SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Senin (12/6/2017). Esai ini karya Lukmono Suryo Nagoro yang bekerja sebagai editor buku di Kota Solo. Alamat e-mail penulis adalah lukmono.sn@gmail.com

Solopos.com, SOLO–Jika dibandingkan beberapa tahun lalu, tampaknya kedudukan Pancasila pada tahun ini berada di tebing curam. Contohnya saja penetapan libur tanggal 1 Juni dianggap aksi sepihak yang identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Nalar (sesat) itu dilanjutkan lagi. Pancasila yang dirumuskan Soekarno pada 1 Juni 1945 dianggap sebagai Pancasila-nya PKI karena urusan ketuhanan dinomorlimakan. Nalar ini berlawanan dengan nalar masyarakat yang paham urusan ketuhanan berada di sila pertama dan Pancasila yang dirumuskan oleh Soekarno itu dasar negara Indonesia, bukan dasar kelompok atau perseorangan.

Kedudukan Pancasila di tebing curam banyak sekali penyebabnya. Salah satunya adalah reformasi politik yang terjadi di Indonesia. Terjadinya reformasi juga mengubah sifat ketertutupan Pancasila menjadi Pancasila yang lebih terbuka.

Masyarakat Indonesia mulai mempertanyakan kebenaran Pancasila. Situasi ini berbeda dengan zaman Orde Baru kala masih memberlakukan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai sarana indoktrinasi bagi masyarakat. Pada masa Orde Baru, dasar negara Pancasila berada dalam kedudukan yang stabil.

Jika dianalisis dengan kurva J, kurva yang menggambarkan kestabilan dan keterbukaan dalam ilmu politik, Pancasila pada masa Orde Baru berada di ujung paling kiri kurva J. Situasi ini disebut stabil tertutup. Pada masa reformasi, Pancasila mengalami guncangan sehingga nyungsep ke tebing curam.

Proses nyungsep ini sebenarnya merupakan usaha menuju Pancasila sebagai ideologi terbuka sebagaimana dicita-citakan Soekarno pada waktu merumuskannya. Pada kondisi nyungsep ini ada tarikan kembali ke bentuk yang stabil tertutup atau melompat ke posisi stabil terbuka di ujung kanan kurva J.

Selanjutnya adalah: Semakin banyak gugatan terhadap nilai dasar…

Nilai dasar

Pancasila nyungsep karena semakin banyak gugatan terhadap nilai dasar Pancasila yang sepertinya tidak direspons dengan sikap sigap memberikan solusi. Isu mengenai ingin dimasukkannya kembali tujuh kata Piagam Jakarta, pelanggaran hak asasi manusia, separatism di daerah, demokrasi kita tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila, dan ketimpangan sosial seperti semakin membuat pelaksanaan Pancasila semakin jauh dari cita-cita awalnya.

Kondisi inilah yang membuat masyarakat terkadang seperti mengalami Sindrom Stockholm, bahwa  situasi yang penuh cengkeraman dan otoriter asalkan memberikan kestabilan lebih dirindukan dibandingkan situasi reformasi yang penuh kebebasan tetapi tidak memberikan kestabilan.

Kegawatan Pancasila sebagai dasar negara terus bertambah sejak munculnya kembali ide kekhalifahan. Negara Indonesia akan dibawah menuju bentuk kekhalifahan. Hal seperti itu tampaknya membuat gerah Saiful Mujani dan lembaga survei yang dipimpinnya, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

Saiful tidak lagi memprediksikan siapa pemenang pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden sebagaimana layaknya seorang pollster, tetapi meneliti siapa yang ada di dalam hati dan kepala masyarakat Indonesia: Pancasila atau lainnya.

Kali ini Saiful berperan sebagai ilmuwan yang turun tangan mencari  jawaban akan isu-isu dasar akan kesolidan ”PBNU” (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indoensia atau NKRI, dan UUD 1945) sebagi elemen dasar berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Survei SMRC yang bertajuk NKRI dan ISIS: Penilaian Massa Publik Nasional menghadirkan beberapa kesejukan. Pertama, survei itu menunjukkan 99% rakyat Indonesia sangat bangga dan cukup bangga menjadi warga negara Indoensia (WNI).

Selanjutnya adalah: Kekhawatiran melemahnya Pancasila…

 Pancasila

Ada 14,5% rakyat yang menyatakan kekhawatiran akan melemahnya Pancasila dan UUD 1945 dan bubarnya NKRI. Kedua, 79,3% rakyat Indonesia menyatakan NKRI yang bersandar pada Pancasila dan UUD 1945 adalah yang terbaik bagi rakyat Indonesia karena tidak semua rakyat Indonesia beragama Islam dan di antara yang beragama Islam pun tidak semua sama paham dan alirannya.

Ketiga, berdasarkan survei tersebut hanya 2,7% rakyat Indonesia yang setuju dengan gerakan ekstrem Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan 11,2% rakyat Indonesia setuju dengan perjuangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung isu kekhalifahan.

Hal yang perlu dicermati dari survei itu meskipun menyejukkan sesungguhnya juga mengundang kecemasan, yakni pernyataan Saiful Mujani  bahwa 11,2% rakyat Indonesia yang tahu HTI itu ekuivalen dengan 3,2% populasi nasional. Kira-kira sekitar delapan juta jiwa.

Angka delapan juta ini ekuivalen dengan jumlah pemilih Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada pemilihan umum 2014. Kalau HTI berubah menjadi partai politik dan mengikuti pemilihan umum, saya pastikan hanya menjadi partai gurem.

Mengapa partai gurem? Pemilih di Indonesia itu merupakan fenomena kurva lonceng terbalik. Pemilih Indonesia mengumpul di tengah. Partai politik beraliran nasionalis juga perlu memoles dirinya religius dan sebaliknya partai yang beraliran religius juga perlu memoles dirinya nasionalis.

Selanjutnya adalah: Bertarung dalam demokrasi elektoral…

Demokrasi elektoral



Kalau HTI menjadi partai politik dan bertarung dalam demokrasi elektoral Indonesia, posisinya berada di ujung kanan atau kiri kurva lonceng tersebut. Partai seperti ini hanya akan dihadiahi tepuk tangan karena konsistensi dan radikalismenya, bukan karpet merah kekuasaan.

Kekhawatiran lainnya adalah adanya 14,5% rakyat yang menyatakan ada ancaman terhadap Pancasila dan UUD 1945. Sebanyak 75% dari warga yang merasa NKRI dalam ancaman sebagian besar menyatakan ancaman yang muncul dari  paham-paham agama tertentu (39,4%) menduduki peringkat pertama.

Ancaman ini seakan membuka kotak pandora perdebatan Pancasila sebagai dasar negara pada saat akan memasukkan unsur salah satu agama (Islam) dalam rumusan dasar negara. Untuk mempertahankan kabar sejuk dari SMRC sangat perlu menghidupi Pancasila dalam satu kesatuan.

Kita tidak boleh memperlakukan tiap-tiap sila dalam Pancasila sebagai bagian-bagian yang terpisah-pisah dan berdiri sendiri-sendiri. Kita tidak boleh memprioritaskan salah satu sila dengan mengecilkan sila-sila yang lain.

Kita tidak boleh membiarkan pencaplokan satu sila terhadap sila-sila yang lain. Kelima sila dalam Pancasila adalah suatu kesatuan dan sudah semestinya dihidupi sebagai suatu kesatuan. Republik Indonesia sejatinya bukan sebuah negara yang dibangun untuk satu golongan atau beberapa kelompok saja. Republik ini memerlukan persatuan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya