SOLOPOS.COM - Muhammad Sholahuddin, Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta Kandidat PhD di IIUM Malaysia

Muhammad Sholahuddin, Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta Kandidat PhD di IIUM Malaysia

Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Jumlah pelaku usaha sektor tersebut menurut data Biro Pusat Statistik Indonesia (2011) mencapai  55,2 juta unit usaha atau 99,99% dari seluruh unit usaha di Indonesia dan mempekerjakan 101,7 juta orang (97,2%).

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Persentase tersebut semestinya sesuatu yang harus dibanggakan dan mendapatkan pujian terutama ketika  terjadi badai krisis ekonomi 1998 yang membuktikan sektor UMKM paling mampu bertahan. Hal itu karena UMKM tergantung pada muatan lokal. Mereka menggunakan sumber daya dalam negeri baik sumber daya manusia, bahan  baku dan peralatan sehingga mereka tidak tergantung pada ekspor.

Selain itu, hasil produksi sektor UMKM lebih ditujukan untuk memenuhi pangsa pasar dalam negeri sehingga tidak tergantung kepada kondisi perekonomian negara lain. Persentase UMKM yang dominan tersebut berkontribusi terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar Rp4,3 triliun (58%) serta memberikan sumbangan devisa (ekspor-impor) hanya sebesar Rp 187,4 triliun (16,4%). Itu menandakan ada sesuatu yang harus dibenahi.

Ekspedisi Mudik 2024

Data  tersebut dapat diartikan bahwa nasib usaha mikro dan kecil tidak banyak mengalami perubahan yang berarti selama bertahun-tahun. Semestinya para pelaku usaha mikro dan kecil ini segera  meningkat menjadi pengusaha menengah dan besar sehingga diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan PDB, penyerapan tenaga kerja dan  meningkatkan sumbangan devisa.

Ada beberapa penyebab kelambanan UMKM meningkat menjadi usaha besar.  Menurut Urata (dalam Adiningsih, 2009) di antaranya karena  UMKM sering kali tidak dapat lepas dari dua masalah utama, yaitu finansial dan nonfinansial (organisasi manajemen). Masalah finansial utama adalah kekurangsesuaian (mismatch) antara dana yang tersedia dan yang bisa diakses.

Selain itu, tak ada pendekatan sistematis dalam pendanaan, biaya transaksi yang tinggi, prosedur kredit yang akhirnya menyita banyak waktu padahal nilai kredit yang dikucurkan kecil, kurang akses ke sumber dana formal, bunga kredit untuk investasi dan modal kerja cukup tinggi dan banyak UMKM yang belum bankable. Dengan berbagai  hambatan yang dihadapi UMKM tersebut, pemerintah dan pihak-pihak terkait semestinya dengan cepat  berperan aktif mendorong sektor ini agar berkembang lebih baik.

Salah satu pihak yang diharapkan mempunyai peranan besar  terhadap hal tersebut adalah perbankan syariat [biasa disebut perbankan syariah].  Syahyuti (2005) dalam review 10 penelitian tentang potensi dan persepsi masyarakat dari berbagai wilayah di Indonesia mengungkapkan bahwa rata-rata 30 persen responden berpotensi untuk mengadopsi produk perbankan syariat. Dengan potensi pasar bank syariat yang besar , bagaimana  kontribusi industri perbankan syariat Indonesia terhadap pertumbuhan sektor UMKM?  Tulisan ini akan mendiskusikannya.

 

Perhatian

Bank syariat punya perhatian pada sektor UMKM. Menurut Asiyah (2009), program pendukung perkembangan UMKM di antaranya, pertama, inovasi strategi pembiayaan. Kedua, program linkage. Ketiga, pilot project. Keempat, pemanfaatan dana sosial. Kelima, kerja sama technical assistance. Masing-masing bank syariat mempunyai berbagai strategi pembiayaan misalkan bank syariat didirikan pusat-pusat pelayanan pembiayaan mikro seperti gerai UKMM atau sentra UMKM.

Di samping itu, dikembangkan pula  konsep linkage, di mana bank syariat yang lebih besar menyalurkan pembiayaan UMKM-nya melalui lembaga keuangan syariat yang lebih kecil, seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariat (BPRS) dan Baitul Mal Watamwil (BMT). Program ini berjalan karena bank syariat besar belum menjangkau sentra masyarakat usaha mikro dan kecil. Di samping itu, lembaga keuangan syariat yang kecil lebih menyentuh langsung dengan pelaku usaha UMK.

Menurut  Sakti (2010), model pembiayaan linkage antara bank syariat dengan BPRS atau BMT dapat berupa joint financing, executing atau channelingJoint financing adalah bank syariat dan BPRS/BMT bersama-sama memberikan pembiayaan pada pelaku UMKM. Sedangkan executing adalah bank syariah menyediakan pendanaan yang dapat dimanfaatkan oleh BPRS atau BMT dalam pembiayaan mereka ke nasabah UMKM. Sementara channeling menempatkan BPRS atau BMT sebagai lembaga perantara bank umum syariat (BUS)/unit usaha syariat (UUS)  dengan pelaku UMKM.

Berdasarkan UU No 21/2008 tentang perbankan syariat, BUS dan UUS diberi wewenang menjalankan fungsi sosial, yaitu menerima dana zakat, infak, sedekah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.  Dari delapan BUS dan empat UUS yang telah melaporkan pelaksanaan fungsi sosial dan linkage kepada Bank Indonesia, jumlah dana yang telah dikumpulkan dan/atau disalurkan perbankan syariat selama 2012 (sampai dengan Oktober 2012) adalah: (i) dana CSR Rp42,2 miliar, (ii) dana zakat, infak, sedekah, wakaf (ZISW) Rp52,7 miliar, (iii) program linkage BPRS Rp207,2 miliar dan (iv)  program linkage BMT Rp439,2 miliar (Bank Indonesia, 2012).

Perbankan syariat juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan atau pengelola dana sosial dalam upaya meningkatkan budaya kerja, kemampuan manajemen UMKM dan penguasaan teknologi. Secara kuantitatif dapat dianalisis dari data statistik dari Bank Indonesia. Perbankan syariat di Jawa Tengah (Jateng) total asetnya mencapai Rp11,59 triliun pada akhir November 2012, tumbuh 39,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk wilayah bekas Karesidenan Surakarta, pada Desember 2012, total aset mencapai Rp3,29 triliun atau tumbuh 32,81 persen.

Untuk Jawa Tengah, peningkatan itu ditopang oleh ekspansi pembiayaan yang menyentuh Rp7,99 triliun, naik 32,28% dari setahun sebelumnya. Sementara itu, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 33,93% menjadi Rp6 triliun. Untuk Soloraya mencapai Rp2,23 triliun atau tumbuh 26,28 persen dari tahun sebelumnya. Tingginya  pembiayaan terhadap simpanan membuat rasio intermediasi (FDR) berada pada level 133,19%, lebih rendah dibandingkan dengan posisi setahun sebelumnya yang tercatat 134,73%.

Sedangkan di wilayah Soloraya, pada Desember 2012, sebesar 125,30 persen. Kinerja perbankan syariat Jateng jauh lebih tingi dibandingkan dengan pencapaian bank konvensional di wilayah yang sama, yang tumbuh sekitar 21%. Walhasil, perbankan syariat di Jawa Tengah dan wilayah bekas Karesidenan Surakarta masih memiliki peluang untuk tumbuh lebih pesat lagi, mengingat pangsa total aset perbankan syariat masih di bawah 10 persen yaitu sebesar 6,62 persen dari total aset perbankan. Namun, capaian tersebut jangan sampai membuat pegiat ekonomi syariat terlena. Masih banyak permasalahan mendasar yang belum terselesaikan dan itu menjadi tanggung jawab kita bersama. (didinsolo@yahoo.com)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya