SOLOPOS.COM - Hadziq Jauhary (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (20/11/2015), ditulis Hadziq Jauhary. Penulis adalah Consumer Financing Analyst di BTN Syariah Semarang.

Solopos.com, SOLO — Akhir tahun ini kembali menjadi momen mendebarkan bagi para pengembang rumah tapak, terutama bagi pengembang yang telah memperhitungkan tidak bisa merampungkan pembangunan hingga bulan depan.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Seperti tahun-tahun sebelumnya, regulasi program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) untuk rumah tapak tahun depan yang diikuti perjanjian kerja sama operasional dengan bank-bank penyalur hingga kini belum juga muncul.

Masa berlaku Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Menpupera) Nomor 20/PRT/M/2014 dan Nomor 21/PRT/M/2014 akan habis bulan depan.

Pergantian rezim pemerintahan dari Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono kepada Joko Widodo-Jusuf Kalla ternyata tak bisa memenuhi harapan para pengembang rumah tapak supaya muncul kebijakan yang pasti terkait dengan program FLPP jauh sebelum akhir tahun sehingga nasib mereka tidak terkatung-katung setiap mendekati pergantian tahun.

Beberapa pengembang sempat menanyakan kepada saya perihal kelanjutan program FLPP. Jawabannya belum pasti ada lagi kredit pemilikan rumah (KPR) FLPP terutama dengan skema yang sama dengan tahun ini karena belum ada kepastian dari Kemenpupera.

Pemerintah tampaknya belum sadar untuk bersikap tegas terkait kebijakan FLPP agar skim KPR FLPP tak lagi terkatung-katung nasibnya pada akhir tahun atau berubah-ubah secara tiba-tiba di tengah jalan.

Kemenpupera harus membuat pernyataan dan regulasi jangka panjang yang bisa menegaskan bahwa skema KPR FLPP untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) selalu ada tiap tahun dan tidak lagi berubah-ubah secara tiba-tiba di tengah jalan.

Pada pertengahan tahun ini saja pemerintah memberi kejutan yang sempat membuat bingung mayoritas pengembang rumah tapak dengan adanya perubahan harga patokan maksimal FLPP.

Alasannya menyesuaikan kebijakan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan terkait pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi rumah bersubsidi, padahal tak sedikit pengembang yang sudah telanjur membangun rumah dengan spesifikasi harga awal dari Kemenpupera.

Perlu menjadi perhatian pemerintah bahwa angka backlog (perbandingan kebutuhan dan pasokan perumahan rakyat) diperkirakan bertambah 825.000 unit per tahun dan akan terus bertambah jika tidak segera menemukan solusinya.

Angka backlog kini masih di kisaran 15 juta unit rumah. Pengurangan backlog rumah secara signifikan sulit tercapai tanpa ada kontrol dan konsistensi pelaksanaan kebijakannya sekalipun pemerintah sudah mencanangkan program sejuta rumah pada 29 April lalu.

Betapa tidak? Pengembang takut program ini tiba-tiba dihentikan lagi seperti pada 2012 sehingga realisasi FLPP tertunda berbulan-bulan. Kebijakan rumah bersubdidi ini mutlak soal trust. Jika pengembang sudah tidak memercayai Kemenpupera, mereka dengan sendirinya tak sudi lagi mendukung kebijakan rumah bersubsidi.

Wajar saja para pengembang lebih memilih membangun rumah komersial karena menjanjikan margin keuntungan lebih tinggi dibandingkan rumah bersubsidi serta tidak menghambat arus kas mereka akibat menunggu kebijakan yang tak pasti.

Jika hal demikian terjadi, Kemenpupera pasti kelabakan sedangkan di sisi lain masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sangat menantikan kehadiran rumah murah dengan fasilitas subsidi dari pemerintah.

Hingga kini pemerintah memang masih mengalami kendala dalam hal pemenuhan suplai rumah bersubsidi. Perum Perumnas yang sangat diharapkan menyuplai rumah bersubsidi secara signifikan hingga kini masih belum bisa diandalkan.

Kecenderungan belakangan ini menunjukkan Perum Perumnas lebih membidik membangun rumah komersial. Di sisi lain, pengembang swasta belakangan ini sedang mengalami kesulitan mencari tanah yang murah tetapi tidak di lokasi terpencil guna dibangun rumah bersubsidi karena pemerintah belum juga menguasai lahan murah serta mengendalikan tata ruang dan tata guna lahan agar sesuai pemanfaatannya.

Belum lagi ditambah dengan kesulitan mengurus legalitas tanah serta legalitas proyek dan bangunan. Para pengembang swasta masih sering dipermainkan atau dipersulit orang-orang Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pemerintah kabupaten/pemerintah kota (pemkab/pemkot) sehingga proses pengurusannya menjadi sangat lama, berbelit-belit, dan berbiaya tinggi.

Faktanya hingga kini untuk membangun rumah bersubsidi pengembang setidaknya masih harus melewati 28 jenis perizinan. Beberapa izin tersebut di antaranya proses surat-surat tanah, pelepasan hak, surat persetujuan desa, surat persetujuan warga, pengajuan proposal, izin mendirikan bangunan (IMB), dan izin membangun dari warga.

Rangkainan perizinan ini bisa berbeda-beda di tiap daerah. Kompleksitas permasalahan yang sejatinya bermuara pada masalah birokrasi perizinan ini sudah saatnya segera diatasi langsung oleh pemerintah pusat.

Hukuman yang tegas dan berat seperti pemecatan pegawai negeri sipil dan penjara seumur hidup harus diterapkan bagi seluruh orang-orang BPN maupun pemkab/pemkot yang menyalahgunakan wewenang guna menghambat proses sertifikasi tanah dan perizinan pembangunan rumah bersubsidi.

Untuk memastikan ketersediaan suplai rumah bersubsidi bagi MBR, pemerintah harus segera membentuk Badan Otoritas Khusus Perumahan. Di Singapura, Tiongkok, dan Hong Kong, badan tersebut sanggup menyuplai 90%-92% kebutuhan rumah tapak, jauh dari kesanggupan pemerintah saat ini yang hanya mencapai 90.000 unit per tahun melalui Perum Perumnas atau kurang dari 1% dari total kebutuhan. [Baca selanjutnya: Kehabisan Dana]

 

Kehabisan Dana
Seluruh upaya tersebut perlu didukung konsistensi dan kesungguhan pemerintah sendiri. Bukti bahwa pemerintah setengah hati dalam penyediaan rumah rakyat tampak di depan mata. Hingga kuartal III/2015, realisasi pembangunan sejuta rumah baru mencapai 400.000 unit, didominasi pengembang swasta.



Ironisnya, meski pencapaian target masih jauh, pemerintah sudah kehabisan dana untuk menyokong program sejuta rumah karena ternyata pemerintah hanya punya anggaran Rp5,1 triliun dalam APBN 2015. Anggaran itu sudah habis sejak Juli 2015 guna membiayai pembangunan 76.000 rumah bersubsidi.

Sudah sejak awal pemerintah menghitung anggaran program sejuta rumah mencapai Rp62 triliun dan berkomitmen menghimpun seluruh dana tersebut, baik dari APBN 2015, APBN Perubahan 2015, maupun dari sumber non-APBN.

Di sisi lain, kajian terhadap peraturan terkait pengadaan rumah bersubsidi termasuk penyeragaman manajemen khusus untuk rumah MBR hingga memperpendek alur birokrasi dan melakukan pelayanan secara online juga mendesak dilakukan.

Dengan demikian, tidak ada lagi peraturan pusat dan daerah yang saling bertentangan. Selain itu, akan tercipta peraturan-peraturan yang berpihak kepada MBR untuk percepatan penyediaan rumah subsidi yang layak huni. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya