SOLOPOS.COM - Agung Pambudi gunkagungpambudi@gmail.com Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Alumnus Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA)

 

 Agung Pambudi  gunkagungpambudi@gmail.com     Alumnus Fakultas Hukum  Universitas Sebelas Maret  Alumnus Pendidikan Khusus  Profesi Advokat (PKPA)

Agung Pambudi
gunkagungpambudi@gmail.com
Alumnus Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Alumnus Pendidikan Khusus
Profesi Advokat (PKPA)

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Nama dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani belakangan terdengar tidak asing di telinga masyarakat. Dokter menjadi berita di media massa karena tersandung kasus dugaan malapraktik, beserta kedua rekannya dr. Henry Siagian dan dr. Henry Simanjuntak.

Mereka tersandung kasus malapraktik saat menangani pasien Julia Fransiska Makatey, 26, pada 2010 lalu. Kasus tersebut masuk ke proses peradilan pidana dan di tingkat kasasi majelis hakim agung di Mahkamah Agung memvonis ketiganya dengan hukuman 10 bulan.

Ekspedisi Mudik 2024

Vonis yang ditetapkan Mahkamah Agung tersebut memunculkan aksi demonstrasi atas nama solidaritas para dokter di seluruh Indonesia. Para dokter menganggap pemidanaan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani adalah kriminalisasi terhadap profesi dokter.

Sangat wajar muncul pro dan kontra terkait pemidanaan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dan kedua rekannya. Ada penilaian bahwa hakim tingkat kasasi yang memeriksa perkara tersebut dianggap tidak mengerti persoalan medis sehingga salah dalam memahami duduk permasalahan.

Perlu digarisbawahi dalam tulisan kali ini saya tidak akan membahas mengenai kasus yang menimpa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dari sisi medis. Saya hanya membahas kasus ini dari sisi hukum dan jalannya persidangan.

Memahami kasus ini tidak bisa sepotong-sepotong. Harus dikaji secara menyeluruh berdasarkan fakta hukum yang terbukti dan dibuktikan di persidangan.  Kasus ini ketika disidangkan di pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) menghasilkan vonis No.90/Pid.B/2011/PN.MDO yang pada pokoknya memvonis dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani  tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan.

Vonis tingkat pertama tersebut membebaskan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dan kedua rekannya dari semua dakwaan (vrijspraak). Jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan MA menetapkan vonis No. 365 K/Pid/ 2012 dengan amar vonis dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan yang karena kealpaan mereka menyebabkan matinya orang lain.

 

Kejanggalan

Dalam kasus ini menurut saya ada satu hal yang janggal. Kejanggalan itu bukan mengenai penyebab kematian korban, bukan mengenai tanda tangan palsu/spurious signature, tetapi mengenai uang Rp50 juta yang diberikan oleh bagian kebidanan rumah sakit kepada keluarga korban.

Fakta hukum ini disampaikan saksi Yulin Mahengkeng (ibu korban) dan Anselumus Makatey (ayah korban) di persidangan dengan di bawah sumpah menurut agama dan kepercayaan mereka.

Hal tersebut diterangkan pula oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani bahwa setelah kejadian dia melaporkan kepada pihak rumah sakit dan dilakukan mediasi. Berdasarkan mediasi itu bagian kebidanan memberikan uang Rp50 juta kepada keluarga korban sebagai ungkapan turut berduka cita.

Hal ini bisa dicek di vonis PN Manado betnomor 90/Pid.B/2011/PN.MDO. Menjadi aneh ketika seorang meninggal dunia akibat tindakan medis lalu mendapat uang duka Rp50 juta. Pemberian uang duka kepada keluarga korban ini layak dipertanyakan karena nominalnya cukup besar.

Apakah pemberian uang duka tersebut wajar? Apakah jika seorang dokter sudah melakukan tugasnya sesuai prosedur dan ternyata pasiennya meninggal maka dia dan rumah sakit harus memberikan uang duka dalam jumlah besar? Atau adakah alasan lain yang mendasarinya?

Jika kematian korban adalah sebagai risiko tindakan medis yang dilakukan, mengapa harus ada uang duka yang bernominal besar? Tanpa bermaksud untuk menghakimi, melalui tulisan ini saya berharap ada pihak yang bisa meluruskan logika saya yang ”mungkin salah”.

Berdasarkan hal tersebut, menurut saya, kasus ini kontroversial. Tapi,  soal vonis atau putusan, saya beranggapan putusan atas kasus ini justru tidak kontroversial. Jika berbicara mengenai tenaga kesehatan di Indonesia kita akan bertemu fakta yang menarik.

Fakta tersebut adalah dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan kesehatan (UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, dan UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit) tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan tenaga kesehatan (termasuk dokter) yang melakukan kelalaian  dapat dipidana.

Oleh karena itu, jaksa penuntut umum mendakwa tiga dokter itu dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih umum, bukan dengan UU yang sifatnya lebih khusus. Dalam hal hukum pidana terdapat asas tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (sculdvorm) berupa kesengajaan dan kealpaan.

Pada undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan, ketentuan pidananya ”hanya” mengatur tentang kesengajaan, sedangkan untuk kealpaan/kelalaian tidak ada aturan pidananya. Pengaturan mengenai kelalaian dalam hal penanganan medis oleh tenaga kesehatan diatur dalam Pasal 29 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan.

Pasal tersebut menyatakan dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Harus diakui dari segi undang-undang ada ”perlakuan istimewa”  terhadap tenaga kesehatan.

Padahal setiap orang di mata hukum berkedudukan sama. Terhadap kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, berdasar Pasal 46 UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit dijelaskan rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.

Saya pertegas lagi, untuk kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (termasuk dokter) tidak ada ketentuan pemidanaan, mekanismenya berupa ganti kerugian.



Berkaca dari kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dan kedua rekannya, kita secara gamblang telah melihat suatu fakta bahwa antara pasien dengan tenaga medis (termasuk dokter) yang tidak selamanya terjalin hubungan harmonis.

Harus saya akui ketika saya membaca vonis pengadilan negeri dan  vonis terhadap terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dan kedua rekannya, saya seperti dibawa masuk ke dalam dunia baru dengan istilah kedokteran yang sangat asing bagi saya. Bidang kedokteran bukan bidan atau kompetensi saya.

Mengingat risiko pekerjaan dan risiko konflik yang tinggi  bagi tenaga kesehatan (termasuk dokter) ditambah dengan pemahaman masyarakat yang kurang mengenai dunia kesehatan, ada baiknya kita memikirkan pembentukan suatu peradilan khusus yang menangani sengketa berkaitan dengan aktivitas medis.

Hal tersebut bertujuan menghindarkan kontroversi dan dugaan peradilan yang tidak adil jika sengketa medis diputus oleh lembaga peradilan umum. Hemat saya, dalam peradilan khusus tersebut berorientasi pada restorative justice guna mengakomodasi kepentingan para pihak. Pemidanaan adalah alternatif terakhir yang ditempuh.

Terkait tidak adanya pemidanaan terhadap kelalaian dalam UU yang berkaitan dengan kesehatan, saya pikir tidak perlu dipermasalahkan. KUHP secara umum sudah mengatur soal kelalaian. Yang perlu diatur sekarang adalah bagaimana mewujudkan suatu peradilan khusus yang menangani sengketa medis dengan putusan berkeadilan bagi semua pihak.

Harapannya agar setiap sengketa medis tidak berakhir secara bekepanjangan. Semoga kasus yang menimpa dr. Ayu dan kedua rekannya adalah peristiwa pertama dan terakhir.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya