SOLOPOS.COM - Imron Rosyid imron_rosyid@yahoo.com Wiraswastawan, pemerhati masalah sosial dan politik

 

Imron Rosyid imron_rosyid@yahoo.com Wiraswastawan, pemerhati masalah sosial dan politik

Imron Rosyid
imron_rosyid@yahoo.com
Wiraswastawan, pemerhati masalah
sosial dan politik

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Kota Solo bakal memiliki peraturan daerah (perda) yang menurut saya super aneh. Dengan alasan untuk mencegah perdagangan manusia, setiap warga Kota Solo yang berjenis kelamin perempuan yang ingin bekerja di luar wilayah kelurahan tempat tinggal mereka wajib memiliki Surat Izin Bekerja Perempuan di Luar Daerah (SIBPD).

Ketentuan itu secara eksplisit alias terang benderang tercantum dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pencegahan Perdagangan Manusia yang kini dibahas DPRD Kota Solo. Pasal 7 raperda itu menyatakan seorang perempuan yang akan bekerja di luar wilayah kelurahan wajib memiliki Surat Izin Bekerja Perempuan di Luar Daerah (SIBPD) yang dikeluarkan lurah dan telah diketahui dan disahkan oleh camat setempat dan dipungut biaya.

Pada pasal berikutnya, disebutkan jika SIBPD tidak berlaku bagi perempuan yang telah berstatus karyawan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan ditempatkan di luar wilayah kelurahan. Meski demikian, bukan berarti para perempuan ”abdi negara” sudah terbebaskan dari kewajiban karena terdapat ketentuan yang jelas pula bahwa yang bersangkuta itu ”diwajibkan untuk melapor kepada lurah.”

Karena sudah sedemikian terangnya, ketentuan yang tersurat dalam pasal tersebut tidak membutuhkan penjelasan lagi. Ketentuan tersebut hanya membuktikan bahwa cara berpikir pengusul raperda ini sangat pragmatis kalau tidak bisa disebut  cupet nalar.

Konstruksi perlindungan dalam raperda ini dibangun dengan logika perempuan merupakan kelompok rentan dalam trafficking. Perempuan yang rentan diperdagangkan adalah perempuan yang bekerja ”jauh dari rumah”. Karena itu, agar tidak menjadi ”barang dagangan” sebaiknya mereka tidak bekerja di luar daerah (kelurahan) tempat tinggal.

Salah satu cara mencegah perempuan terjerumus dalam perdagangan manusia, dalam raperda ini, adalah dengan kewajiban memiliki SIBPD. Raperda ini memaparkan kemudahan teknis seseorang untuk memperoleh SIBPD. Tetapi, pertanyaannya untuk apa kemudahan itu diberikan jika sesungguhnya hanya untuk membatasi?

Hanya orang yang bernalar cupet yang memiliki pendapat SIBPD sebagai jimat penolak bala yang bernama trafficking. SIBPD ini mungkin dianggap seperti kertas rajah yang bisa membuat orang menjadi sakti mandraguna, kebal terhadap senjata tajam.

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa mereka—wakil rakyat yang terhormat di DPRD Solo–itu memiliki nalar sedemikian cupet? Pertama, penyusunan Raperda tentang Pencegahan Perdagangan Manusia ini tidak berdasarkan persoalan riil yang terjadi di masyarakat.

Hal itu bisa dilihat dari naskah akademik (NA) yang seharusnya menjadi nyawa raperda, tetapi pada kenyataannya mirip dengan makalah mahasiswa tingkat pemula. NA yang disusun tim konsultan siluman–karena tidak menyebutkan identitas anggota tim yang bisa menjadi referensi keilmuan mereka—mendedah 18 poin yang disebut sebagai suatu “kajian terhadap penyelenggaraan kondisi dan permasalahan masyarakat”.

Dari 18 poin itu, yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai asumsi daripada hasil kajian, tidak disebutkan mengapa perempuan yang bekerja di luar daerah (kelurahan?) menjadi permasalahan yang menyebabkan terjadinya trafficking.

Kalaupun ada hal yang bisa ”dipaksakan” mendekati persoalan objektif yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan perdagangan manusia, adalah pada poin ke-14 yang berbunyi ”masih adanya pandangan masyarakat di beberapa daerah tertentu yang berpendapat bahwa perdagangan anak dan manusia merupakan sebuah bisnis biasa”.

Hal yang senada dengan itu—bisa “dipaksakan” mendekati persoalan objektif—adalah poin ke-15 yang berbunyi ”khususunya berkaitan dengan masalah administrasi kependudukan, sehingga banyak muncul (dalam NA tertulis ”kuncul”) pemalsuan-pemalsuan dokumen kependudukan”.

Hampir bisa dipastikan poin ke-14 itu adalah asumsi atau bahkan khayalan belaka. Mengapa? Pernahkan ada riset yang menyebutkan masyarakat di Kota Solo, di daerah mana pun, yang memiliki hal yang demikian? Adakah kasus empiris sehingga berkesimpulan “perdagangan anak dan manusia sebagai bisnis biasa”?

Tim Konsultan ini naga-naganya lupa bahwa NA yang disusun adalah untuk penyusunan raperda yang akan berlaku di Kota Solo. Mungkin tim konsultan menemukan ada kasus tersebut tetapi di daerah lain, bukan di Solo, dan kemudian dipaksa diparalelkan dengan kondisi objektif di Kota Solo.

Jika dikaitkan dengan poin ke-15, justru ketentuan yang mewajibkan perempuan memiliki SIBPD itu menjadi tidak masuk akal. Bagaimana mungkin jika selama ini ditemukan masalah pemalsuan dokumen kependudukan, justru hendak dibebani dengan pembuatan dokumen baru?

 

Lebih Banyak Perempuan

Padahal berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang terangkum dalam Surakarta dalam Angka 2013, jumlah tenaga kerja perempuan di Kota Solo mencapai 88.342 orang atau lebih banyak daripada tenaga kerja laki-laki yang hanya 84.603 orang. Tidak akan mudah untuk memberlakukan sistem administrasi baru ini.

Kedua, nalar cupet sebagian anggota DPRD Kota Solo yang mengajukan raperda inisiatif itu bukan tidak mungkin sebagai resistensi alam bawah sadar mereka terhadap kecenderungan peran perempuan yang semakin menonjol di wilayah publik.

Kecenderungan itu bukan tanpa alasan jika merujuk semakin banyaknya pejabat publik yang berjenis kelamin perempuan. Bahkan, di DPRD Kota Solo, meski belum mampu menembus kuota 30 persen, tapi paling tidak sudah ada 10 dari 40 anggota DPRD yang berjenis kelamin perempuan.

Di birokrasi, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang menangani masalah-masalah krusial seperti pendidikan dan kesehatan juga didominasi kaum perempuan. Sebagai perbandingan, di Dinas Kesehatan terdapat 473 pegawai perempuan dari 635 orang pegawai.

Di Dinas Pendidikan, 3.446 prang dari 6.068 pegawai adalah perempuan. (Surakarta dalam Angka 2013). Bahkan, di kedua instansi itu, orang nomor satu juga perempuan. Sayangnya, pergeseran dominasi jabatan publik tersebut memang belum diikuti dengan perombakan kultur patriarkat.



Oleh karenanya saya menyebut resistensi atas kemajuan perempuan itu sebagai resistensi bawah sadar yang dimunculkan melalui kebijakan berupa usulan Raperda insiatif.

Walhasil karena kuatnya cengkeraman kultur patrialkat tersebut, meski jumlah perempuan yang menjadi pejabat publik berjibun namun gagasan-gagasan yang muncul bias gender seperti dalam Raperda tentang Pencegahan Perdagangan Manusia ini.

Padahal, jika nantinya raperda ini disetujui, dan disahkan menjadi perda, mereka bakal terjerat sendiri, termasuk anggota DPRD yang ikut membahasnya. Anggota DPRD yang perempuan dan berasal dari luar Kelurahan Karangasem, Kecamatan Laweyan, Solo juga harus memiliki SIPBD mengingat mereka berkantor di Gedung DPRD Kota Solo yang berada di Kelurahan Karangasem, Kecamatan Laweyan. Tidak lucu bukan?

 


 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya