SOLOPOS.COM - Muhammad Aslam (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (4/8/2017). Esai ini karya Muhammad Aslam, seorang praktisi perpajakan yang tinggal di Solo. Alamat e-mail penulis adalah aslam_boy@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Target penerimaan pajak yang sering tidak tercapai selalu menjadi perhatian khusus pemerintah dari tahun ke tahun. Pajak merupakan tulang punggung penerimaan negara dalam menopang perekonomian Indonesia untuk mencapai pemerataan dan keadilan sosial.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Semakin besar penerimaan pajak semakin besar pula kemampuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk percepatan pembangunan, menyokong pertumbuhan ekonomi, dan menyejahterakan masyarakat.

Ironisnya terdapat 12 juta badan (perusahaan/yayasan) yang terdaftar tetapi yang memiliki nomor pokok wajib pajak hanya lima juta badan. Dari jumlah itu yang melaporkan surat pemberitahuan pajak penghasilan (SPT PPh) tahunan hanya 540.000 badan.

Ekspedisi Mudik 2024

Sedangkan untuk individu, ada 67 juta orang potensial wajib pajak orang pribadi tetapi yang terdaftar baru 20 juta orang. Dari jumlah itu, hanya 8,8 juta orang yang melaporkan SPT PPh tahunan.

Target penerimaan pajak (nonbea cukai) pada APBN Perubahan 2017 senilai Rp1.283,6 triliun atau 75% dari total penerimaan negara senilai Rp1.714,01 triliun dan hingga semester I 2017 baru terkumpul Rp571,9 triliun atau 33%.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengklaim penurunan ini terjadi karena kenaikan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 senilai Rp54 juta/tahun atau Rp4,5 juta/bulan dari sebelumnya Rp36 juta/tahun atau Rp3 juta/bulan.

Penurunan yang signifikan terjadi pada penerimaan PPh Pasal 21 yang ditarget Rp129,3 triliun pada APBN Perubahan 2016 tetapi hanya terealisasi Rp109,2 triliun. Rendahnya penerimaan pajak ini membuat Direktorat Jenderal Pajak berencana mengkaji sistem penerapan PTKP yang saat ini secara tunggal/nasional menjadi berbasis wilayah/zona sesuai upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten/kota UMK.

Selain itu, data Badan Pusat Statistik 2016 menjelaskan tingkat UMP di Indonesia rata-rata Rp1.997.819/bulan atau Rp23.973.828/tahun untuk setiap individu/lajang. Ini masih jauh di bawah PTKP 2016 senilai Rp54 juta/tahun atau Rp4,5 juta/bulan.

Kenaikan PTKP ini tujuan utamanya untuk meningkatkan stimulus perekonomian nasional melalui peningkatan daya beli rumah tangga dan investasi sehingga meningkatkan konsumsi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi saat itu. Peningkatan batas PTKP tahun 2016 sudah tepat diterapkan di provinsi yang memiliki UMP/UMK tinggi seperti DKI Jakarta yang mencapai Rp3.100.000/bulan.

Selanjutnya adalah: Konsumsi pokok minimum…

Konsumsi

Ini karena konsumsi pokok minimum masyarakat DKI Jakarta sudah lebih dari Rp3 juta/bulan, namun untuk provinsi lain yang UMP/UMK yang masih di bawah Rp2 juta/bulan, penerimaan PPh orang pribadi dan PPh Pasal 21 menurun drastis karena banyak wajib pajak yang penghasilannya di bawah PTKP.

Wacana menurunkan batas PTKP dari tunggal/nasional menjadi berbasis wilayah/zona seperti jalan pintas atau wujud keputusasaan Direktorat Jenderal Pajak dalam menggali potensi pajak dengan menyasar wajib pajak  yang selama ini sudah tertib atau patuh. Ini seperti menjaring ikan di kolam.

Arah penyesuaian PTKP telanjur dipersepsikan sebagai kebijakan sosial yang melindungi kelompok berpenghasilan rendah dan seharusnya dinaikkan. Jika terjadi penurunan PTKP, tentu basis pajak orang pribadi (khususnya karyawan) akan lebih luas, namun daya beli masyarakat akan menurun hingga 5% (analisis yang dipublikasikan di www.bareksa.com).

Kalau pemerintah mengklaim bahwa dibanding negara ASEAN lainnya PTKP Indonesia tergolong tinggi, harus dilihat konteks wajib pajaknya, misalnya dengan Malaysia. PTKP di Malaysia apabila dirupiahkan setara Rp13 juta/tahun dibandingkan Indonesia Rp54 juta/tahun, namun wajib pajak di Malaysia didominasi pekerja sektor formal yang kewajiban pajaknya sudah tertib dan/atau patuh sehingga tax ratio mencapai 15,5%.

Di Indonesia wajib pajak didominasi pekerja sektor informal dengan pengetahuan perpajakan yang terbatas sehingga banyak yang tidak tertib dan/atau tidak patuh sehingga tax ratio 10,3%. PTKP dapat disesuaikan oleh Menteri Keuangan dengan pertimbangan DPR dan memperhitungkan harga kebutuhan pokok (UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 7 ayat (3)) dan standar minimal kebutuhan hidup layak.

Standar minimal kebutuhan hidup layak diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21/2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak yang terdiri atas tujuh kelompok kebutuhan, yaitu makanan dan minimum 11 komponen; sandang 13 komponen; perumahan 26 komponen; pendidikan dua komponen; kesehatan lima komponen; transportasi satu komponen; dan rekreasi dan tabungan dua komponen.

Kebutuhan hidup layak tersebut menjadi dasar dalam menentukan UMP/UMK yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7/2013 tentang Upah Minimum. Kebijakan pengupahan di Indonesia masih berdasarkan pada kebutuhan hidup layak buruh/pekerja lajang dengan masa kerja di bawah setahun dan belum mengakomodasi masa kerja di atas satu tahun dan status keluarga.

Setelah standar minimal kebutuhan hidup layak terpenuhi, masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi dalam pembangunan bangsa melalui pembayaran pajak. Jadi, KHL serta UMP/UMK merupakan sebagian dari indikator dalam menentukan PTKP.

Selanjutnya adalah: Perwujudan sifat subjektif…

Sifat Subjektif



Penetapan PTKP dalam PPh merupakan suatu perwujudan sifat subjektif yang diukur dengan memerhatikan keadaan wajib pajak, seperti status perkawinan dan jumlah tanggungan yang dimiliki, untuk menghindari penurunan tingkat kesejahteraan wajib pajak karena membayar pajak.

Selain itu, kebijakan penyesuaian PTKP yang dilakukan pemerintah juga memengaruhi tinggi rendahnya PTKP. Ada beberapa skema PTKP yang diterapkan di berbagai negara. Pertama, pengurangan dalam jumlah tetap, sama untuk semua wajib pajak tanpa memerhatikan perbedaan tanggungan keluarga.

Kedua, berdasarkan keadaan keluarga. Ketiga, jumlah pengurangan yang semakin mengecil dengan semakin besarnya penghasilan wajib pajak. Keempat, penggantian pengurang personal dengan tax credit yang dapat direstitusi (Yustinus Prastowo).

Dalam praktiknya terdapat beberapa variasi PTKP dengan menambahkan aspek berdasarkan gender/perempuan bekerja dan single parent mendapat insentif besar (Singapura, India), pekerja usia nonproduktif (Argentina, Afrika Selatan, Maroko), kompensasi sosial (Ghana, Meksiko, Maroko, Uganda), tunjangan anak di keluarga berpenghasilan rendah (Inggris), dan zona berbasis provinsi (Kanada). Formulasi PTKP di Indonesia memasukkan komponen standar kebutuhan hidup layak dan keadaan keluarga (Yustinus Prastowo).

Penerimaan negara dari sektor pajak masih bisa ditingkatkan dengan mengubah model perekonomian yang mengandalkan konsumsi menjadi produksi, mempermudah perizinan usaha, penyederhanaan administrasi pajak, dan lain sebagainya sehingga akan memperluas lapangan kerja.

Semakin banyak orang yang bekerja maka semakin banyak pula yang membayar pajak penghasilan. Selain itu, menambah jumlah aparat pajak yang berintegritas tinggi dan peningkatan kemampuan teknologi informasi juga mutlak dilakukan. Saat ini ada 39.000 pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang harus mengedukasi dan/atau memeriksa wajib pajak maupun calon wajib pajak.

Dengan rasio 1:6.000, tentu Direktorat Jenderal Pajak kesulitan dalam meningkatkan potensi penerimaan pajak. Sedangkan teknologi informasi akan mempermudah tugas aparat pajak, administrasi pajak menjadi lebih efektif dan lebih efisien. Administrasi perpajakan yang kompleks berarti membuang potensi penerimaan pajak.

Selanjutnya adalah: Penegakan hukum berupa penagihan…

Penegakan Hukum

Upaya lainnya seperti penegakan hukum berupa penagihan, pemeriksaan, dan gijzeling (penyanderaan) juga tetap dan harus dilakukan. Sepanjang 2017 ada 59 usulan penyanderaan terhadap 31 wajib pajak dan telah dilakukan kepada 26 penanggung pajak. Setelah melunasi langsung dibebaskan. Jadi, wajib pajak bukan kriminal atau narapidana, hanya dikekang kebebasannya supaya melunasi pajak.

Direktorat Jenderal Pajak harus benar-benar berupaya keras menggali potensi pajak yang masih sangat besar. Pajak sangat dibutuhkan pemerintah untuk membangun infrastruktur secara besar-besaran dan membutuhkan belanja sosial yang besar untuk mengurangi tingkat kesenjangan.

Penentuan besaran PTKP harus dilakukan melalui kajian yang objektif dan terukur agar pemerintah tetap dapat memaksimalkan penerimaan pajak tanpa mengesampingkan aspek kesejahteraan diri wajib pajak. Penyesuaian batas PTKP juga harus ditetapkan secara hati-hati sebab akan memengaruhi daya beli masyarakat dan penerimaan pajak yang potensial seperti PPh orang pribadi dan PPh Pasal 21.

Dengan begitu, penyesuaian PTKP tidak akan menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan dan pemerintah dapat meningkatkan penerimaan pajak untuk menopang perekonomian Indonesia guna mencapai pemerataan dan keadilan sosial sehingga dapat menyejahterakan masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya