SOLOPOS.COM - Joko Riyanto Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. (FOTO/Istimewa)

Joko Riyanto
Alumnus Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret. (FOTO/Istimewa)

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah (Pilgub Jateng) akan berlangsung pada Minggu, 26 Mei 2013. Ada tiga pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur, yakni Bibit Waluyo-Sudijono Sastroatmodjo, Hadi Prabowo-Don Murdono dan Ganjar Pranowo-Heru Sujatmoko. Salah satu persoalan yang patut mendapat perhatian dalam Pilgub Jateng adalah netralitas pegawai negeri sipil (PNS).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Netralitas PNS layak diwaspadai mengingat ketiga pasangan tersebut sangat berpotensi memengaruhi posisi PNS. Ketidaknetralan PNS dalam Pilgub Jateng sudah mulai tampak. Sejumlah PNS menolak menandatangani pakta integritas netral bagi PNS saat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jateng menggelar sosialisasi pengawasan pilgub. Dari PNS di 64 satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Pemprov Jateng hanya 21 orang yang bersedia menandatangani pakta integritas netral bagi PNS (SOLOPOS, 15/3).

Pembicaraan netralitas PNS bisanya mengarah pada dua posisi. PNS yang aktif ”bermain”,  mengatur dan memobilisasi massa PNS, atau massa PNS yang ”dipermainkan” atau dimobilisasi. Netralitas PNS dalam hajatan demokrasi sebenarnya adalah juga harapan dari seluruh masyarakat. PNS sebagai abdi rakyat harus berada dan menaungi seluruh golongan, termasuk mereka yang kini sedang bertarung dalam pilgub.

PNS tidak boleh memihak. Tidak boleh ada diskriminasi. Harus benar-benar netral. Para calon yang kebetulan hingga saat ini masih menduduki jabatan sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah tentu sangat tidak bijaksana apabila ia menggunakan instrumen PNS di daerah untuk mendukung diri mereka.

Berdasarkan UU No 43/1999 tentang Kepegawaian Negara secara tegas  dinyatakan ihwal netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No 43/1999 mengatur: (1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan; (2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan dalam PP No 53/2010 tentang Disiplin PNS, pada Pasal 4 angka 15 dinyatakan setiap PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan cara: (a). Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah; (b). Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; (c). Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; (d). mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat.

Ketentuan di atas jelas melarang keberpihakan PNS dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan. Sangat jelas bahwa PNS tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Sebagai abdi negara, para PNS harus berada di jalur yang umum, tidak terpengaruh pada kepentingan dari kekuatan politik yang bertarung dalam perhelatan demokrasi, apakah itu dalam pilgub atau pemilu. Jika PNS terlibat dalam politik praktis, dikhawatirkan akan berpengaruh dalam kinerja birokrasi. Birokrasi akan berlaku tidak adil. Padahal, dalam situasi dan kondisi apa pun, birokrasi harus netral.

 

Tiga Fungsi Utama

Birokrasi pemerintah dibentuk untuk mengemban tiga fungsi utama, yaitu pelayanan publik, pelaksanaan pembangunan dan perlindungan masyarakat. Sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat, seorang PNS yang duduk dalam birokrasi pemerintah dalam menjalankan tiga fungsi itu harus bersifat netral dan tidak diskriminatif.

Meskipun undang-undang dan peraturan melarang PNS terlibat dalam politik praktis, dalam kenyataannya masih kita jumpai pelanggaran yang dilakukan PNS. Pakar administrasi negara Eko Prasojo (2009) menyebutkan tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dalam pemilihan kepala daerah. Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas dan memaksa bawahan membiayai kampanye dari anggaran negara.

Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan  atau sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut kandidat, memakai atribut kandidat, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada kandidat.

Sanksi terhadap PNS yang terlibat dalam politik praktis diatur dalam PP No 12/1999. Menurut PP ini, PNS yang menjadi anggota/pengurus parpol diberhentikan dari jabatan pegawai negeri dan diberikan uang tunggu sebesar gaji pokok terakhir selama setahun. Jika dalam tempo tiga bulan ia tak melaporkan diri, ia akan dipecat.

Pasangan calon sesuai Pasal 79 ayat (1 dan 4) UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah juga dilarang melibatkan PNS sebagai peserta kampanye dan juru kampanye. Bagi PNS yang terlibat dalam dukung-mendukung atau tim sukses salah satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bisa dikenai sanksi. Sanksi itu diatur dalam PP No 53/2010 tentang Disiplin PNS. Jika pelanggarannya ringan, PNS yang bersangkutan bakal diturunkan pangkatnya, sedangkan untuk pelanggaran berat, sanksinya adalah pemberhentian dengan tidak hormat.

Menjaga netralitas PNS sangat penting dalam mewujudkan penyelenggaraan Pilgub Jateng yang aman, jujur, tertib dan bersih. Jika Pilgub Jateng berlangsung dengan jujur, demokratis dan cerdas, harapan bahwa pemilihan kepala daerah akan menghasilkan pemimpin yang reformis di Jateng akan dapat terwujud. Melalui terpilihnya kepala daerah yang reformis itu, perbaikan nasib rakyat akan dapat diwujudkan. Dalam kondisi inilah, peran PNS dalam kenetralannya sangat penting. Sekali lagi, PNS harus tetap menjaga netralitasnya dalam Pilgub Jateng 26 Mei 2013.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya