SOLOPOS.COM - Udji Kayang Aditya Supriyanto (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (12/12/2017). Esai ini karya Udji Kayang Aditya Supriyanto, peminat kajian budaya populer dan pendengar musik metal ala Timur Tengah. Alamat e-mail penulis adalah udjias@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bikin masalah lagi. Trump seenaknya menyebut Jerusalem adalah ibu kota Israel. Sejak itu kita tiba-tiba sumuk dan kembali mengingat Palestina.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pernyataan Trump tentu menyakiti perasaan kita yang mengecam invasi Israel, atau tepatnya Zionis, terhadap Palestina. Situasi Palestina sangat gamblang. Rasanya kita pantas mengingat Lettre a un Ami Juif (Surat kepada Seorang Kawan Yahudi) yang ditulis penyair Ibrahim Sousse pada 1988.

Majalah Tempo edisi 12 Agustus 1989 menukilkannya untuk kita,”Kawan, bila bocah-bocah Palestina yang tak berdosa itu harus selalu berjatuhan dikoyak butir peluru keganasan orang Israel, ketidakacuhanmu sungguh merupakan pukulan terhadap diriku.”

Kita lantas beranjak ke Majalah Tempo edisi 1 September 1990, mengintip Rubrik Selingan dengan judul Melawan Intifadah dan Menculik Yasser Arafat. Kali ini yang dihadapi tentara Israel di Tepi Barat dan Gaza bukan lagi sel-sel gerilyawan seperti pada 1971, melainkan anak-anak Palestina yang menimpuk tentara dengan batu.

Kita boleh takjub, bocah-bocah Palestina memiliki kesadaran melawan invasi Zionis. Itulah intifadah, yang muncul di jalan-jalan di wilayah pendudukan sejak Desember 1987, yang sudah menewaskan ratusan orang?termasuk tentara Israel. Intifadah bocah-bocah Palestina menjadi gamparan epik yang direspons musisi-musisi di seluruh dunia.

Selanjutnya adalah: Di Indonesia kita mendengar Children of Gaza

Children of Gaza

Di Indonesia kita mendengar Children of Gaza. Nama grup musik folk metal itu mungkin tidak lebih kondang dari vokalisnya, Husein Alatas, yang menjadi juara kedua salah satu kompetisi menyanyi di televisi. Dari nama grup musiknya saja sudah jelas tema yang mereka garap.

Pembuktiannya ada di lagu Not a Fighter, Not a Warrior. Lagu itu meniru lagu 55:13 gubahan Purgatory yang menggambarkan konflik dua perspektif, sekalipun tetap mempertahankan dualitas protagonis-antagonis.

Pada Not a Fighter Not a Warrior, perspektif pertama adalah Zionis: be prepared!/ we will finish you all to extinction!/ we may not provide an opportunity for you!/ we make sure the pain, tears, blood, is pouring for you all!/ So taste the bloody gift from us!

Meski lagu-lagu Children of Gaza berbahasa Inggris, sebagaimana kecenderungan grup musik metal kita, penggambaran kekejaman Zionis cukup tertangkap. Perspektif Zionis yang “kejam” kemudian beralih keluguan bocah: oh, the day was getting dark/ where are you, father and mother?/ where is my doll?

Bocah di bagian kedua lagu itu masih membaca keadaan, sebelum akhirnya memutuskan melawan, berintifadah, meski sadar diri bahwa mereka bukan petarung. I do not know how to fight, I am not a fighter, not a warrior/ I am an innocent child who are tortured, persecuted, it seems you still cannot feel our pain.

Children of Gaza jelas bukan satu-satunya musikus atau band Indonesia yang memerhatikan Palestina. Awal 2000-an muncul komunitas underground yang menamakan diri One Finger Movement. Beberapa grup musik metal menjadi pentolannya: Tengkorak, Purgatory, Melody Maker, The Roots of Madinah, dan lain-lain.

Selanjutnya adalah: Mereka itu grup musik yang membawa pesan keislaman

Pesan keislaman

Mereka itu grup musik yang membawa pesan-pesan keislaman di setiap lagu mereka. Purgatory, misalnya, merilis album bertajuk 7.172 (2003) yang merujuk pada surat Al-A’raf ayat 172. Pada album berikutnya, Beauty Lies Beneath (2006), beberapa lagu Purgatory memusikalisasi kisah-kisah kenabian, semisal Jonah (tentang Nabi Yunus) dan Downfall: The Battle of Uhud (tentang perang Uhud).

Purgatory itu satu dari dua grup musik terbesar penggerak One Finger Movement selain Tengkorak. Ketimbang Purgatory, Tengkorak lebih galak pada Zionisme. Sikap itu mereka tunjukkan dalam lagu Destroy Zionism yang terhimpun di album Civil Emergency (2005).

Kegalakan Tengkorak semakin menjadi pada album berikutnya, Agenda Suram (2007). Sikap anti-Zionis kentara di lagu Boycott Israel dan Zionist Exaggration. Kemarahan juga menular kepada Amerika Serikat. Ini terdengar pada lagu United State of Asu.

Akhirnya, sikap galak terhadap Zionisme itu memuncak jadi seruan perlawanan di lagu Jihad: to whom it may concern/ which testify to syahadat/ Israel had declared/ a war by throwing words// let’s fight/ in the name of Allah.”

Lagu-lagu untuk Palestina yang digarap grup musik Indonesia umumnya disertai galak dan marah pada Zionis. Barangkali karena penggarapnya grup musik ”cadas” atau karena memang mereka memandang Palestina dari kejauhan. Palestina mendatangi kita sebagai kekejaman Zionisme. Peduli pada Palestina berarti membenci Zionisme.

Sikap itu boleh-boleh saja, meski rawan. Banyak dari kita yang akhirnya susah membedakan Zionis, Israel, dan Yahudi. Kita lantas masa bodoh dan beragama dengan hidung: semua yang berbau Yahudi harus dibenci. Kita pun abai bahwa sentimen terhadap Yahudi pada akhirnya merupakan sikap rasialis, sebagaimana sentimen pada etnis Tionghoa atau orang kulit hitam.



Selanjutnya adalah: Kita beranjak dari grup musik Indonesia

Musik Indonesia

Kita beranjak dari grup musik Indonesia dan mendekati Palestina. Kita berjumpa Orphaned Land, grup musik progresif metal yang masing-masing personelnya menganut agama samawi warisan Ibrahim: Yahudi, Kristen, dan Islam. Orphaned Land rajin mengampanyekan perdamaian tiga agama di Jerusalem.

Mereka menggubah lagu yang merespons Lettre a un Ami Juif. Jika tulisan Ibrahim Sousse menyampaikan keluhan pada Yahudi, lagu Brother (2013) gubahan Orphaned Land menjawabnya dari perspektif Yahudi. You did nothing wrong and took all the shame/ I suffered myself, yet I am to blame/ the Lord blessed us both, but we still fight and claim.

Kita mengerti, umat Yahudi pun tak begitu saja membenarkan kekejaman Zionisme. Brother hear my plea tonight/ I grew tired from these endless years of fight/ from a tiny corner stone we may build our realm of light/ please hear me, brother…

Selain Brother, kita wajib menyimak lagu lain gubahan grup musik asal Israel itu. Lagu itu berjudul All is One (2013), perwujudan sikap kebudayaan Orphaned Land selama 26 tahun kiprah musikal mereka. Dalam All is One mereka mengesampingkan perbedaan antara Yahudi, Kristen, dan Islam.

Toh, ketiganya adalah anak-anak Ibrahim. Perdamaian Jerusalem, seturut Orphaned Land, mesti melampaui segala perbedaan itu. Evil falls on each of us, there’s nothing new/ who cares if you’re a Muslim or a Jew/ the awakened ones are nothing but a few/ and the one to make the difference now is you.

Lagu itu seruan. Membela Palestina tak harus memandang muslim atau Yahudi. Pembelaan terhadap Palestina berarti pembelaan untuk warisan kebudayaan manusia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya