SOLOPOS.COM - Himawan Prasetyo (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (28/5/2015), ditulis Himawan Prasetyo. Penulis adalah sejarawan di Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Era globalisasi yang disertai perkembangan teknologi informasi memengaruhi tatanan budaya dalam segala aspek kehidupan masyarakat, tidak terkecuali di Kabupaten Karanganyar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kabupaten Karanganyar sangat kaya potensi sumber daya budaya dan beraneka warna yang berdasarkan jenisnya terdiri dari budaya material dan nonmaterial.

Musnah atau hilangnya unsur-unsur peninggalan tersebut dapat berpengaruh terhadap  hilangnya bukti-bukti material babak-babak aktivitas manusia masa lampau.

Landmark sebuah daerah biasanya berupa cagar budaya, baik yang bersifat tangible maupun intangible. Di Kabupaten Karanganyar sebut saja Candi Sukuh, Candi Cetha, Pabrik Gula Tasikmadu, dan Pabrik Gula Colomadu. Bangunan-bangunan cagar budaya tersebut  menjadi landmark dari sebuah entitas budaya daerah.

Pembangunan Kabupaten Karanganyar dewasa ini mengalami kemajuan pesat seiring dengan perkembangan zaman. Dibutuhkan kearifan dan kesadaran komponen pemerintah dan warga Karanganyar dalam mewujudkan citra budaya Karanganyar baik di tingkat nasional maupun internasional.

Ekspedisi Mudik 2024

Tahun ini Pemerintah Kabupaten Karanganyar berupaya menjadikan wilayah Kecamatan Colomadu sebagai garda terdepan pengembangan daerah modern di Karanganyar. Hal ini didukung sarana dan prasarana wilayah Colomadu, termasuk Pabrik Gula Colomadu yang akan dijadikan hotel dan mal untuk menggairahkan ekonomi rakyat.

Apakah pembangunan mal dan hotel akan menunjang perekonomian rakyat Colomadu? Apakah pembangunan mal dan hotel akan merusak dan menggusur Pabrik Gula Colomadu yang telah lama menjadi landmark wilayah Colomadu?

Benda cagar budaya sebagai bagian hasil karya adiluhung anak bangsa patut dilindungi dan dilestarikan. Ini seperti rakyat Indonesia yang butuh perlindungan dan jaminan keselamatan dari pemerintah. Bangunan cagar budaya butuh perlindungan dari otoritas tertentu yang ingin mengubah apalagi mendirikan bangunan baru.

Banyak daerah di negeri ini yang  menyimpan berbagai peninggalan kebudayaan dari bermacam etnik, baik pada zaman sejarah maupun prasejarah.  Banyak aset peninggalan masa lalu yang belum bisa menarik minat pemerintah untuk mengelolanya, apalagi mengembangkan guna pemanfaatan secara maksimal.

Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor penghambat, terutama belum tersedianya sumber daya manusia yang dapat mengelola secara tepat dan benar atau terabaikan oleh sumber daya lain yang dianggap lebih potensial dipandang dari segi ekonomi, walaupun efek negatif yang ditimbulkan jauh lebih besar. [Baca selanjutnya: Kesinambungan]

 

Kesinambungan
Bukti artefak dapat digunakan untuk menandai ciri-ciri zaman. Musnah atau hilangnya unsur-unsur peninggalan tersebut dapat berpengaruh terhadap hilangnya bukti-bukti material babak-babak aktivitas manusia pada lampau manusia.

Pasal 1 ayat (22) UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya menjelaskan pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

Konsep utama pelestarian adalah kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan. Perubahan tidak terjadi secara drastis melainkan alami dan terseleksi. Pelestarian bisa berupa pembangunan atau pengembangan.

Lakunya dengan preservasi, restorasi, replikasi, rekonstruksi, rehabilitasi, atau revitalisasi suatu aset warisan masa lalu. Dengan demikian pelestarian juga merupakan upaya menciptakan pusaka budaya pada masa mendatang (Adisakti, 2003).

Pemanfaatan benda cagar budaya hanya dapat dilakukan seizin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sering kali dalam rehabilitasi ada modifikasi beberapa komponen, disesuaikan dengan tuntutan  fasilitas dan kenyamanan fungsi yang baru.

Untuk keperluan itu perlu pengkajian perencanaan pemanfaatan dan revitalisasi oleh tim penilai agar tetap mempertimbangkan aspek pelestarian. Dalam Pasal 15 UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya dijelaskan cagar budaya yang tidak diketahui kepemilikannya dikuasai oleh negara.

Dalam sejarah lama tercatat wilayah Malangjiwan, Colomadu, Karanganyar merupakan bagian integral dari Keraton Kartasura. Kata Malangjiwan berasal dari nama seorang pangeran, yaitu Tumenggung Malangjiwa.

Setelah peristiwa Geger Pecinan yang menyebabkan Keraton Kartasura hancur, wilayah Malangjiwan menjadi wilayah dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dikenal dengan nama Pajang Utara. Setelah Perjanjian Salatiga 1757, wilayah Malangjiwan menjadi bagian dari  Praja Mangkunegaran.

Pada masa selanjutnya terjadi perubahan tata pemerintahan Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegaran dibagi menjadi empat  kawedanan. Wilayah Malangjiwan merupakan bagian dari Kawedanan Kota Mangkunegaran yang merupakan bagian dari Onderdistrik Colomadu.

Ada banyak hal yang menarik untuk dibicarakan tentang Pabrik Gula Colomadu. Bukan karena letaknya yang strategis di tepi jalan raya, namun peran sejarah panjang yang dimainkan pabrik gula tersebut.

Pabrik Gula Colomadu dibangun setelah mendapat persetujuan Residen Surakarta Nieuwenhuyzen. Mangkunagoro IV memerintahkan seorang ahli berkebangsaan Jerman, R. Kampf, untuk membangun pabrik gula. Peletakan batu pertama dilakukan pada Minggu, 8 Desember 1861.

Biaya pembangunan pabrik mencapai 400.000 gulden yang modalnya sebagian besar diperoleh dari pinjaman hasil keuntungan perkebunan kopi Mangkunegaran. Selain itu juga mendapat bantuan pinjaman dari seorang mayor berkebangsaan Tiongkok di Semarang, Be Biauw Tjwan, yang merupakan teman dekat Mangkunagoro IV.

Pada 1862 pabrik gula ini siap dioperasikan. Dalam upacara pembukaan pabrik itu Mangkunagoro IV memberi nama pabrik tersebut Colomadu, suatu nama Jawa yang artinya gunung madu. Tidak ada penjelasan resmi mengapa menggunakan istilah itu, tetapi jika dilihat dalam tradisi penguasa Jawa maka nama itu mengandung suatu harapan agar kehadiran industri gula ini menjadi simpanan kekayaan Praja Mangkunegaran dalam bentuk butiran gula pasir hingga menyerupai gunung.

Perusahaan itu milik pribadi. Kendali perkebunan tebu berada di tangan Mangkunagoro IV. Pengelolaan perusahaan sehari-hari di tangan seorang administrator yang kali pertama dipercayakan kepada R. Kampf.

Ia mengelola Pabrik Gula Colomadu selama delapan tahun. Pada 1870 ia digantikan putranya, G. Smith, karena ia mendapat tugas dari Mangkunagoro IV untuk mengelola perkebunan lain milik Mangkunegaran, yaitu perkebunan kopi yang memerlukan perombakan dan perluasan lahan.

Semula industri gula Mangkunegaran merupakan industri gula milik pribadi keluarga  Mangkunagoro IV. Industri itu itu diubah menjadi perusahaan praja pada masa menjelang wafatnya Sri Mangkunagoro IV dengan pertimbangan untuk pengembangan lebih lanjut dan keuntungan yang lebih besar bagi kemakmuran Praja Mangkunegaran.

Setelah melalui pasang surut, pada awal abad ke-20 pengelolaan industri gula Mangkunegaran berada di tangan komisi pengawas (commissie van beheer). Komisi ini beranggota tiga orang, yaitu Mangkunagoro VII sebagai ketua, Bupati Patih Mangkunegaran sebagai wakil ketua, dan superintenden urusan kekayaan Mangkunegaran sebagai anggota.

Dalam kegiatan sehari-hari, superintenden yang menjalankan kegiatan badan itu. Kantor superintenden berlokasi di kompleks Istana Mangkunegaran. Kantor superintenden ini membawahi perusahaan-perusahaan milik Praja Mangkunegaran, termasuk industri gula Colomadu. Pada masa penjajahan Belanda, jabatan superintenden selalu dipegang orang Belanda dengan pertimbangan kecakapan dalam mengelola industri gula.

Setiap pabrik gula dipimpin seorang administratur. Di bawah administratur terdapat karyawan pabrik gula seperti kepala laboran, pemegang buku, mandor, dan sebagainya. Sementara para pekerja hampir semua orang Jawa, terutama rakyat di sekitar Pabrik Gula Colomadu. [Baca selanjutnya: Revolusi Sosial]

 

Revolusi Sosial
Pada masa pendudukan Jepang, manajemen pabrik gula berubah total. Lembaga commissie van beheer dianggap berbau Belanda dan diubah namanya menjadi Perusahaan Perkebunan Mangkunegaran (PPMN). Jabatan superintenden yang semula dijabat orang Belanda diganti oleh orang Indonesia. Demikian juga dengan administratur dan karyawan pabrik gula.



Adanya revolusi sosial di Solo pada 1946 menjadikan pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran dihapus dan disatukan dalam Dewan Pertahanan Daerah Surakarta. Dengan dihapuskannya pemerintahan Mangkunegaran maka semua badan usaha termasuk industri gula Mangkunegaran diambil alih pengelolaannya oleh pemerintah Republik Indonesia jauh sebelum adanya program nasionalisasi pada 1957.

Pada 1947, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 yang memuat tentang Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI) sehingga Pabrik Gula Colomadu menjadi milik pemerintah Republik Indonesia.

Seiring dengan merosotnya hasil produksi dan berkurangnya lahan tanaman tebu, pada 1 Mei 1997 Pabrik Gula Colomadu melakukan penggilingan terakhir dan berhenti beroperasi. Sampai sekarang luas wilayah Pabrik Gula Colomadu kurang lebih 22 hektare.

Wilayah itu meliputi bangunan di dalam kompleks pabrik, rumah dinas di sebelah barat dan utara pabrik,  rumah tinggal pekerja pabrik di selatan bangunan pabrik, dan bangunan Puskesmas Colomadu.

Pemahaman peninggalan budaya masa lalu di Colomadu sebagai kawasan  budaya tidak akan lengkap jika hanya didekati dengan satu aspek ilmu pengetahuan. Sifat multidisiplin kawasan budaya tercermin dari banyaknya aspek ilmu pengetahuan yang dapat diaplikasikan secara tepat di ranah yang sekilas tidak menjanjikan apa-apa.

Peninggalan masa lampau yang unik menjadikan kawasan budaya memiliki nilai ekonomi, baik yang bersumber dari peninggalan budaya itu sendiri maupun lingkungan pendukungnya. Sebagai suatu lingkungan hunian, penduduk yang tinggal di kawasan budaya ini memiliki sifat-sifat sosial dan budaya yang sangat khas.

Pemahaman inilah yang merupakan hal pokok dalam mengidentifikasi pengelolaannya yang pada hakikatnya adalah usaha pemanfaatan dan perlindungan. Pemberdayaan atau pemanfaatan kawasan budaya dapat dilaksanakan dengan cara memperhatikan kelestarian kawasan tersebut.

Pengembangan kawasan ini tidak boleh meninggalkan jiwa kawasan. Jiwa kawasan ini dapat berupa peninggalan-peninggalan material atau material culture maupun tradisi-tradisi yang masih berkembang di wilayah tersebut atau living culture.

Pabrik ini merupakan salah satu aset sejarah yang tidak ternilai harganya. Pabrik Gula Colomadu  merupakan  salah satu kawasan cagar budaya di Indonesia.  Keberadaan dan kelangsungan kawasan cagar budaya menjadi tanggung jawab kita bersama. Kawasan cagar budaya dilindungi UU No. 11/2010 tentang  Cagar Budaya yang berarti memiliki nilai penting dan bermanfaat bagi umat manusia sehingga  peninggalan budaya tersebut perlu dilestarikan.



Agar benda peninggalan tersebut dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang panjang dan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang, upaya pelestariannya perlu dilakukan secara berkesinambungan.  Setidaknya seperti ungkapan K.G.P.A.A. Mangkunagoro IV, ”Pabrik iki openana, sanajan ora nyugihi hananging nguripi.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya