SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (31/3/2016), ditulis Heri Priyatmoko. Penulis adalah dosen Sejarah, Universitas Sanata Dharma.

Solopos.com, SOLO — Butiran waktu telah berguguran. Di pengujung Maret, situasi yang lazim dijumpai yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama dijubeli orang. Saban Maret, lembaga pelat merah ini meniup peluit peringatan kepada pihak wajib pajak agar melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Orang yang mengantongi nomor pajak wajib pajak (NPWP) ditagih apakah sudah menunaikan kewajiban pajak atau belum. Pasalnya, pajak merupakan salah satu modal pokok penggerak roda pemerintahan. Di sini diperlukan kesadaran masyarakat yang tinggi untuk rajin membayar pajak dan tepat waktu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Upaya membangun negara tak cukup berbekal ideologi, kekuatan militer, dan kabinet pemerintahan yang tangguh. Negara butuh uang dari hasil pajak yang dipungut dari rakyat lantas dikelola pemerintah demi memenuhi tujuan kolektif, yakni menyejahterakan rakyat dan memakmurkan negeri. Hampir seluruh pundak penduduk Indonesia terbebani pajak. Tanah, bangunan rumah, dan kendaraan bermotor milik mereka dikenai pajak. Sampai wong cilik punya guyonan: tiada lubang yang luput dari incaran pajak.

Kendati demikian bukan berarti pemerintah bisa memainkan uang pajek. Ada baiknya kisah sejarah era kolonial saya “panggil pulang” sebagai kaca benggala bahwa penyalahgunaan wewenang dan eksploitasi pajak mampu memancing resistensi masyarakat dan membuat kondisi negara karut-marut.

Ekspedisi Mudik 2024

Melalui optik sejarah, sejarawan Onghokham (2003) mendedah, pajak yang diterapkan pemerintah Walanda menumbuhkan sederet pemberontakan petani. Dari 1830 sampai 1908 (berdirinya Boedi Oetomo) terjadi lebih dari 100 kerusuhan petani di Jawa hampir satu kali setiap tahun. Belum di wilayah Sumatra-Aceh, misalnya. Kesadaran politik Moh. Hatta muncul pertama kali dari peristiwa pemberontakan pajak di Sumatra Barat yang melibatkan sepupunya sendiri. Tapi kerap pula pembangkangan terhadap penarikan pajak justru dikerjakan oleh kalangan kaya, orang-orang yang enteng membayar pajak. Kelompok berduit lebih sadar tak bakal rela bila uang pajaknya dihamburkan negara tanpa dia menerima jasa setimpal.

Terkait pelaku pemberontakan yang digerakkan petani kaya, Onghokham (1977) dalam karangan lainnya, memotret kasus pemberontakan di area Jawa Timur yang dipicu pajak tinggi. Terkisah, pada November 1885 para pemilik tanah di desa Patik (Kabupaten Ponorogo) berjumlah 100 orang mengangkat carik-desa sebagai ratu baru bergelar Pangeran Lelono, yang akan menghapus pajak-pajak. Aksi ini bertujuan menyudahi hidup petinggi Belanda setempat sebab membebani rakyat dengan aneka pajak tinggi yang merusak wong cilik. Hingga lahir kalimat getir: “tidak bisa memakai celana karena uangnya dipakai untuk membayar pajak. [Baca selanjutnya: klik di sini]

Biarpun isu yang dikemukakan para pemberontak soal pajak tapi rombongan pejabat Belanda yang meneliti kasus ini mengabaikannya. Hanya secara kebetulan saja soal pajak itu terbongkar. Ternyata, sejak 1883 pajak desa Patik setiap tahun merangkak dan mencekik. Terlebih lagi pungutan persenan pajak oleh pemilik tanah tak sesuai dengan statistik resmi (6,196), tetapi mencapai 16,196 dari penghasilan petani.

Sayangnya, ideologi elit Belanda tak bisa menerima bahwa ragam pajak merupakan penyebab utama pemberontakan Patik. Isu pajak dipindahkan ke persoalan lain yaitu perbandingan tingkat kemakmuran para pemberontak dan kemiskinan penduduk lain. Pejabat Belanda berdalih bila pajak menyebabkan kemiskinan tentu penduduk miskin lain akan ikut serta dalam usaha membunuh orang-orang Belanda.

Pajak lainnya yang diterapkan di daerah koloni dan sempat menyebabkan lahirnya keresahan sosial adalah pajak candu atau opium, kendati tidak menunjukkan tipe gerakan masif ataupun kolektif orang Jawa ataupun kelompok pribumi lainnya yang bisa dikategorikan sebagai kerusuhan sosial. Selain pajak minuman keras, tembakau, garam, rumah gadai, sabung ayam, dan judi, jenis pajak yang disebutkan di muka masuk dalam kategori usaha tani.

Pajak pertanian opium dipungut dari konsumsi kelompok kecil masyarakat. Pemerintah pasang strategi guna mencegah konflik berulang, yaitu dalam pelaksanaan penarikan pajak opium dilibatkan para bupati. Keterlibatan pegawai lokal sebagai pengumpul pajak dan taktik pemerasan dalam perekrutan jago menghalangi orang Jawa memprotes dan mengepalkan tinju. Dari cara inilah barangkali orang Jawa tidak melihat maupun merasakan pertanian opium dan pajak pertanian lainnya sebagai eksploitasi.

Dari uraian saya di atas, dapat disimpulkan sistem pajak yang diterapkan oleh penguasa ternyata bukan tanpa risiko. Rupa-rupa pajak yang dibebankan kepada rakyat dan sebagai tiang penyangga dari pembentukan kesatuan politik rawan mendatangkan petaka jika dalam implementasinya terjadi penyimpangan dan penuh penindasan. Diperparah lagi, masyarakat tidak memperoleh imbal balik dari kewajiban membayar pajak. Nyata eksploitasi pajak sangat potensial melahirkan gejolak sosial dan mengguncang stabilitas politik.

Penyalahgunaan kekuasaan serta kesewenang-wenangan penguasa dalam praktik pajak di lapangan tanpa disadari menjelma menjadi bom waktu yang siap meledak setiap saat, tinggal mencari pemantiknya. Resistensi dan pemberontakan masyarkat pada akhirnya akan menghasilkan konsensus-konsensus yang menghapuskan pajak atau sekadar menurunkan nominal pajak.

Realitas historis yang patut direnungkan di sini ialah isu pajak sangatlah sensitif dan gampang dimanfaatkan untuk menggerakkan kekuatan massa yang anti terhadap penguasa. Sebab itu, penguasa mestinya berpikir ulang ketika mendapati warganya mengeluh secara kolektif gara-gara beban pajak yang berat, di satu sisi mereka tidak memperoleh haknya selepas membayar pajak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya