SOLOPOS.COM - Setyaningsih (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (16/9/2017). Esai ini karya Setyaningsih, penghayat pustaka anak dan pemenang harapan sayembara penulisan kritik sastra 2017 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Alamat e-mail penulis adalah langit_abjad@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Politikus muda Partai Golongan Karya Indra Jaya Piliang sepertinya sengaja ingin masuk penjara. Harian Solopos edisi 15 September 2017 mengabarkan Indra ditangkap aparat Direktorat Narkotika Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya karena mengonsumsi sabu-sabu. Menurut Indra, sabu-sabu itu untuk kepentingan riset penulisan novel setahun terakhir.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cerita di novel pertama karya Indra tentang pemakai narkoba mendapat komentar ”kurang gereget”. Indra ingin menguatkan tokoh dengan mencoba sendiri ”gereget” nyabu. Seandainya Indra memilih tokoh orang yang sekarat bunuh diri atau justru tokoh yang sudah mati, Indra mungkin akan riset langsung juga. Lumayanlah, ini Indra cukup nyabu saja!

Kita sering mendapati cerita seputar penggarapan novel oleh para pengarang sebagai sesuatu yang bombastis. Ada penulis-penulis yang harus mengasingkan diri di hotel atau rumah penyepian demi hasil gemilang novel pamungkas.

Tentu banyak penulis yang mengamati suatu hal bertahun-tahun, seolah-olah waktu menjadi penentu keberhasilan penulisan novel di jagat perbukuan. Penulis yang justru sesumbar atau pamer riset dengan amat gamblang sekalipun tidak selalu memiliki jaminan novel hasil karyanya bakal ampuh menaklukkan pasar dan menarik pembaca.

Sebelum tema narkoba digarap oleh Indra Jaya Piliang, Indonesia mendapat hadiah novel garapan Zaky Yamani berjudul Bandar (2014). Zaky mengisahkan pergolakan keluarga pewaris bisnis narkoba di Gang Somad, Kota Bandung, Jawa Barat.

Latar Zaky sebagai jurnalis dan peraih penghargaan Anugerah Adiwarta 2009 kategori liputan investigasi sosial dan Anugerah Adiwarta 2012 kategori liputan bidang seni budaya tentu bukti nyata kesanggupan Zaky menghadirkan latar keluarga, sosial, politik, dan ekonomi yang penuh gereget di novel.

Tanpa harus sesumbar melakukan riset mendalam dan berkepanjangan, kiprah di dunia jurnalisme investigasi berbaur dengan bahasa tulis nan imajinatif berhasil memukau pembaca. Pembaca dibawa melenggang memasuki kenyataan di novel.

Tentu saja Zaky tidak harus menjadi pengonsumsi, pengecer, pengedar, atau minta dilahirkan ulang di keluarga bandar narkoba demi kelahiran Bandar yang penuh gereget. Kita juga bisa mengingat kumpulan cerita pendek ihwal narkotika yang dihimpun dalam Rumah Tanpa Cinta (1987). Di buku inilah pembaca bertemu penulis tenar seperti La Rose, Titis Said, V. Lestari, Lastri Fardani Sukarton, dan lain-lain.

Selanjutnya adalah: Semoga kisah-kisah fiksi kami ada manfaatnya….

Fiksi Bermanfaat

Sebagai pemrakarsa penulisan buku itu, Titie Said di prakata buku menjelaskan,”Semoga kisah-kisah fiksi yang kami persembahkan ini ada manfaatnya untuk masyarakat. Kami bukan ilmuwan cendekiawan yang menguasai berbagai masalah. Kami hanyalah pengamat-pengamat manusia dan lingkungannya yang berusaha mengolah semuanya itu dalam tulisan-tulisan hasil karya kami.”

Titie tidak menggunakan kata riset demi menghindari kesan akademis dan kesengajaan. Menjadi pengamat manusia dan keseharian bisa dilakukan oleh banyak orang dalam kondisi paling tidak sengaja sekalipun. Rumah Tanpa Cinta memang sengaja dilahirkan atas otoritas Kongres Wanita Indonesia dan Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga untuk memberesi masalah narkoba dan minuman keras pada 1984.

Tersebab tujuan kemanusiaan ini tidak mungkin justru para penulis mengonsumsi narkoba demi mendapat kisah yang emosional. Tanpa nyabu atau ngganja, penulis berhasil mewartakan rasa empati mendalam atas kesedihan dan kekecewaan keluarga, orang tua, anak karena narkoba lewat dialog, diksi, perasaan.

Hanna Rambe meski mengalami perjalanan riset cukup berat untuk penggarapan Mirah dari Banda (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010) yang kali pertama diterbitkan oleh Universitas Indonesia Press pada 1983 dan edisi kedua pada 2003 oleh Penerbit IndonesiaTera sepertinya tidak sesumbar mengagungkan riset. Di edisi kedua justru kita mendapati kisah biografis kala pada masa kecil berkenalan dengan pala yang menjadi roh sepanjang novel.

Di Jakarta pada era 1950-an jajanan pala manis (daging buah pala yang diiris berbentuk spiral menggulung) adalah makanan yang sangat disukai Hanna Rambe. Inilah masa-masa nan biografis yang mendahului riset yang tidak mungkin terulang secara ragawi tapi menjelma menjadi perbekalan ingatan.

Ingatan masa kecil yang memang tidak ditampakkan di novel sebagai permulaan kerja serius menekuni sejarah pala pada masa kolonial. Liputan tentang Hanna Rambe di Majalah Litera edisi No.2/Th. 1 (2017) membuktikan kadar keseriusan Hanna Rambe sebagai pengarang bernuansa ekologis, antropologis, dan sejarah yang tidak abai pada data.

Dia berkata,”Sejak pertama ia sudah menetapkan diri sebagai pengarang. Pengarang yang mengabdi pada data dan deskripsi sejarah. Itu sebabnya ia pernah meminta izin kepada orang tuanya untuk tidak menikah seumur hidup. Pekerjaannya berisiko meninggalkan banyak waktu keluarga.”

Pada 2015 kita disapa buku berlabel roman Papua berjudul Isinga garapan penyair Dorothea Rosa Herliany. Tidak diceritakan soal kerja riset, tetapi  di halaman awal dijelaskan,”Untuk berbagai gambaran peristiwa dan banyak bagian yang dicetak miring di novel ini, saya ucapkan terima kasih kepada Dr. Siegfried Zoellner, Wigati Yektiningtyas Modouw, Susanne Reuter, Dewi Linggarsari, dan Robin Osborne.”

Selanjutnya adalah: Kita bisa membayangkan orang-orang ini sebagai lumbung cerita…

Lumbung Cerita

Kita bisa membayangkan orang-orang ini sebagai lumbung cerita atau penghubung menuju data-data penting. Sayangnya, Dorothea agak gagal mengimbangi data yang begitu melimpah dengan narasi memukau nan imajinatif. Membaca Isinga rasanya justru membaca semacam laporan yang dinovelkan atau data yang diimbuhi dengan dialog.



Jika kita mengingat beberapa jilid buku pengakuan proses kepenulisan para pengarang, Proses Kreatif, Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang yang dieditori Pamusuk Eneste, kita lebih sering dihadapkan pada istilah-istilah kepenulisan yang psikologis; naluri, ilham, ide, imajinasi, intuisi kreatif, khazanah kenangan, peristiwa biografis.

Kita tetap yakin bahwa para penulis pasti melakukan riset, tapi itu bukan tunas keagungan dari hal-hal yang mereka ciptakan. Subagio Sastrowardoyo (2009) mengatakan,”Sajak-sajak adalah suara dari bawah sadar.” Sajak bukan kerja riset!

Sebagus dan selengkap apa pun data dan penggarapan novel, belum tentu menjamin berhasil mengantar pembaca memasuki imajinasi cerita, terutama lewat bahasa. Ada penulis yang hanya berkutat dengan buku atau bahkan berputar di ruang kreatif dan nyatanya berhasil membawa pembaca memasuki cerita karena daya imajinasi mumpuni yang diekspresikan dalam bahasa.

Penulis atau pengarang memang mendapatkan amunisi tambahan berupa kepercayaan publik saat menyerukan riset yang menjadi dasar kelahiran tulisan. Riset dipersuasifkan kepada pembaca sebagai kerja keseriusan sehingga tulisan bukan omong kosong, tulisan adalah nyata.

Suatu waktu nanti saat novel karya politikus Indra Jaya Piliang terbit, apakah pembaca juga perlu mengonsumsi narkoba demi bisa meresapi ketokohan di novel? Kalau begini, sungguh boros dan berdosa jadi pembaca novel. Selain boros dan berdosa, membaca novel bisa menyebabkan masuk penjara dong!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya