SOLOPOS.COM - Eddy J Soetopo (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (15/6/2015), ditulis Eddy J Soetopo. Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Media and Social Studies Jakarta. Saat ini penulis tinggal di Solo.

Solopos.com, SOLO — Tanggapan DPRD Kota Solo terhadap kinerja Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo pada akhir masa jabatan yang dikemukakan beberapa hari lalu semestinya membuat merah telinga.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Tanggapan itu tidak hanya menguliti kinerja wali kota, tetapi juga menyoroti bolong-bolong pembangunan yang seharusnya disikapi secara konkret sebelum masa kepemimpinan pasangan wali kota dan wakil wali kota berakhir.

Terlepas dari penilaian anggota DPRD Kota Solo terhadap kinerja wali kota pada akhir masa jabatannya, yang lebih penting dan seharusnya dipertimbangkan menjadi tolok ukur yaitu ukuran keberhasilan secara menyeluruh, berimbang, dan mencerminkan nisbah sebenarnya sehari-hari.

Artinya pembangunan tidak hanya dilihat dari proyek fisik berupa menjulangnya gedung bertingkat dan bertambahnya hotel berbintang. Hal demikian ini jadi asumsi yang sering dikemukakan untuk investor gencar njrunthul dan menanamkan kapital mereka yang akan berdampak Solo jadi sejahtera.

Pada kenyataannya tidak demikian. Apalagi diembel-embeli pernyataan yang membuat kita harus ngelus dhada. Indeks Gini Kota Solo dikatakan semakin membaik. Bila ukuran pembangunan di Kota Solo hanya dilihat dari perubahan angka statistik, jelas terdapat perubahan signifikan.

Kalau ukurannya sekadar melihat perubahan indeks Gini, justru akan menyesatkan. Perubahan angka tidak dapat menjadi ukuran sepenuhnya bahwa warga Kota Solo tersentuh program pembangunan yang dijalankan Pemerintah Kota Solo.

Alih-alih Pemkot Solo merasa perlu memerhatikan ketidakseimbangan pemerataan pembangunan kawasan utara dan selatan, memerhatikan intensitas pembangunan fisik pun tak pernah digagas.

Akibatnya pembangunan wilayah utara tertinggal dengan wilayah selatan. Mestinya izin pembangunan gedung pencakar langit di wilayah selatan dihentikan dan dialihkan ke wilayah utara.

Dengan demikian diharapkan terjadi multiplier effect pemerataan agregasi pembangunan Solo bagian utara dan selatan dapat berubah menjadi nol dalam perhitungan indeks Gini. Formula itulah yang seharusnya mulai dipikirkan para perencana pembangunan daerah di Pemerintah Kota Solo.

Pemerintah Kota Solo pantas mengkaji ulang acuan yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan memeratakan pembangunan dengan memperhitungkan variabel terukur nilai kementakan kecukupan sandang, pangan, dan papan penduduk yang berdomisili di wilayah utara dan selatan.

Bila tidak, kita akan terjebak pada perhitungan agregatif yang tak menggambarkan keadaan riil warga masyarakat gundhul per gundhul di setiap rumah tangga. Faktor pemerataan pembangunan menjadi sangat perlu diperhatikan wali kota di sisa kemungkinan meraih jabatan pada pemilihan kepala daerah akhir tahun nanti.

Pemerintah kota tidak harus selalu berpegang pada mazhab waras, wareg, dan wasis, tetapi yang lebih penting memilih alat ukur yang dapat memberikan gambaran secara pasti sejauh mana pembangunan dijalani dan merata.

Bila Pemerintah Kota Solo tetap berkukuh tetap menjadikan mazhab sloganistis waras, wareg, dan wasis tanpa melihat alat ukur yang mampu diimplementasikan secara logis, jangan-jangan justru masyarakat kelas menengah ke bawah akan terkecoh dan tersesat serta tidak mengingatkan calon wali kota pilihan mereka.

Menjadi persoalan serius ketika wali kota keliru menentukan arah kebijakan dan keliru mematok ukuran pemerataan wilayah Solo bagian utara dan selatan. [Baca: Sulit Cari Investor?]

 

Sulit Cari Investor?
Sebagai ilustrasi, misalnya, janji wali kota sebelumnya, yakni ketika Joko Widodo masih menjabat Wali Kota Solo, yang akan menggeser pembangunan fasilitas serta prasarana dan sarana kebutuhan fisik warga masyarakat ke wilayah utara, toh hingga kini tak terealisasi.

Rencana menarik investor agar menanamkan modal dengan membangun tempat rekreasi Trans Studio di wilayah Solo bagian utara ternyata hingga Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta dan menjadi kepala negara tak jua ada langkah teknis yang berarti. Solo bagian utara tak jua dilirik pemodal.

Rencana menggarap tempat penampungan sampah Putri Cempo sebagai upaya landasan berpijak menyehatkan warga masyarakat di wilayah Kota Solo bagian utara melalui program pengelolaan sampah yang  ramah lingkungan, yang dikemukakan tahun lalu, juga berjalan terseok-seok.

Bila rencana menarik pemodal agar membangun sarana rekreasi di wilayah Solo bagian dengan orientasi pembangunan ramah lingkungan dengan sendirinya jelas akan menambah kas pendapatan asli daerah Kota Solo.

Selain itu, dengan dibangunnya sarana rekreasi di wilayah Solo bagian utara paling tidak dapat mengadang pertumbuhan angka pengangguran. Dengan demikian akan mengikis mencuatnya gejolak sosial yang sering tak terduga lantaran dipicu kecemburuan sosial.

Yang tak tertangani secara profesional termyata bukan hanya cara menarik investor dan menawarkan peluang membangun sarana rekreasi atau teknik berinvestasi lainnya.

Mengoptimalkan tempat rekreasi Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) yang bisa dikatakan berada di perbatasan wilayah Solo bagian utara dan selatan sebagai contoh, juga tidak digarap dengan sempurna.

Kalau Pemerintah Kota Solo berani berjibaku merombak secara total manajemen TSTJ sesuai dengan konsep rekreasi dan konservasi, seperti Taman Satwa Jatim Park atau Bali Safari Marine Park, misalnya, bisa saja menjadi salah satu alternatif pengembangan pembangunan wilayah Solo bagian utara.



Persoalan batas wilayah yang bersinggungan dengan kabupaten lain dengan cakupan luas, seperti yang disampaikan pada waktu pidato laporan pertanggungjawaban akhir masa jabatan sebagai Wali Kota Solo beberapa hari lalu, bukan merupakan alasan pembenar bagi Wali Kota Solo untuk tidak segera memberdayakan warga wilayah Solo bagian utara  sebagai daerah tercecer dalam jaring pengaman layak hidup.

Kebiasaan mider praja yang dimulai ketika Joko Widodo masih menjadi Wali Kota Solo bila hanya dijadikan show of force dan tak segera cancut taliwanda menangani persoalan kesenjangan pemerataan pembangunan utara dan selatan, pasti persoalan ini tak mungkin teratasi.

Kalau hal itu dijadikan alasan mendiamkan daerah utara yang tercecer, tentu kesenjangan pembangunan utara dan selatan semakin menganga.  Pembangunan Solo bagian utara dan selatan akan tetap jomplang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya