SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko, Penggemar Pecas Ndahe

Heri Priyatmoko, Penggemar Pecas Ndahe

Kesedihan merundung benak segenap Ndaser–sebutan penggemar setia kelompok musik humor Pecas Ndahe [dalam ejaan bahasa Jawa berhuruf Latin semestinya ditulis ”Ndhaser” dan ”Pecas Ndhahe”]. Pada Sabtu (1/6),  Pakde Emil, vokalis Pecas Ndahe, pengundang gelak tawa penonton itu, pergi selama-lamanya. Maut menjemputnya. Ia kalah ”bertempur” melawan penyakit bakteri kencing.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Kelihaian dia di panggung mengundang dan memancing gelak tawa penonton kini menjadi kenangan para Ndaser. Memang, kematangan membanyol dan respons spontan Emil di panggung sulit diragukan. Pemilik nama lengkap Emil Abdillah Chaneman itu menggawangi Pecas Ndahe selama dua dekade, laku yang lumayan panjang.

Bercanda, meski kadang bermateri jorok, yang dilontarkan oleh para awak Pecas Ndahe memang membikin saraf penonton kendur dan pembuluh darah menjadi longgar. Guyonan waton njeplak gaya Solo kontemporer yang diusung grup musik humor tersebut jadi katarsis dari rutinitas kerja, kuliah maupun sekolah yang kadang menjemukan.

Dalam banyak kesempatan pentas, Emil dan Doel Sumbing [nama aslinya Sutopo] adalah yang paling intensif mengocok perut penonton. Mereka bersama personel Pecas Ndahe lainnya menawarkan suasana rileks diselingi humor-humor absurd dan dibumbui pisuhan yang membuat penonton tak pernah kapok tertawa. Derai tawa yang menggema memenuhi tempat mereka pentas menjadi ukuran seberapa jauh keberhasilan Pecas Ndahe menghibur penonton.

Spirit kejenakaan yang dibangun kelompok ini dan akhirnya menjadi candu bagi Ndaser tidak terbentuk dan datang secara tiba-tiba alias melalui proses panjang. Meriwayatkan Pecas Ndahe mau tak mau harus diawali dengan menyebut nama Suku Apakah, komunitas musik humor yang paling dini di Kota Solo era 1980-an.

Jurusan Seni Rupa Fakultas Sastra [kini Fakultas Sastra dan Seni Rupa] Universitas Sebelas Maret (UNS) adalah tempat anggota Suku Apakah mangkal dan menimba ilmu. Mereka memulai bermusik humor dari pentas menyambut mahasiswa baru. Dari sinilah Suku Apakah mengasah kemahiran bermusik dan berhumor.

Seiring waktu bergulir, mereka berkembang dan merambah keluar kampus. Nama mereka melambung lantaran sukses menciptakan ide yang dikemas dalam sebuah konsep pertunjukan, yaitu seni peran, seni musik dan kostum yang konsisten berbalut humor. Suku Apakah tiada lagi memiliki banyak waktu mengocok perut mahasiswa baru di kampus karena laku dan banyak ditanggap.

Untuk mengisi kekosongan ini sekaligus demi kepentingan regenerasi, pada 1993 lahir Suku Apakah Junior yang diawaki Wisik Sunaryanto, Ahmad Nurul M, Edi Santoso, Gondhes dan beberapa orang lainnya. Meski umurnya baru ”kemarin sore”, penampilan mereka mendapat acungan jempol hingga dipercaya mengisi program acara di Radio SAS FM dan unjuk gigi di ruang publik.

Konflik antara senior dan junior, tak terelakkan. Suku Apakah Senior mengharapkan junior membubarkan diri karena ada embel-embel nama senior. Akhirnya, Suku Apakah Junior tidak membubarkan diri, hanya mengubah nama. Dalam sebuah wawancara, Arif Budi Setiawan (2003) berhasil mengorek keterangan jujur Wisik perihal asal-asul nama Pecas Ndahe, yang ternyata bermula dari kebingungan mencari nama baru.

Nama Pecas Ndahe muncul dari ungkapan kekesalan mereka: mikir jeneng grup wae nganti pecas ndhahe. Kata ”pecas ndhahe” adalah pelesetan dari ”pecah ndhase”, yang artinya hancur kepalanya. Kemudian ungkapan itu dijadikan nama grup yang kemudian dikenal dengan sebutan Pecas Ndahe. Ungkapan itu unik dan mudah dihafal. Selanjutnya, pada 5 September 1993 dibentuk Orkes Humor Pecas Ndahe. Sangat sepele bukan?

Pecas Ndahe Segera mencari jati diri agar berbeda dengan Suku Apakah. Pilihan jatuh pada orientasi musikal berupa orkestrasi. Bermodal alat seadanya yaitu bas, selo, gitar, biola dan perkusi, mereka belajar. Koran Wawasan (11 Mei 1996) mencatat pada 1994 nama Pecas Ndahe kian tersohor setelah mengikuti Jambore Musik V di Universitas Negeri Jember dan lomba Seni Mania Republika di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Mereka balik ke Solo dengan mengantongi gelar juara favorit pertama.

 

Bongkar Pasang

Perjalanan kelompok musik tidak selalu berjalan mulus. Bongkar pasang personel dialami Pecas Ndahe. Dari sebelas anggota yang membidani kelahirannya, tinggal Wisik dan Ahmad Nurul yang masih tersisa sebagai orang lawas. Merupakan hantaman bagi Pecas Ndahe manakala kehilangan Gondhes yang mahir mengaransemen musik akustik. Padahal, itulah letak daya dobraknya. Pecas Ndahe setelah ditinggalkan Gondhes kemudian mengubah bentuk musik menjadi pekat dengan nuansa musik elektrik walau tak meninggalkan nuansa akustik sembari mencari personel baru.

Audisi diadakan dan akhirnya terbentuk formasi Pecas Ndahe yang meliputi Wisik (vokalis, selo), Emil Abdillah (joker, vokalis), Burhanudin Latif (joker, vokalis), Ahmad Nurul M (gitar melodi), Edi Santoso (gitar akustik), Agung Setyawan (bas), Praptomo Wiharyo (drum) dan Sutopo (cak/cuk, biola).

Ketika itu, tampaknya Pecas Ndahe memang ingin serius menekuni musik humor sebagai ladang rezeki. Tawaran main deras mengalir. Hampir seluruh kota besar telah mereka singgahi. Ratusan kali pentas di segala lapisan masyarakat bikin mereka kaya pengalaman serta ide.

Yang menarik, saat itu materi pentas yang diusung adalah cermin dari ketidaksenangan terhadap kebijakan Orde Baru yang begitu represif. Dengan pelesetan, mereka bebas menghujat partai, aneka program pemerintah dan kepentingan yang tak sehati dengan rakyat.

Yang semestinya kita pahami, mengapa mereka tidak pernah kekurangan ide dan materi humor mereka mudah dicerna masyarakat adalah karena mereka selain sebagai seniman juga bagian dari golongan intektektual kampus. Kritik terhadap pemerintahan yang otoriter kala itu diolah dalam humor segar.

Hiburan lucu di panggung menjadi kompensasi untuk melawan struktur kekuasaan yang represif. Humor juga bisa dipakai sebagai metode eskapisme psikis untuk mengeliminasi persoalan yang berat sekaligus sebagai hiburan bagi manusia yang kalah. Humor menjadi kesempatan terakhir bagi manusia untuk tidak menjadi gila.

Kita berharap Pecas Ndahe sepeninggal Pakde Emil, yang menjadi ujung tombak di kelompok itu, terus bereksperimen dan kian memacu kreativitas agar tetap digandrungi penonton. Gerundelan perihal kepahitan hidup dan karut-marut politik negeri ini yang dibungkus gurauan harus kian sering disodorkan kepada khalayak.

Mengolah fenomena-fenomena aktual yang dibaca dalam perspektif budaya Jawa penting dihadirkan oleh awak Pecas Ndahe. Kejenakaan ala wong cilik dan wong Jawa menyikapi probematika hidup sepatutnya menjadi kekuatan dan roh bagi Pecas Ndahe. (heripri_puspari@yahoo.co.id)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya