SOLOPOS.COM - Slamet Sutrisno slamet.sutrisno@yahoo.com Peminat kajian kebudayaan

Slamet Sutrisno slamet.sutrisno@yahoo.com Peminat kajian kebudayaan

Slamet Sutrisno
slamet.sutrisno@yahoo.com
Peminat kajian kebudayaan

Ilmuwan terkemuka India, Rajna Kothari, menegaskan modernitas bukan hanya Barat atau yang berhubungan dengan Barat. Modern adalah bagian dari kita semua. Lebih-lebih berbagai tradisi ketimuran sangat kuat dengan muatan spiritualitas, sesuai penegasan Wayne W. Dyer : You will know that there is a spiritual solution to every problem (Budhy Munawar-Rachman; Kompas, 24 September 1998).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bila dicamkan, banjir bandang yang melanda kawasan ibu kota negara, DKI Jakarta, dan sekitarnya, juga kawasan pantai utara Jawa (pantura), akan terpampang latar sistem strukturalnya, bukan hanya disebabkan rendahnya kualitas manusia Indonesia, baik birokrat pelaku pembangunan maupun masyarakat yang seharusnya ikut merawat hasil-hasil pembangunan.

Dari sudut manusia, konteksnya adalah kelemahan, bahkan degradasi kebudayaan bangsa, di mana Nusantara yang dalam sejarah peradaban berhasil menorehkan ketinggian budaya kini merosot ke tepian diskursus kebudayaan dunia.

Ada lumayan banyak pernik-pernik hidup dan kehidupan masyarakat kebangsaan kontemporer terjatuh ke dalam titik nadir keremeh-temehan. Meminjam istilah Clifford Geertz, bangsa kita secara kultural cukup involutif dan bahkan secara manifestasi tampak begitu sering menampakkan sikap antibudaya.

Ilmuwan Belanda, J. Brandes, menulis bahwa di Jawa sebelum tahun Masehi telah berkembang 10 kecakapan peradaban (Sunario; 1952). Sudah ada pertanian beririgasi, pandai besi, membatik, berlayar, berilmu (Jawa: kawruh, pangawikan), mengenal mata uang, mengenal huruf ha na ca ra ka, memainkan seni wayang dan gamelan, bahkan tahu praktik ketatanegaraan.

Ekspedisi Mudik 2024

Di sepanjang peradaban proto-Indonesia itu Nusantara jauh lebih beradab daripada penjajah Belanda karena pada zaman yang sama di sana [Belanda] belum terdeteksi peradaban selain di wilayah Yunani, Mesopotamia, Babilonia. Dalam kondisi kemajuan peradaban sehebat itu, Jawa sebenarnya tidak kalah warisan sejarahnya dari keempat model peradaban dunia seperti disebut oleh Archie J. Bahm: Eropa modern, Islam, India, dan China.

Profesor emeritus berusia hampir 90 tahun asal Amerika Serikat ini agaknya lalai sehingga tidak memasukkan Nusantara ke dalam jajaran peradaban besar dunia. Sutan Takdir Alisjahbana getol mengusulkan konsolidasi pengetahuan dan budaya kenusantaraan ini yang disebut dengan tanah Bumantara.

Produk kebudayaan Hindu-Buddha sangat benderang di Thailand, Kamboja, dan Indonesia. Begitu pun kultur kerajaan Melayu di Malaka dan Brunei Darussalam yang pasti berlainan modalitasnya dengan tanah keislaman di Arab.

Dengan demikian, tentunya generasi pendahulu masyarakat Jawa dan Nusantara umumnya paham apa yang kini dinamakan ”pembangunan.” Kosakata ini memang khas modern yang memang baru masuk dalam kamus anggitan Reksosiswojo, Muh. Said, dan Sutan Pamuntjak pada 1952. Namun, hakikatnya sebagai pengelolaan kehidupan kolektif yang merujuk pada cita-cita dan sistem nilai sudah diamalkan masyarakat klasik pendahulu kita.

Namun, tatkala kini kita menjalani kehidupan kontemporer yang modern, pembangunan segera ditandai oleh penetrasi pengetahuan ilmiah teknologis. Manfaatnya jelas besar, namun di balik madunya janganlah menutup mata arus racun-racun galak yang memproduksi krisis mondial di tingkat dunia.

Hegemoni modernisasi (baca: Barat) di sekujur kawasan dunia ketiga begitu maujud tanpa kekritisan memadai apakah memang cocok dengan, atau bukannya malahan mengancam, jati diri kemasyarakatan dan kebangsaan. Ciri dasar masyarakat kebangsaan adalah pada semantik ”bangsa” itu sendiri yang memuat sistem nilai khas.

Daoed Joesoef pernah gusar mengetahui Gus Dur menghapus ”kebudayaan” dari nama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang diubah menjadi Kementerian Pendidikan Nasional. Bukankah nasional itu dari nation, yang bermakna budaya?. ”Culture” dan ”a culture”, demikian Margared Mead, adalah dua sisi mata uang di mana yang pertama mengajarkan universalisme sedangkan yang kedua sarat pesan partikularisme budaya.

Nasionalistis dan nasionalisme adalah keniscayaan, tak terkecuali dalam konseptualisasi dan praksis pembangunan. Contoh perilaku dan mental hegemonik kemodernan dalam peri hidup itu adalah, semisal, warisan bangunan rumah modern dari zaman penjajahan selama tiga abad, bahwa ”modern” artinya rumah tembok.

Pagar-pagar di pelosok gunung pun harus pagar tembok yang memakan berton-ton semen. Tradisi memagari pekarangan dengan ”turus” (Jawa) yakni tetumbuhan yang dikenal sebagai ”pagar hidup,” yakni pohon melanding, jarak, waru, dihilangkan.

Baik fungsi ekologis maupun estetika naturalis pagar hidup dipandang usang. Berabad-abad kemudian menjadi terang-benderang seandainya tempo dulu ada pikiran cerdas ketidaksudian mengikuti ”ajaran” Barat namun visioner, rumah-rumah penduduk, tidak peduli status sosial, bisa saja dibangun dengan papan, bambu (gedek), dan di Maluku dan Papua dengan gaba-gaba (pelepah sagu).

Alangkah bakal jauh lebih aman negeri ini dari ancaman gempa bumi. Tetapi, itulah, modernisasi adalah berkah yang dalam kenyataannya menjadi musibah pembangunan. Pagar hidup mesti digantikan tembok  semen yang acapkali mengelilingi rumah mewah seorang penggedhe dengan kesan dan pesan kejemawaannya.

Orang Jawa kini tak tahu peribahasa ”sapa weruh ing panuju prasasat pagere wesi.” Kebijaksanaan ini mengajarkan bahwa pagar terbaik rumah kita bukan tembok tebal dan tinggi, melainkan pergaulan yang santun, keramah-tamahan dan saling ”ngemong.”

Saya teringat betapa sekitar 40-an tahun lalu Gubernur Jawa Tengah Munadi–seturut arus baru “pembangunan”–menyingkatnya dengan ”modes” (modernisasi desa). Kosakata sakti ini harus ditulis besar-besar pada genting rumah-rumah rakyat di Jawa Tengah. Penumpang pesawat terbang menjelang mendarat dengan terang mampu membaca akronim kolektif ini. Dalang kondang Ki Nartosabdo diminta membuat lagu Modernisasi Desa yang diperdengarkan di setiap hajatan penduduk.

Pembangunan yang sinonim dengan modernisasi di awal rezim Orde Baru itu segera menjadi kegiatan dan gerakan utama. Ali Moertopo menulis Akselerasi Modernisasi 25 Tahun yang optimistis selama 25 tahun sejak awal 1970 itu Indonesia akan berjaya.

Kenyataannya pada tahun segera setelah rentang masa itu dilewati, pembangunan nasional yang memang sudah banyak memberi faedah rakyat, toh tenggelam dalam krisis moneter dan krisis total yang dampak politiknya menyeret Soeharto lengser keprabon.

 

Pembinaan Akademik

Term “pembangunan nasional” menjadi inkonsisten di mana praksis pembangunan menjauh dari nilai budaya nation. Padahal, dalam frasa kekinian semantik nation begitu diperkaya oleh local genius dan local wishdom yang sekaligus berperan kritik terhadap kebuntuan modernitas. Universitas Gadjah Mada (UGM) bahkan memosisikan local wishdom sebagai roh pembinaan akademik.

Pembangunan yang menyontek dan menyuntikkan ”westernisasi” ke dalam diri kebangsaan tereduksi ke dalam pembangunan ekonomi, bergulir ke tendensi reduksi kuadrat pembangunan sinonim ”pertumbuhan” ekonomi saja yang diwakili berhala statistik.

Memang, sekian ironi menghiasi Indnesia masa kini; negeri pertanian yang selalu mengimpor pangan, dan negeri lautan yang kini mengimpor garam dan bertahan lama menjadi negara peraih medali “olimpiade korupsi”. Apalagi dalam profesi intelektual, negara kita akan segera diwarnai dengan perguruan tinggi dan rumah sakit asing.

Konsep pembangunan yang masih setia dengan ”westernisasi” itu telah membangun variabel menyusahkan yang bermuara pada musibah bikinan manusia, semisal banjir dan tanah atau bukit longsor. Sebab yang paling transparan adalah alih fungsi lahan, tanah sawah menjadi industri dan permukiman tanpa pertimbangan matang dan visioner, dan tidak mustahil menjadi sumber keuntungan pejabat.

Berkat ”dum-duman” hak pengusahaan hutan (HPH) di era Orde Baru yang konon banyak didistribusikan kepada para jenderal yang dipandang berjasa, pemaksaan pembukaan lahan gambut sejuta hektare menjadi lahan pertanian yang ternyata gagal, kegandrungan teknologi supermodern dalam industri pesawat terbang yang banyak meminta tombok dari dana reboisasi, adalah segmen pembangunan ala modernitas yang menyilaukan sekaligus menyesaki napas penderitaan rakyat.

Ditemukannya 3.000-an lubang di sepanjang jalan Jakarta–Semarang oleh Kementerian Pekerjaan Umum dalam musibah banjir kawasan pantura, relatif seringnya kejadian mengenaskan lantaran kemiskinan akut, tenaga kerja wanita (TKW) dengan aneka nasib nahas, kekalahan petani dan insinyur pertanian kita di level internasional, sesungguhnya berkaitan erat dengan bukan hanya program dan rencana, melainkan konsepsi dan konsep (baca: ideologi) pembangunan di negara ini yang salah kaprah mengadopsi ideologi developmentalism Barat.

 

Keburukan

Banjir bandang itu sangat jelas memamerkan keburukan konsepsi dan manajemen pembangunan menyangkut interkoneksi, interaksi, dan integrasi pembangunan nasional dan daerah. Di lain pihak, pembangunan cum moderisasi justru gagal menyosialisasikan sikap mental modern, seperti: disiplin, kerja keras, pandangan jauh ke depan, acuan ke pengetahuan dan rasionalitas dan bukan pengingkaran serta mitos.

Aneka variabel tersebut serentak berandil dalam permusuhan terhadap alam melalui perusakan iklim dan penghancuran lingkungan. Banjir adalah musibah yang sering kali sesungguhnya adalah keniscayaan kausal belaka. Di simpul inilah asma Tuhan kurang pantas disebut-sebut karena manusia sendiri yang menghancurkan alam, sedangkan buku besar Tuhan itu tak lain adalah alam semesta itu.



Bukan hanya kemiskinan struktural, kebodohan dan kekonyolan struktural pun layak ditengarai dalam praktik pembangunan. Secara demikian pembangunan bukan hanya salah proses melainkan sesat semenjak dari mindset para perancangnya lantaran tidak berbasis dan bergulir dalam ideologi dan pola strategi yang benar.

Dalam kenyataannya, proses dan hasil pembangunan menjauh dari  kemestian pembangunan selaku wahana pemerdekaan manusia. Pembangunan adalah wahana bagi proses kehidupan manusia menuju keselamatan hidup (Sihombing; 1980). Yang menjadi tujuan pembangunan itu tidak pernah terlepas dari unen-unen Jawa: ngudi sejatining becik lan beciking ngaurip (Humardani, 1981).

Dengan anutan ideologi yang salah, pembangunan kita selama ini sering memamerkan bukan pembangunan untuk manusia melainkan sebaliknya. Di sisi lain, pembangunan di negeri ini memang mempersilakan manusia-manusia borjuis menjajah mayoritas manusia Indoensia, sebagaimana sudah diramalkan Soekarno bahwa penjajahan oleh (sekelompok) bangsa sendiri  akan jauh lebih ganas daripada penjajahan asing.

Pancasila menempatkan pembangunan adalah kategori etis. Dalam studi komparatif saya terhadap konsep-konsep pembangunan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Denpasar dan Klaten, (UGM; 2006) saya merumuskan pembangunan selaku wahana dan proses pembebasan diri, baik sebagai manusia maupun bangsa, dalam rangka mengembangkan jati diri yang berbasis pada kesadaran dan penyadaran etis-religius.

Dalam rumusan ini, para perancang dan pejabat pelakunya harus paham bahwa pembangunan merupakan konsep yang tidak bebas nilai, apalagi pembangunan daerah yang mesti mengakarkan diri dan merujuk pada lokalitas sistem nilai.

Dalam konstelasi pemikiran yang berwatak kebangsaan, pembangunan Indonesia adalah sosialisme-religius. Kaidah moral etis yang berbasis pada nilai keagamaan menjadi titik berangkat dan acuan konsepsi pembangunan.

Jika demikian, membangun jalan raya, waduk, permukiman, dan tata ruang tidak boleh hanya mendasarkan pada kaidah hukum positif dan tetapan teoritis yang lazimnya diimpor dari negeri asing, melainkan bermula dari kaidah etis religius yang penuh hormat terhadap alam.

Bappeda Denpasar tampak lebih kuat variabel religiusnya dalam perencanaan pembangunan ketimbang Bappeda Klaten yang lebih mekanistis. Di Klaten, postulat pembangunan yang modernis mencolok,  sementara di Denpasar menguat dalam artikulasi tradisi local genius sebagai spiritnya.

Hal ini tidak lepas dari anutan keagamaan di mana Hindu Bali melekat dengan dan dalam adat dan tradisi, semisal Tri Hita Karana yang tecermin dalam manajemen pertanian yang disebut subak. Alinea awal tulisan ini begitu impresif bahwa tersedia pemecahan spiritual untuk semua jenis problematika, namun pembangunan kita terasa hanya menguat dalam materialisme dan finansial.



Karena sudah berulang kali rezim pembangunan di negeri ini abai dan alpa pada ajaran kebijaksanaan moral bangsa dan agama-agama, alam sendiri boleh memuntahkan kemarahannya. Banjir bandang dan tanah longsor adalah riak kecil dari peluang kemarahan yang mungkin.

Jati diri kebangsaan porak-poranda, misalnya bangsa ini tidak pernah mencatatkan dalam sejarah peradabannya menjadi bangsa pengungsi. Namun, karena banjir dan letusan gunung, kini ribuan warga negara berstatus pengungsi.

Senyampang masuk tahun politik, di pengungsian bertebaran aktor-aktor pelayan dan penyedekah, dengan atribut-atribut kepartaian dan politik. Tentu saja ini bukan hanya pragmatisme, tetapi mumpungisme.

 

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya