Gagasan Solopos, Kamis (18/6/2015), ditulis Muhammad Askar. Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana PGRA/PAUDI UIN Sunan Kalijaga. Askar juga pengelola PAUD Mulia di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara.
Solopos.com, SOLO — Kurang lebih 145 tahun yang lalu di Italia lahir bayi perempuan yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi dokter yang melahirkan ide, cara, dan model untuk mendidik anak.
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Model mendidik anak itu semula ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus atau cacat tetapi dalam perkembangannya dapat dipergunakan untuk anak normal. Bayi itu bernama Maria Montessori.
Di belahan bumi lain, di Indonesia, kurang lebih delapan tahun yang lalu, lahir seorang bayi perempuan yang disebabkan oleh suatu hal bayi tersebut diadopsi dan berpindah pengasuhan.
Dalam perkembangannya, bayi itu tumbuh dan berkembang menjadi anak perempuan mungil usia delapan tahun yang ditemukan telah tanpa nyawa dan dikuburkan di belakang rumah ibu angkatnya. Bayi itu bernama Angeline [dalam akta tertulis Engeline].
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dalam memikirkan, merancang, dan memprogramkan pelayanan terbaik bagi pendidikan anak. Kementerian urusan pendidikan dan kebudayaan setiap kabinet selalu mengeluarkan peraturan-peraturan pendidikan.
Saat ini negeri kita harus menelan pil pahit peristiwa tragis yang menimpa Angeline yang mengalami kepiluan dalam hidupnya sehingga tidak menikmati keceriaan masa kanak-kanaknya, saya menjadi berpikir apakah Montessori yang terlalu awal dilahirkan?
Pertanyaan saya berikutnya adalah apakah Angeline yang tertalu lambat dilahirkan? Ataukah sebagian orang dewasa di Indonesia kini hidup di zaman yang bukan zaman mereka?
Angeline telah tiada. Jasad anak kandung pasangan Rosyidi–Hamidah yang telah diadopsi dan berada dalam pengasuhan Margriet Christina Megawe dan mendiang suaminya itu sudah bersemayam di pelukan bumi.
Meskipun jiwanya telah meninggalkan dunia namun nama Angeline sampai saat ini masih diperbincangkan semua kalangan. Memilukan! Anak berusia delapan tahun itu harus mengalami sejarah kehidupan yang tragis.
Angeline ditemukan tewas dan dikuburkan di halaman belakang rumah Margriet, ibu angkatnya, pada 10 Juni lalu.
Ini kejahatan terhadap anak kali kesekian yang terjadi di bumi kita tercinta ini.
Saya tidak habis pikir, di tengah gencarnya pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyiapkan generasi emas 2045 dengan kebijakan-kebijakan pembinaan PAUD yang dirintis pada 2015 ini yang dituangkan dalam kerangka strategis PAUD 2015-019 ternyata masih ada anak-anak Indonesia yang belum mendapatkan kenyamanan menjalani kehidupan.
Sungguh sangat disayangkan. Mungkin banyak anak lain di pulau-pulau lain di wilayah negeri ini yang belum menikmati pendidikan yang semestinya. Angka partisipasi kasar (APK) pendidikan di negeri kita masih di bawah 70%.
Saya berkhayal bahwa Angeline dan anak-anak lain adalah manusia-manusia kecil yang memiliki potensi yang harus dikembangkan, memiliki karakteristik tertentu yang khas dan tidak sama dengan orang dewasa, selalu bergerak aktif, dinamis, antusias, dan ingin tahu terhadap apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan.
Angeline dan anak-anak lain seolah-olah tak pernah berhenti bereksplorasi dan belajar, bersifat egosentris, memiliki rasa ingin tahu secara alamiah, merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan fantasi, memiliki daya perhatian yang pendek, dan berada pada masa kehidupan yang paling potensial untuk belajar.
Angeline dan anak-anak lain semestinya mendapatkan pembinaan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar mempunyai kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Angeline anak-anak lainnya bukanlah orang dewasa mini. Montessori menekankan pentingnya kondisi lingkungan yang bebas dan penuh kasih agar potensi yang dimiliki anak dapat berkembang secara optimal.
Dokter bergelar doktor pertama di Italia itu memandang perkembangan anak sebagai suatu proses yang berkesinambungan. Ia memahami pendidikan merupakan aktivitas diri yang mengarah pada pembentukan disiplin pribadi, kemandirian, dan pengarahan diri. [Baca: Pola Perkembangan Khas]
Pola Perkembangan Khas
Menurut Montessori, persepsi anak tentang dunia merupakan dasar dari ilmu pengetahuan. Ia merancang sejumlah materi yang memungkinkan indra seorang anak dapat dikembangkan.
Dengan menggunakan materi untuk mengoreksi diri, anak menjadi sadar terhadap berbagai macam rangsangan yang kemudian disusun dalam pikirannya.
Putri bangsawan Italia itu juga mengembangkan alat-alat belajar yang memungkinkan anak mengeksplorasi lingkungan. Pendidikan yang diterapkannya mencakup pendidikan jasmani, berkebun, dan belajar tentang alam.
Dia beranggapan pendidikan merupakan upaya untuk membantu perkembangan anak secara menyeluruh dan bukan sekadar mengajar. Spirit atau nilai-nilai dasar kemanusiaan itu berkembang melalui interaksi antara anak dengan lingkungannya.
Ibu dari seorang anak ini meyakini ketika dilahirkan anak secara bawaan sudah memiliki pola perkembangan psikis atau jiwa. Pola ini tidak dapat teramati sejak lahir. Sejalan dengan proses perkembangan yang dilaluinya pola ini akan dapat teramati.
Anak memiliki motif atau dorongan yang kuat ke arah pembentukan jiwanya sendiri (self construction) sehingga secara spontan akan berusaha untuk membentuk dirinya melalui pemahaman terhadap lingkungannya.
Hal penting lain adalah bahwa anak mempunyai masa peka. Pada masa peka ini anak akan sangat mudah menerima informasi dari luar. Ketika masa peka terlewat tanpa ada rangsangan pendidikan maka para orang dewasa telah melewatkan masa emas berlalu tanpa makna.
Kini sebanyak apa ”menu pendidikan” Montessori telah direguk Angeline dan sekuat apa peraturan pemerintah telah diberlakukan sudah tak mungkin dipantau.
Kita berharap anak-anak lain di negeri ini mendapatkan porsi “menu pendidikan” Montessori yang cukup. Angeline akan selaku kita ingat demi anak-anak kita agar mereka mendapatkan hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.