SOLOPOS.COM - Bambang Ary Wibowo, Ketua BPSK Kota Solo

Bambang Ary Wibowo, Ketua BPSK Kota Solo

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Solo untuk kali pertama melaporkan pelaku usaha Koperasi Simpan Pinjam (Kospin) Bintang Jaya Surakarta yang terindikasi melanggar Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yaitu UU No 8/1999 (SOLOPOS, 27/4) kepada polisi.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Pelaporan ini didasarkan pada tugas dan kewenangan yang dimiliki lembaga independen yang berada di bawah Kementerian Perdagangan ini yang diatur pada Pasal 52 huruf d UUPK, yaitu melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini.

Pelaporan kepada penyidik umum didasarkan bahwa BPSK tidak memiliki kewenangan dalam pemeriksaan secara pidana. Kewenangan yang diberikan oleh UUPK kepada BPSK hanya dalam ranah perdata. UUPK sebenarnya juga mengatur sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang melanggarnya. Hal ini bisa dilihat pada Pasal 62 UUPK yang memberikan sanksi pidana terberat dengan hukuman penjara lima tahun atau denda Rp2 miliar (Pasal 62 ayat (1) UUPK.

Selain itu, jika pelanggaran UUPK tersebut mengakibatkan luka hingga kematian dapat diterapkan ancaman hukuman dari KUHPidana (Pasal 62 ayat (3) UUPK).        Ada hal yang menarik dari sistem pertanggungjawaban pidana dalam UUPK. Dalam Pasal 61 UUPK diatur tentang penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. UUPK juga menganut pertanggungjawaban korporasi dalam sistem pemidanaannya. Selain terhadap orang-perseorangan, terhadap badan hukum pun dapat dipidana atas pelanggaran UUPK.

Sesuatu yang sangat menarik bahwa badan hukum dapat dikenai ketentuan pidana atas pelanggaran yang dibuatnya. Dalam kenyataan sistem hukum pidana di Indonesia hal ini memang masih sangat jarang dilakukan. Pasal 59 KUHPidana mengatur tentang ”dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi di luar tanggung jawabnya.”

Kasus Kospin Bintang Jaya ini menjadi menarik karena pelaksanaan Pasal 59 KUHPidana ini dapat menjadi batal merujuk Pasal 31 juncto Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU No 25/1992 tentang Perkoperasian. Tanggung jawab pengelolaan koperasi ada pada pengurus walaupun oleh pengurus itu sendiri sudah diangkat pengelola koperasi. Penggunaan UU Perkoperasian ini dikarenakan kasus-kasus yang muncul dilakukan sebelum UU Perkoperasian yang baru, yang ditetapkan pada 2012, diberlakukan.

Selain itu, yang menjadi perhatian dalam penentuan pidana perlindungan konsumen adalah teori pertanggungjawaban pidana korporasi seperti yang diterangkan Sudarto (Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Yusuf Shofie, 1994). Ada tiga kemungkinan dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi.

Pertama, dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang. Kedua, yang dapat melakukan tindak pidana adalah orang dan/atau korporasi (badan hukum, yayasan, koperasi dan lain-lain), di mana yang dapat dipertanggungjawabkan hanyalah orang. Ketiga, dalam hal korporasi sebagai pelakunya maka penguruslah yang dimintai pertanggungjawaban pidana; yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan adalah orang dan korporasi.

Jelas bahwa korporasi pun dapat dikenai sanksi pidana maupun dimintai pertanggungjawaban dengan mendasarkan pada teori pertanggungjwaban pidana korporasi. Jika melihat kasus, terjadi perbedaan nilai kredit setelah penyerahan kredit dari pelaku usaha kepada konsumen/penerima kredit yang dalam bukti-bukti menunjuk penanggungjawabnya adalah manajer pelaksana Koperasi Bintang Jaya.

 

Upaya Terakhir

Namun, persoalan internal koperasi tidak dapat dibebankan kepada konsumen. Merujuk Pasal 31 juncto Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Perkoperasian, teori pertanggungjawaban pidana korporasi dapat diterapkan dalam kasus Koperasi Bintang Jaya. Sementara pengenaan sanksi pidana dalam kasus Koperasi Bintang Jaya lebih pada pendekatan beberapa ahli hukum seperti yang dikemukakan oleh JM van Bemmelen dan PAF Lamintang. Mereka menerangkan bahwa hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia.

Romli Atmasasmita berpendapat hukum pidana telah beralih dari ultimum remedium (the last resort) ke premium remedium (the prime resort) untuk mencapai ketertiban dan kepastian hukum guna menemukan keadilan. Sedangkan HG de Bunt (Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Yusuf Shofie, 1989) menjelaskan hukum pidana beralih menjadi premium remedium jika dipenuhi tiga kriteria, yaitu korban sangat besar, terdakwa residivis dan kerugian tidak terpulihkan (irreparable).

Walaupun ada dua pandangan tentang penggunaan hukum pidana, namun secara nyata tidak ada yang menyangkal arti pentingnya melindungi kepentingan hukum konsumen dengan mempertanggungjawabkan secara pidana tindakan-tindakan korporasi/pelaku usaha yang mengancam keselamatan, kenyamanan dan keamanan konsumen. Selama ini, ultimum remedium menjadi alasan kenapa pemidanaan menjadi jurus terakhir dalam penyelesaian suatu sengketa.

Pendekatan sanksi administratif pidana yang biasa dipilih. Sanksi administratif, tuntutan perdata dan penyelesaian mediasi (alternative dispute resolution/ADR) harus terlebih dahulu diterapkan dalam penyelesaian sengketa konsumen. Jika upaya tersebut tidak berhasil, baru dapat digunakan perangkat terakhir yaitu hukum pidana sebagai ultimum remedium. Pendapat Barda Nawawi Arief (Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Yusuf Shofie, 1990) menegaskan pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan  sama seperti pribadi  dengan dua pengecualian.

Dua pengecualian itu, pertama, dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, seperti perkosaan, sumpah palsu, perselingkuhan dan lain-lain. Kedua, dalam perkara pidana yang tidak mungkin dilakukan oleh korporasi dalam hal pidana penjara atau pidana mati.

Sementara itu, menurut Sutan Remi Sjahdeini (Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Yusuf Shofie, 2006) tindak pidana tersebut terdiri atas dua kategori, yaitu tindak pidana ringan dan tindak pidana berat. Tindak pidana berat meliputi menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara; menimbulkan gangguan ketertiban umum; menimbulkan kematian massal atau derita jasmani massal; merusak dan/atau mencermati lingkungan serta berkaitan dengan kewajiban pembayaran pajak.

Rancangan KUHPidana Nasional (Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Yusuf Shofie) juga menyiapkan konsep pemidanaan bagi korporasi. Hal ini bisa dilihat dari rumusan rancangan tersebut: korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi, apabila perbuatan tersebut tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang bagi korporasi yang bersangkutan.

Berdasarkan teori di atas, pemidanaan korporasi bukan menjadi halangan. Jika merujuk UUPK, jelas bahwa pemidanaan korporasi sudah diatur dengan tegas. Apalagi bula merujuk dari konsep KUHPidana Nasional. Apa yang terjadi dalam kasus Koperasi Bintang Jaya jelas memungkinkan diterapkannya pemidanaan korporasi tersebut. Namun, yang lebih penting adalah perlunya penetapan pidana dalam pelanggaran hukum perlindungan konsumen agar muncul efek jera bagi pelaku usaha.

Konsep pemidanaan korporasi merupakan salah satu jawaban jika pelaku usaha pelanggaran hukum perlindungan konsumen bukan dilakukan oleh pelaku tunggal dan/atau pelakunya merupakan sebuah korporasi. Sanksi dalam UUPK sebenarnya sangat ringan. Sanksi yang dibebankan kepada pelaku usaha merupakan pilihan di antara penjara maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp2 miliar.

Harapan ke depan dari rencana revisi UUPK adalah perlindungan dan pemberdayaan konsumen menjadi semakin lebih terjamin dan berkembang. Selain hak konsumen merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM), juga diharapkan ke depan peran pelaku usaha semakin bertanggung jawab atas produk dan/atau jasa yang diproduksi atau ditawarkan. Sanksi pidana hanyalah sebagai ultimum remedium dan bukan menjadi premium remedium. (bambangary.ph@gmail.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya