentang bagaimana output wakil rakyat terpilih dari sisi kepentingan pengelolaan pemerintahan di lembaga legislatif. Mereka tidak berbicara tentang kepemimpinan bangsa dan perlu dipertanyakan jiwa nasionalisme mereka.

Sebaliknya, mereka lebih fokus berbicara tentang kepentingan partainya, apakah dalam Pemilu 2014 nanti akan lolos parliamentary threshold (PT) atau tidak? Apakah UU bisa menjamin partainya akan memperoleh kursi lebih besar dan sebagainya. Ketika voting dilakukan, seluruh materi voting hanya berkaitan dengan kepentingan partai. Ini adalah dosa besar partai politik yang mempunyai wakil di parlemen, dan publik perlu menghukumnya.

Pesimis

Mengapa publik banyak yang pesimistis Pemilu 2014 akan melahirkan banyak wakil rakyat yang  berkualitas ? Pertama, persyaratan menjadi calon anggota lembaga legislatif (caleg) terlalu longgar. Seolah-olah UU menyatakan siapa pun boleh maju menjadi caleg, meski tidak mempunyai latar belakang sebagai seorang aktivis atau tidak paham konsep politik sedikit pun. Dalam persyaratan kapasitas hanya diukur secara formal dengan dipersyaratkan mempunyai ijazah setingkat sekolah lanjutan tingkat atas. Dari sisi subtansi, kapasitas hanya dipersyaratkan: cakap berbicara, membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia (Pasal 56 UU 8/2010).

Tidak ditemukan syarat integritas, meski itu hanya dalam bentuk surat pernyataan. Padahal, salah satu persoalan krusial perilaku wakil rakyat produk Pemilu 2009 adalah persoalan integritas. Keputusan Mahkamah Konstitusi semakin memperlonggar syarat. Seorang bekas narapidana diperkenankan menjadi caleg dengan alasan masalah hak asasi manusia (HAM). Hal itu kemudian secara teknis diatur dalam dalam Peraturan Komosi Pemilihan Umum (PKPU) No 7/2012 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupate/Kota.

Kedua, satu-satunya pintu masuk pencalegan lewat partai politik. Ini menimbulkan problem. Berdasarkan pada UUD 1945, peserta pemilu untuk memilih anggota DPR/DPRD adalah partai politik. Partai politik mempunyai hak istimewa. Bahkan, partai politik diberi semacam cek kosong dengan syarat-syarat caleg yang longgar tadi. Sayangnya, amanah berupa hak istimewa tersebut tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh partai politik.

Output perekrutan caleg banyak mengecewakan dan tampak sekali partai sangat pragmatis. Pemilu hanya dilihat dari sisi elektabilitas. Kecenderungan mayoritas pemilih dipandang tidak mempunyai pengetahuan dan kesadaran politik yang baik. Partai memilih  menyodorkan banyak caleg dari kalangan artis dan orang-orang berduit daripada orang-orang yang mempunyai ideologi, integritas dan  kapasitas.

Pada masa mendatang, pemberian cek kosong kepada partai politik itu tidak boleh dilakukan lagi. Perlu ada regulasi dalam bentuk UU.  Dalam rangka perekrutan caleg, partai politik wajib menggandeng pihak ketiga yang independen dan mempunyai kewenangan di bidangnya. Misalnya, partai politik wajib menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam rangka melakukan pelacakan harta yang diperoleh caleg, partai menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka pelcakan dugaan kasus korupsi atau menggandeng Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk melacak perilaku mereka selama ini.

Ketiga, diperkirakan aroma politik uang semakin menggila. Dalam kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), UU No 8/2012 tidak menambah kualitas pencegahan dan sanksi terhadap pelaku politik uang. bantuan nonperorangan kepada partai politik batas maksimalnya ditambah menjadi Rp7,5 miliar (sebelumnya Rp5 milyar).  UU juga tidak membatasi belanja pemilu. Dapat dipastikan peristiwa ”hura-hura duit” sebagaimana hasil penelitian Pramono Anung  akan terulang, bahkan bisa lebih ganas.

Pemilih Cerdas

Lantas, apa yang harus diperbuat ketika pesimisme telah masuk dalam relung-relung pikiran kita? Bagi orang yang berpikir dengan nalar runtut dan logis, dipastikan dia akan pesimistis. Namun, pesimisme terhadap hasil Pemilu 2014 tidak berarti putus asa terhadap kemungkinan adanya perubahan. Sejarah gerakan perubahan selalu didorong oleh sekelompok kecil militan yang dapat memaksa kelompok mayoritas. Itu artinya butuh ”orang-orang minoritas” yang menyebar ke seluruh partai politik untuk menggelorakan gerakan perubahan di parlemen.

Untuk mewujudkan penggelora perubahan tersebut perlu desain cantik. Sistem proporsional terbuka sangat membuka peluang ”orang-orang baik” bisa terpilih. Dari sejumlah caleg yang disodorkan partai politik, banyak di antara mereka yang berkualitas. Selama ini, sistem proporsional terbuka disalahpahami memberikan peluang lebih besar kepada orang-orang berduit. Padahal, logika ini perlu dibalik. Justru sistem proporsional terbuka yang lebih bisa menjamin caleg terpilih adalah caleg terbaik, jika pemilih cerdas. Pertanyaannya, sudah cerdaskah pemilih kita? Wallahu a’lam. (thontowi.jauhari@gmail.com)

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya