SOLOPOS.COM - Tundjung W Sutirto, Pemerhati budaya Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret

Tundjung W Sutirto, Pemerhati budaya Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret

Ada baiknya pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2013, ini kita mengutip pernyataan seorang filsuf dan negarawan dari Inggris, Sir Francis Bacon. Dia mengatakan ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu titik tempat bertolak dan mengambil kesimpulan darinya, tetapi ilmu pengetahuan adalah sesuatu tempat sampai ke tujuan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam sebuah karyanya yang monumental berjudul Novum Organum, Bacon menyatakan yang terpenting dari ilmu pengetahuan adalah berpikir empiris. Menurut dia, logika deduktif ala Aristoteles adalah sebuah absurditas dan tak ada gunanya. Bacon menganjurkan agar ilmu pengetahuan diasah dengan logika induktif.

Kalau kemudian pendidikan itu adalah kelembagaan sentral dari sebuah aktivitas transformasi ilmu pengetahuan maka dengan mengikuti pemikiran Bacon tersebut tentunya akan diperoleh sebuah paradigma pendidikan yang bersifat empiris. Pendidikan yang kata kerjanya adalah ”mendidik” kalau menurut pendekatan induktif tersebut haruslah dapat menghindari dari apa yang menurut Bacon disebut dengan ”idola”.

Ekspedisi Mudik 2024

Mendidik yang berarti mentranformasikan ilmu pengetahuan dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan haruslah mampu membuat manusia untuk tidak terhalang oleh empat idola yaitu idola tribus, specus, fori dan theatri.     Kalau seorang anak didik dari satuan dan jenjang pendidikan manapun masih terhalang oleh hambatan-hambatan yang berasal dari dirinya sendiri maka pendidikan mengalami kegagalan.

Ketidakmampuan anak didik untuk membentuk kepercayaan diri (self confident) berarti pendidikan itu tak bermakna. Pendidikan dari jenjang dan jenis apa pun harus mampu menghindari hambatan idola tribus tersebut. Pendidikan harus mampu mengantarkan manusia untuk mencapai kepercayaan diri. Elaborasi dari kepercayaan diri itu salah satunya adalah apa yang sekarang dikumandangkan sebagai pendidikan kharakter.

Anak didik melalui satuan pendidikan juga diasuh agar dapat terhindar dari apa yang telah menjadi specus yaitu kebiasaan atau pandangan individu. Melalui penghindaran idola specus ini berarti pendidikan memiliki kemampuan mengembangkan daya nalar peserta didik secara terus-menerus. Yang namanya kompetensi bukanlah menyiapkan anak didik untuk berwatak minimalis. Kompetensi mampu mendorong daya nalar anak didik untuk selalu terus bertanya dan bertanya terus terhadap suatu fenomena alam, sosial dan kemanusiaan.

Pendidikan sebagai wahana ilmu pengetahuan pun juga harus terhindar dari idola fori yang artinya pasar. Makna harfiahnya adalah janganlah pendidikan menjadi perbincangan yang tidak bermakna seperti orang di pasar. Faktual dari penghindaran idola fori misalnya perbincangan publik soal pendidikan adalah adanya opini bahwa memilih sekolah unggulan akan ada jaminan keberlanjutannya untuk kerja dan kelanjutan studi ke jenjang yang lebih atas.

Akibatnya orang akan terjebak pada perburuan sekolah-sekolah unggulan yang akhirnya hanya memburu kebanggaan semu. Hasil akhir dari kebanggaan semu itu adalah lahirnya generasi yang bermental kasta yang tentunya sikap mental seperti itu harus dihindari oleh pendidikan. Bahwa dunia pendidikan kita juga masih mengikuti keterpesonaan yang mengagungkan bahwa yang berasal dari asing itu adalah yang terbaik.

Ada mainstream yang berkembang bahwa pendidikan yang berkiblat ke dunia Barat itu yang baik sehingga kita terpesona terhadap satu paradigma atau teori dari Barat sehingga tidak mampu lagi mengkritiknya. Itulah cara berpikir yang oleh Bacon disebut dengan idola theatri. Jika Novum Organum dari Francois Bacon itu memanifes dalam pendidikan maka yang namanya sekolah atau kampus bukanlah arena interaksi antara guru atau dosen dan peserta didik yang bersifat dogmatis dan berjalan satu arah.

Pendidikan harus mampu mengantar setiap peserta didik menjadi generasi pasca. Pasca-PAUD, pasca-TK, pasca-SD, pasca-SMP, pasca-SMA dan seterusnya sampai pascasarjana. Atau, dalam konteks geopolitik, pendidikan harus mengantar manusia yang dulu bernama Jawa, Batak, Sunda, Bugis menjadi manusia pasca-Jawa, pasca-Batak, pasca-Sunda, pasca-Bugis kemudian masuk menjadi manusia Indonesia. Menjadi manusia Indonesia itu bukan berarti berkianat kepada kejawaan atau kebugisan.

 

Paradigma Global

Selanjutnya, pendidikan diharapkan mampu mengantarkan generasi menuju pasca-Indonesia yaitu menjadi manusia yang berparadigma global. Konsep  yang dahulu berbunyi right or wrong my country harus dipahami menjadi right or wrong is right or wrong oleh orang-orang pasca-Indonesia. Benar dan salah adalah benar dan salah itu sendiri. Pendidik  mengarahkan peserta didik menuju pencarian kebenaran. Tidak perlu ada mata pelajaran atau mata kuliah tentang antikorupsi karena sesuai nila-nilai global yang namanya korupsi itu bukan right tetapi wrong walaupun terjadi di negeri sendiri.

Demikian juga pendidikan karakter bukanlah persoalan meramu variabel-variabel kognitif menjadi sebuah kurikulum agar peserta didik punya sopan santun dan tidak suka tawuran misalnya, tetapi pendidikan karakter harus menampilkan aspek psikomotorik di mana yang namanya kekerasan apalagi kekerasan terhadap anak didik di sekolah adalah bertentangan dengan etika kebenaran global. Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak didik tidak boleh terjadi di lembaga pendidikan manapun di muka dunia ini.

Mengantarkan menjadi manusia pasca berarti mendidik agar anak tidak suka main mutlak-mutlakan. Pendidikan ibaratnya sebuah angkasa yang luas agar pesawat terbang bisa bermanuver mencari keluasan dimensi. Pendidikan jangan dikelola seperti rel kereta api yang hanya linier dan rawan bertabrakan. Bila ada kereta yang akan menuju ke timur, yang ke arah barat harus berhenti. Artinya, pendidikan tidak boleh terjebak pada persoalan dikotomi melainkan harus multipolar. Justru karena pesawat bisa melepaskan diri dari gaya tarik bumi maka ia bisa melesat ke angkasa dengan keluasan dimensi.

Di era global ini pendidikan harus mampu mengantar manusia Indonesia menuju pasca-Indonesia alias manusia global. Jangan diartikan menjadi generasi pasca-Indonesia berarti mufaraqah dari Pancasila. Menekankan anak didik agar cinta Tanah Air bukan lantas melarang untuk tidak boleh makan piza atau ayam goreng di Kentucky Fried Chicken. Ketika misi pendidikan adalah mendewasakan cara pikir, targetnya bukan mendewakan sesuatu gejala alam dan sosial sebagai sesuatu yang mutlak.

Anak didik akan menjadi manusia-manusia dewasa yang bermatra ganda dan tidak bermatra tunggal. Anak didik harus paham tentang paradigma alternatif, bukan mengajarkan dogma semacam ujian nasional (UN) yang mutlak harus diikuti karena dianggap sudah tidak ada alternatif lagi untuk mengukur keberhasilan studi. Pendidikan tidaklah mencetak generasi katak dalam tempurung yang menganggap bahwa dunia yang sebenarnya hanya dalam tempurung itu. Padahal paradigma pendidikan di Indonesia masih seperti itu.

UN dipandang harus mutlak deterministik mekanistik sebagai sebuah dogma. Pemahaman pasca-Indonesia adalah pemahaman terhadap semua fenomena yang multidimensi. Pendidikan mengantar generasi untuk menghayati segala sesuatu dalam kesadaran relatif. Generasi pasca-Indonesia bukanlah penerus generasi tua yang konservatif. Generasi pasca-Indonesia sudah mengenal cara kerja komputer dan kompleksitas model-model pendekatan masalah dan matriks-matriks variabel yang rumit. (tunjung_ws@yahoo.co.id)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya