SOLOPOS.COM - Giat Purwoatmodjo (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (23/11/2015), Giat Purwoatmodjo. Penulis adalah dosen tidak tetap di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta Fasilitator STBM.

Solopos.com, SOLO — Apa relasi antara buang air besar sembarangan (BABS) dengan martabat bangsa? Menurut Goh Chok Tong ketika masih seorang menteri di kabinet Singapura WC umum adalah salah satu simbol keberhasilan suatu bangsa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menggunakan toilet bersih berkaitan dengan kesehatan dan martabat bangsa. Apabila perihal toilet /WC di suatu negara masih menjadi masalah besar maka dapat dikatakan bangsa tersebut kurang bermartabat.

Berdasarkan hasil survai Levels & Trends in Child Mortality pada 2014 , lebih dari 370 anak berusia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia meninggal setiap hari yang sebagian besar disebabkan penyakit diare dan pneumonia. Ini penyakit akibat dari perilaku BABS yang sebenarnya dapat dihindari

Ekspedisi Mudik 2024

Berdasarkan Joint Monitoring Program 2014, sebuah riset gabungan antara UNICEF dan WHO, 55 juta orang di Indonesia melakukan BABS. Hal ini membuat Indonesia menempati posisi kedua tertinggi di dunia dalam hal BABS.

Sungguh ironis. Indonesia yang terkenal sebagai negara besar yang gemah ripah loh jinawi, tetapi perilaku BABS masyarakatnya  termasuk 10 besar  di dunia bersama India, Pakistan, Nigeria, Ethiopia, Sudan, Nepal, Tiongkok, dan Mozambik. Menurut data WHO, 88% kematian anak akibat diare disebabkan kesulitan mengakses air bersih dan keterbatasan sistem sanitasi.

Sanitasi yang buruk dan perilaku BABS memperbesar risiko terganggunya pertumbuhan fisik anak sehingga pertumbuhan anak tidak optimal. Masalah kekerdilan pada anak mempunyai efek jangka panjang yang memengaruhi mereka secara fisik, ekonomi, dan sosial.

Menurut Muhamad Subuh, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan ada 40% rakyat Indonesia yang belum mendapatkan air bersih  dan 30% rakyat yang belum mendapatkan akses sanitasi yang baik.

Dengan intervensi lingkungan, memastikan ada akses terhadap air bersih dan sanitasi masyarakat dapat menurunkan 94% kasus penyakit diare. Intervensi lingkungan dan kampanye setop BABS sudah dilaksanakan pemerintah sejak 40 tahun yang lalu, terutama melalaui Program Instruksi Presiden Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga (Inpres Samijaga) namun hasilnya belum bermakna terhadap penurunan penyakit diare di Indonesia.

Penyebab kurang suksesnya intervensi tersebut diduga kuat karena menggunakan pendekatan top down, artinya masyarakat langsung diberi bantuan jamban tanpa disertai seleksi  dia butuh sarana tersebut atau tidak.

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia karena morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2000-2010 memperlihatkan kecenderungan insiden (kasus penyakit dimulai  atau kematian terjadi selama suatu periode tertentu pada populasi tertentu) naik.

Pada 2000 insiden rate diare 301/1.000 penduduk, pada 2003 naik menjadi 374/1.000 penduduk, pada 2006 naik menjadi 423/1.000 penduduk, dan pada 2010 menjadi 411/1.000 penduduk. Kejadian luar biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi dengan angka kematian yang tinggi.

Pada 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah enderita 4.204 orang dengan kematian 73 orang (CFR atau case fatality rate 1,74%). Tingginya angka penyakit diare mengindikasikan masih ada transmisi dari tinja manusia masuk ke mulut manusia melalui berbagai cara,

Cara transmisi itu antara lain melalui lalat, tangan yang tidak dicuci pakai sabun, minum air yang tidak dimasak, makanan dan minuman, dan sebagainya. Tinja manusia yang mengandung kuman penyakit dapat ditularkan ke mana-mana apabila masih banyak masyarakat yang BABS.

Perilaku BABS adalah buang besar di sungai, kolam, ladang, hutan, dan tempat terbuka lainnya yang dapat mencemari lingkungan sehingga ada risiko kontak dengan lalat dan serangga lainnya. Hal ini bisa terjadi  kalau masyarakat belum mempunyai jamban sehat atau sudah mempunyai jamban namun dengan cara pembuangan kotoran yang sembarangan, misalnya langsung dibuang ke sungai, parit, kolam ikan, jurang dan lain-lainnya.

Menurut data web Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)  pada  saat ini (November, 2015) masih ada 16.255.181 keluarga di Indonesia yang berstatus BABS. Data di SolorRaya menunjukkan jumlah pelaku BABS di Kota Solo 28.975 keluarga; di Karanganyar 13.322 keluarga; di Wonogiri 8.179 keluarga; di Klaten 56.514 keluarga; di Sukoharjo 15.984 keluarga; di Boyolali 27.419keluarga; dan di Sragen 31.111 keluarga.

Menurut Kementerian Kesehatan, kriteria jamban sehat adalah mencegah kontaminasi ke badan dan air; mencegah kontak antara manusia dan tinja; membuat tinja tidak dapat dihinggapi serangga serta binatang lainnya; mencegah bau yang tidak sedap;  dan konstruksi  dudukannya dibuat dengan baik, aman, dan mudah dibersihkan.

Penyebab BABS bermacam-macam, antara lain faktor pengetahuan, kebiasaan, ekonomi, kondisi geografis dekat dengan sungai, dan sebagainya. Apabila ditanyakan langsung kepada masyarakat ihwal perilaku BABS, jawaban yang sering kali keluar adalah karena faktor ekonomi alias kemiskinan.

Sering kali dijumpai orang yang BABS atau tidak mempunyai jamban  berstatus perokok berat, mempunyai rumah permanen, mempunyai sepeda motor. Ini mengindikasikan yang bersangkutan bukan orang miskin. Pengeluaran untuk membeli rokok ternyata cukup besar.

Misalnya, setiap hari merokok satu bungkus seharga Rp15.000 maka dalam sebulan pengeluarannya  30 hari kali Rp15.000 yaitu Rp450.000. Dalam setahun pengeluaran perokok dapat mencapai Rp450.000 kali 12 bulan, yaitu Rp5,4 juta.

Uang senilai itu dapat untuk membuat jamban permanen sederhana  sebanyak lima unit! Masalah lain yang dijumpai adalah mindset  sebagian besar masyarakat yang mengharapkan bantuan utuh jamban dari pemerintah atau pihak lain.

Mereka beranggapan jamban urusan pemerintah, bukan kebutuhan mereka, bahkan banyak kasus bantuan semen untuk membuat jamban dijual atau digunakan untuk keperluan lain, tidak digunakan sebagaimana mestinya. [Baca: Program 100-0-100]

 

Program 100-0-100
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mengamanatkan  tercapainya 100% akses aman terhadap air bersih, 0% kawasan kumuh, dan 100% akses sanitasi layak pada 2019 yang terkenal dengan sebutan Program 100-0-100.



Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, untuk mencapai target tersebut dibutuhkan investasi Rp252 triliun, padahal di APBN hanya tersedia dana Rp71,5 triliun atau 29% dari kebutuhan.

Dengan demikian masih dibutuhkan dana dari sumber lain, antara lain dana alokasi khusus (DAK), anggaran pendaparan dan belanja daerah (APBD), corporate social responsibility (CSR), dan swadaya masayarakat. Salah satu program yang berfokus pada penyediaan air bersih dan sanitasi adalah Program Penyedian Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas).

Program Pamsimas mempunyai peran yang strategis dalam meningkatkan akses  terhadap air minum (bersih) dan sanitasi di masyarakat, terutama mengubah perilaku BABS. Pendekatan yang dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat guna  terwujudnya Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

Pendekatan yang digunakan adalah enabling (ada regulasi  yang kondusif), komitmen yang kuat; demand (meningkatkan kebutuhan masyarakat terhadap sanitasi); supply (pemenuhan kebutuhan akses sanitasi masyarakat).

Program STBM pro nonsubsidi dalam peningkatan akses jamban sehat karena lebih menekankan aspek pemberdayaan masyarakat, bukan pendekatan proyek.  Untuk mengubah perilaku BABS dilakukan kegiatan pemicuan, yaitu  menggunakan pendekatan community lead total sanitation (CLTS), yaitu suatu cara agar anggota masyarakat yang masih BABS mempunyai  rasa malu dan jijik karena mencemari lingkungan dengan kotorannya.

Menurut WHO, untuk setiap dolar Amerika Serikat (US$) yang diinvestasikan dalam air dan sanitasi ada pengembalian US$4,3 dalam bentuk pengurangan biaya perawatan kesehatan bagi individu  dan masyarakat di seluruh dunia.  Sanitasi merupakan prioritas pembangunan global. Itulah sebabnya Majelis Umum PBB pada 2013 mencanangkan 19 November sebagai Hari Toilet Dunia.

Menurut Aidan Cronin, Ketua Program Water, Sanitation, and Hygiene (WASH) UNICEF, BABS adalah isu yang sangat serius dan ini memengaruhi bukan saja mereka yang tidak mempunyai jamban/toilet, namun juga mereka yang mempunyainya. Orang-orang ini bisa terjangkit penyakit dari kotoran yang terekspose ke udara.

Melalui implementasi Program 100-0 -100  dan   komitmen yang kuat serta dukungan penuh dari semua pihak akan memastikan bahwa semua anak lahir di lingkungan yang tidak akan membuat pertumbuhan fisik terganggu, tidak lagi mengalami diare yang terus-menerus. Pada akhirnya  cita–cita  bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat dapat segera terwujud.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya