SOLOPOS.COM - Ilustrasi kondisi ekonomi. (Bisnis-Dok.)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (28/12/2017). Esai ini karya Riwi Sumantyo, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah riwi_s@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO— Kita memasuki tahun 2018. Beragam pandangan ekonomi dikemukakan berbagai pihak. Ada yang bersikap optimistis bahwa kinerja sektor ekonomi pada 2018 akan jauh lebih baik dibanding tahun 2017.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Riwi Sumantyo

Riwi Sumantyo (Istimewa)

Ada juga yang berpandangan perekonomian 2018 tidak akan berbeda jauh dengan tahun sebelumnya. Pemerintah bersama DPR telah menyetujui beberapa asumsi makro dalam APBN 2018.

Di antaranya adalah pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar 5,4%, inflasi 3,5%, kurs rupiah Rp13.400 per US$1, suku bunga surat perbendaharaan negara tiga bulan 5,2%, harga minyak Indonesia US$ 48 per barel, lifting minyak Indonesia 800.000 barel per hari, dan lifting gas ditetapkan 1,2 juta barel setara minyak per hari.

Yang paling banyak mendapat sorotan tentu saja variabel pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 5,4%. Angka sebesar itu dinilai terlalu optimis karena masih besarnya tantangan ekonomi yang harus dihadapi Indonesia.

Tantangan tersebut berasal dari faktor eksternal (global) maupun berasal dari sisi internal. Tantangan tersebut cukup berat sehingga pemerintah perlu bekerja keras untuk mewujudkannya

Dari sisi eksternal, tantangan tersebut di antaranya adalah rencana pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat yang kemungkinan akan diikuti oleh beberapa negara maju lainnya. Kenaikan suku bunga acuan dari Federal Reserve (The Fed) tampaknya merupakan sebuah keniscayaan.

Kemungkinan bunga acuan akan naik sekitar tiga sampai empat kali pada 2018. Jerome Powell sebagai calon pengganti Janet Jellen untuk menduduki jabatan gubernur The Fed tampaknya cenderung akan mengikuti langkah kebijakan yang diambil gubernur The Fed sebelumnya.

Selanjutnya adalah: Sebenarnya langkah yang akan diambil

Langkah

Sebenarnya langkah yang akan diambil akan cenderung hati-hati (hawkish), namun perbaikan kinerja perekonomian Amerika Serikat yang berjalan cukup memuaskan akan menjadi alasan pembenar bahwa kebijakan pengetatan moneter di Amerika Serikat mau tidak mau harus dilakukan.

Jika langkah tersebut benar-benar diwujudkan, langkah serupa kemungkinan besar akan diikuti bank sentral lain di beberapa negara maju lainnya. Langkah ikutan semacam ini harus diambil mengingat ada potensi dana investor akan ”pulang kandang” ke negeri Abang Sam itu.

Sejauh ini Bank Indonesia masih cenderung mempertahankan kebijakan moneternya, tapi jika kenaikan suku bunga terjadi secara masif maka kemungkinan besar Bank Indonesia akan mengikutinya.

Kenaikan Fed Fund Rate akan berdampak signifikan terhadap kurs mata uang. Dolar Amerika Serikat secara teoretis akan menguat dan mata uang negara lain, termasuk Indonesia, kemungkinan akan mengalami depresiasi.

Kebijakan lain yang sekarang sedang disorot adalah rencana pemangkasan pajak penghasilan (PPh) korporasi di Amerika Serikat. Presiden Donald Trump merencanakan pemotongan PPh korporasi dari 35% menjadi 20%.

Reformasi pajak yang digulirkan Presiden Amerika Serikat ini akan berdampak signifikan ke seluruh dunia. Logikanya langkah ini akan menguntungkan korporasi di Amerika Serikat karena mereka akan menikmati kenaikan laba yang cukup signifikan.

Selanjutnya adalah: Aliran dana ke pasar modal Amerika Serikat

Dana

Aliran dana ke pasar modal Amerika Serikat akan semakin kencang dan negara lain bisa jadi akan mengambil langkah serupa untuk mencegah out flow di pasar modal mereka. Indonesia tentu saja akan ikut terdampak penerapan kebijakan ini karena PPh korporasi di negara kita saat ini sebesar 25%, relatif lebih tinggi dibanding di Amerika Serikat.

Terdapat dilema jika Indonesia mengikuti rencana pemotongan pajak karena akan mengurangi potensi penerimaan pajak yang berdampak terhadap pencapaian target pajak yang sudah ditetapkan.

Variabel nonekonomi juga harus diperhatikan yaitu terkait kondisi geopolitik di beberapa kawasan, terutama di Semenanjung Korea dan sejumlah kawasan di Timur Tengah. Keadaan semacam ini biasanya akan berdampak terhadap kenaikan harga minyak mentah dunia.

Jika hal ini benar-benar terjadi, tampaknya akan membuat posisi pemerintah dalam situasi yang sulit. Permasalahannya adalah pemerintah sudah berjanji tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak pada 2018.

Kebijakan populis semacam ini diambil, salah satunya, karena terkait dengan 2018 yang biasa diistilahkan dengan tahun politik, namun jika tidak dinaikkan akan berpotensi memperberat kondisi APBN. Pemerintah benar-benar dalam situasi dilematis.

Tantangan lain yang tidak kalah berat adalah dari sisi internal/domestik. Isu pelemahan daya beli masih menjadi momok utama untuk menggerakkan ekonomi pada 2018. Konsumen sejauh ini masih cenderung menahan diri dalam berbelanja. Memang benar terjadi pergeseran motif dan pola berbelanja masyarakat.

Saat ini pengeluaran untuk leisure meningkat dan  terjadi shifting dari model belanja luar jaringan atau luring (off line) menjadi dalam jaringan atau daring (online), namun data yang ada menunjukkan bahwa pelemahan daya beli benar-benar terjadi. Konsumen masih cenderung lebih suka menaruh uang di simpanan lembaga keuangan, tercermin dari besarnya deposito dan simpanan lain di perbankan.

Selanjutnya adalah: Mediasi perbankan juga belum memuaskan

Perbankan

Mediasi perbankan juga belum begitu memuasakan. Target pertumbuhan kredit pada tahun ini hampir pasti hanya tumbuh single digit, meleset dari rencana bisnis bank yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil survei Nielsen terkait kinerja industri ritel menunjukkan pertumbuhan penjualan sepanjang Lebaran tahun ini dibanding Lebaran tahun lalu year on year (yoy) hanya mencapai 5%.

Pertumbuhan tersebut paling rendah dalam lima tahun terakhir, padahal pada momentum Lebaran 2012 pertumbuhan penjualan ritel bahkan sempat mencapai 38,7% (yoy). Industri barang konsumsi kemasan atau fast moving consumer good (FMCG) sepanjang tahun ini (year to date) hanya tumbuh 2,7%, padahal rata-rata pertumbuhan industri tersebut mencapai 11% dalam lima tahun terakhir.

Pertumbuhan industri ritel secara keseluruhan pada September 2017 bahkan menurut catatan Nielsen hanya 3,8% dibanding bulan sebelumnya (month to month/mtm). Pertumbuhan tersebut jauh berada di bawah rata-rata pertumbuhan ritel yang biasanya mencapai 10%-11%.

Pelaku usaha juga masih bersikap wait and see dalam hal ekspansi belanja. Di samping gerak ekonomi masih lamban, ada faktor lain yang menjadi pertimbangan, yaitu kondisi ekonomi Indonesia yang relatif akan menjadi hangat menjelang hajatan politik pada 2018 dan berlanjut pada pemilihan presiden serta pemilihan umum anggota legislatif pada tahun berikutnya.

Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah makin besarnya utang pemerintah yang saat ini angkanya sekitar Rp3.866 triliun dan nilai utang yang jatuh tempo sekitar Rp 355 triliun. Meskipun masih dalam batas aman, namun tren makin besarnya utang luar negeri ini harus tetap diwaspadai.

Kinerja ekspor sudah lumayan membaik, tetapi masih didominasi komoditas berbasis sumber daya alam (resources based) sehingga rentan terhadap fluktuasi harga komoditas tersebut. Negara tujuan ekspor juga semakin terkonsentasi ke negara Tiongkok sehingga secara tidak langsung akan sangat tergantung dari perkembangan ekonomi di negeri panda tersebut.

Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja ekonomi Indonesia pada 2018 masih relatif belum berjalan kencang dan tidak akan berbeda jauh dengan kondisi ekonomi pada 2017. Target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan sebesar 5,4% dianggap terlalu optimistis.

Target pertumbuhan ekonomi ini terganjal daya beli masyarakat yang belum begitu membaik serta sikap pelaku usaha yang masih cenderung menahan diri dalam berekspansi. Ibaratnya pada 2018 ada optimisme di tengah kegalauan. Semoga saja terjadi perbaikan kondisi ekonomi yang signifikan sehingga harapan masyarakat Indonesia bisa terwujud.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya