SOLOPOS.COM - Direktur Pusat Kajian Pencerahan Politik Indonesia (PKP2I) Thontowi Jauhari (JIBI/Solopos/Dok.)

 Thontowi Jauhari thontowi.jauhari@gmail.com Wakil Ketua DPW Partai Nasdem Jawa Tengah


Thontowi Jauhari
thontowi.jauhari@gmail.com
Wakil Ketua DPW
Partai Nasdem
Jawa Tengah

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terkait pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) serentak yang pelaksanaannya dimulai pada Pemilu 2019.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU tersebut (Solopos, 24/1). MK memutuskan pembatalan pasal-pasal tersebut dengan mempertimbangkan niat awal (original intent) para perumus ketentuan pemilu di dalam UUD 1945.

Pelaksanaan pemilu terpisah dinilai bertentangan dengan tujuan penguatan sistem presidensial dalam UUD 1945 dan mengurangi peran mutlak rakyat dalam memilih langsung presiden.

Tentu, keputusan MK tersebut harus diterima dan mengikat bagi semua pihak. Keputusan MK tidak mengenal upaya hukum lain. Namun, keputusan tersebut akan berimplikasi bukan hanya kepada persoalan teknis pemilu, namun juga terhadap persoalan sistem kepartaian kita yang menganut sistem multipartai.

Di satu pihak, sistem multipartai dibutuhkan dalam rangka mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat Indonesia yang mempunyai tingkat heteroginitas yang tinggi, atau sering disebut sebagai salah pilar negara kesatuan Republik Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika.

Heteroginitas tersebut tentu harus juga tecermin dalam keanekaragaman ideologi partai politik.    Di pihak lain, sistem pemerintahan presidensial menghendaki sistem dwipartai, atau setidak-tidaknya sistem multipartai sederhana.

Sistem kepartaian kita kini tidak jelas mau diorientasikan ke mana. Menurut Janedjri M. Ghaffar (2009), dari satu sisi, sistem yang dikembangkan memenuhi ciri-ciri sistem presidensial, tetapi di sisi lain, jika dilihat dari sistem kepartaian yang multipartai, hal itu dianggap lebih dekat dengan sistem parlementer.

DPR juga dipandang memiliki kekuasaan yang lebih besar dan sering memasuki wilayah pemerintah. Sistem multipartai bukanlah perangkat efektif pendukung sistem presidensial. Sistem ini tidak memungkinkan suatu partai memenangkan pemilu secara mutlak, atau menguasai parlemen.

Dukungan parlemen juga tidak tepat jika kemudian berbentuk ”koalisi partai” seperti yang dipraktikkan saat ini. Karena, partai yang bergabung dalam ”koalisi” sejatinya tidak secara murni mendukung presiden, kecuali hanya untuk tujuan pragmatis kekuasaan.

Namun, tentu saja jika sistem dwipartai atau sistem multipartai sederhana diberlakukan secara nasional untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensial, itu akan memberangus hak-hak demokrasi di tingkat lokal, dan dapat mengancam persatuan bangsa.

 

Hak Demokrasi Daerah

Heteroginitas bangsa ini telah menjadi semacam taken for granted. Mematikan berbagai kepentingan politik lokal menjadi bagian yang bertentangan dengan konstitusi. Dengan 12 partai politik peserta Pemilu 2014 ini saja sebenarnya juga telah memberangus hak-hak demokrasi di daerah.

Partai semacam Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) telah dikebiri secara nasional, padahal dua pertai tersebut cukup besar di Indonesia timur.

Lantas, kebijakan apa yang harus diambil terkait keputusan MK tentang Pemilu serentak, jika dikorelasikan dengan sistem kepartaian kita dalam konteks sistem pemerintahan presidensial sebagaimana amanah kontitusi dan realitas heteroginitas bangsa ini?

Pemilu serentak harus dilaksanakan dalam dua tahap dalam satu tahun, yakni pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional memilih presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Sedangkan pemilu lokal memilih gubernur, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, bupati/wali kota, dan anggota DPRD kabupaten/kota.

Roh keputusan MK tersebut amat jelas, bahwa yang dimaksud pemilu serentak adalah melakukan pemilu legislatif dan pemilihan presiden secara bersamaaan. Jika pemilu tersebut dipisah, akan mengurangi peran mutlak rakyat dalam memilih langsung presiden.

Konsekuensinya, pemilu serentak tidak hanya dilakukan di tingkat pusat, namun mestinya juga di daerah. Sehingga, perlu diserentakkan pemilu lokal, untuk memilih anggota parlemen lokal dan kepala daerah.

Pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal akan semakin mendekatkan kepada cita-cita sistem pemerintahan presidensial dan mewadahi pilar negara Bhinneka Tunggal Ika.

Karena itu, dibutuhkan beberapa langkah. Pertama, perlu road map penyederhanaan sitem kepartaian. Idealnya, jumlah partai peserta pemilu hanya 3–5 partai, yang mewakili ideologi nasionalis-tradisional; nasionalis-progresif; dan partai (berbasis) Islam.

Dengan jumlah partai yang sederhana akan semakin membuat garis ketegasan partai pemenang akan menjadi the rulling party dan pihak yang kalah akan menjadi partai oposisi.

Dengan demikian, checks and balances akan berjalan, korupsi akan semakin bisa ditekan karena pengawasan yang ketat dari partai oposisi, dan kartelisasi politik akan hilang.



Kedua, perlu adanya legitimasi hukum melalui UU akan kehadiran partai lokal dan tercipta sistem kepartaian tingkat nasional dan lokal. Sehingga, pemilu lokal diikuti oleh partai nasional dan partai lokal, seperti yang dipraktikkan di Nanggroe Aceh Darussalam saat ini.

Kehadiran partai lokal sangat penting untuk menjamin kebinekaan dan tidak memberangus hak-hak politik mereka. Tentu, pemilu lokal juga harus ada parlimentary threshold (PT) untuk menjamin konsistensi penyederhanaan partai.

Dengan demikian, bisa jadi partai nasional belum tentu mempunyai wakil di parlemen lokal. Jika kebijakan ini yang diambil, setidak-tidaknya ada empat keuntungan yang bisa diambil.

Pertama, terjadi efisiensi anggaran yang luar biasa besar. Kedua, tahun politik hanya akan berkonsentrasi pada tahun tertentu, sehingga energi bisa digunakan untuk hal lain yang langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat.

Ketiga, partai politik dapat berkonsolidasi secara ideologis, sekaligus pengakaderan bisa berjalan. Keempat, memudahkan perencanaan program pembangunan secara berkelanjutan. Dengan periodisasi yang sama, akan mempermudah koordinasi, sinkronisasi, dan pencapaian target. Wallahu a’lam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya