SOLOPOS.COM - Aris Setiawan setiawan_1085@yahoo.com Etnomusikolog Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo

Aris Setiawan  setiawan_1085@yahoo.com     Etnomusikolog  Pengajar di Institut Seni  Indonesia (ISI) Solo

Aris Setiawan
setiawan_1085@yahoo.com
Etnomusikolog
Pengajar di Institut Seni
Indonesia (ISI) Solo

Muhammad Milkhan dalam esai berjudul Riwayat Monyet dan Penguasa (Solopos, 12 November 2013) menyoroti monyet yang kini mulai kehilangan ruang hidup akibat ulah manusia, serta perilaku penguasa yang tak ubahnya seperti monyet.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sehari setelahnya, Solopos menurunkan berita yang menyatakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) tak bermasalah disebut sebagai gubernur monyet. Hal ini terkait kebijakan Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta yang mengharuskan Ibu Kota bersih dari atraksi topeng monyet.

Jakarta yang merupakan kota metropolis itu memang sedang bersolek menyambut 2014. Topeng monyet tak lagi diposisikan sebagai tontonan, namun dianggap penyiksaan terhadap binatang. Monyet dituntut untuk tampil lucu, berlenggak-lenggok layaknya manusia dengan bersepeda mini, naik becak, memakai topeng reog dan membawa gerobak.

Atraksi demikian membuat orang yang menonton tertawa terpingkal-pingkal. Topeng monyet menjadi hiburan kaki lima, dinikmati oleh anak-anak dan masyarakat akar rumput. Siapa sangka, keberadaannya sebagai sebuah seni pertunjukan di Nusantara telah berusia senja.

Jejak perjalanan topeng monyet telah menyertai liku-liku kebudayaan Indonesia. Topeng monyet memberi warna dan sumbangan besar dalam membentuk jati diri bangsa. ”Sarimin pergi ke pasar” adalah kalimat yang membekas dalam memori dan imajinasi sebagian generasi bangsa ini kala mengisahkan topeng monyet.

Hewan itu mencoba untuk ”dimanusiakan”, dinamai layaknya orang Jawa, Sarimin. Tontonan monyet diiringi dengan tetabuhan musik perkusi. Alat musik yang dimainkan berupa kendang dan alat melodi semacam saron mini dari Jawa (tak jelas berlaras slendro atau pelog).

Satu tangan si pawang memainkan alat musik, sementara tangan yang lain memegang rantai untuk menarik dan mengontrol tindak tanduk si monyet. Arena pertunjukan adalah sejauh rantai dibentangkan. Suara musik yang gaduh itu menarik perhatian anak-anak untuk mendekat.

Tidak ada patokan harga untuk menghadirkan tontonan topeng monyet. Penonton memberikan uang ala kadarnya. Pelaku pertunjukan ini berjalan keliling kompleks permukiman padat penduduk, dari satu rumah ke rumah lain.

Jejak perjalanan topeng monyet di Indonesia dapat kita telusuri lewat tulisan Matthew Isaac Cohen berjudul Multiculturalism and Performance in Colonial Cirebon (2002). Cohen menyebut pertunjukan yang menyajikan monyet itu merupakan miniatur dari sirkus yang berkembang di Eropa.

Di Jawa biasanya disebut sebagai ledhek kethek. Keberadaanya mulai semarak pada akhir 1889. Di awal kemunculannya, monyet ditemani seekor anjing. Keduanya menunjukkan atraksi lucu. Anjing diperlakukan layaknya kuda dan sang monyet adalah koboinya. Lambat laun, anjing tidak dipergunakan.

Monyet tampil secara mandiri karena dianggap lebih ringkas dan hemat. Pertunjukan topeng monyet pernah menjadi tontonan unggulan di Jawa. Tingkah polah monyet senantiasa mengundang decak kagum.

Anak-anak hingga kalangan dewasa berbondong-bondong menyaksikan. Pengusaha topeng monyet meraih untung melimpah. Kehadirannya selalu dipuja dan dinanti-nanti. Maklum saja, kala itu topeng monyet menjadi satu-satunya pertunjukan sirkus ala Indonesia.

Sementara di negara lain (Eropa), kehadiran pelpagai hewan seperti gajah, macan, singa, kuda, kuda laut, dan lumba-lumba telah terlebih dahulu menjadi atraksi hiburan.

 

Penjajahan Belanda

Semasa penjajahan Belanda, topeng monyet menemani laku hidup masyarakat kolonial yang berumah di Indonesia. Hal ini dapat ditelisik lewat foto-foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda.

Foto yang berangka tahun 1900-1920 itu memperlihatkan seorang pawang dengan dua monyetnya sedang menghibur anak-anak keturunan Belanda yang berambut pirang dan berwajah bule.

Topeng monyet menjadi ”oase” dalam melampiaskan kerinduan terhadap pertunjukan sirkus di kampung halaman (Belanda). Charles Breijer, seorang juru foto asal Belanda, mengisahkan kehidupan masyarakat Indonesia termasuk tontonan topeng monyet pada 1947-1953.

Dari foto Breijer terlihat sang pawang berpenampilan lusuh, kotor, dan tidak rapi, tak jauh berbeda dengan si monyet. Topeng monyet menjelma menjadi kesenian jalanan dan pada akhirnya menjadi tontonan masyarakat kelas bawah.

Topeng monyet semakin tersisihkan. Topeng monyet kalah oleh tontonan yang lebih menghibur, tontonan yang menyerbu lewat pelbagai media elektronik. Masyarakat semakin mengacuhkan topeng monyet.

Kampung-kampung tak lagi menjadi lahan ideal dalam mengeruk pundi-pundi keuntungan bisnis pantomim si monyet. Sang pawang tak kekurangan akal, ia menjadikan persimpangan jalan di bawah lampu merah sebagai ruang pementasan si monyet.

Pawang si monyet terdiri dari dua orang atau lebih. Tugas pawang yang lain menadahkan tangan, meminta uang seikhlasnya dari pada pengguna jalan. Banyak masyarakat yang merasa iba. Bukan pada si pawang ataupun si monyet. Namun, pada kebangkrutan eksistensi arena panggung pertunjukan si topeng monyet.

Monyet menjadi tak terurus. Monyet kemudian banyak yang terinfeksi virus dan penyakit berbahaya bagi manusia. Daily Mail dalam ulasan berjudul Misery of Indonesia’s Monkeys: Chained Macaques Forced to Dress Up In Doll Costumes and Ride Scooters for Tourists (2012) mengungkapkan hal yang tak kalah garang: penyiksaan terhadap monyet berlangsung selama menjalani masa pelatihan sebagai topeng monyet.

Banyak monyet yang mati karena tak diberi makan. Kaki diikat dan dicambuk. Pemberitaan tentang hal tersebut tiada habis di media massa. Anak-anak dan masyarakat semakin menjauhi pentas topeng monyet.

Topeng monyet menjadi bentuk pertunjukan yang paling tak dikehendaki kehadirannya di masa kini. Di balik kelucuan yang mengundang tawa, ada tragedi dan air mata.

 

Sumber

Bagaimanapun juga, topeng monyet adalah bagian dari kebudayaan, terutama seni pertunjukan masyarakat Indonesia. Topeng monyet selama ini justru setia menemani perjalanan bangsa ini di pelbagai peralihan zaman.

Membicarakan topeng monyet berarti menarasikan tentang Indonesia. Ini sama layaknya dengan membicarakan kesenian tradisi komedi stamboel, semacam ludruk atau ketoprak.

Manusia Indonesia dan (topeng) monyet telah menjadi satu senyawa yang tak dapat dipisahkan. Monyet menemukan tafsir kebebasannya lewat berbagai epos seni pertunjukan tradisi di Nusantara.

Monyet memberi inspirasi bagi terciptanya banyak karya seni yang melegenda. Monyet dianggap sebagai hewan sakral dan suci. Lahirlah kemudian cerita Lutung Kasarung di Jawa Barat atau Kethek Ogleng di Jawa Tengah.

Semua mengisahkan kegagahan dan kepandaian si monyet melebihi manusia. Garin Nugroho lewat pertunjukan Opera Jawa Ledhek Kethek (2013) dengan lugas mengisahkan monyet sebagai bapak dari manusia. Monyet disiksa, diikat, dicaci, dan dihina, namun dengan segera ia mampu bertiwikrama menjadi Hanoman yang sakti itu.

Hanoman bukanlah sembarang monyet. Ia tinggi, tegap, berjalan, dan berpikir cerdas layaknya manusia. Hanoman memiliki kemampuan dan ilmu kanuragan layaknya para dewa.

Hanoman adalah simbol bersatunya hewan (alam), manusia, dan tuhan  (dewa). Lewat monyet, epos Ramayana berusaha mengisahkan pesan kesetaraan dan keselarasan hidup antara manusia, alam, dan tuhan.

Monyet kemudian menjadi hewan terpilih. Kehadirannya dilukiskan dengan indah oleh Darwin lewat teori evolusi yang dicetuskannya. Tidak penting apakah teori itu benar atau salah. Justru ada pesan lain yang seolah mencoba disampaikan, bahwa sebenarnya monyet tak jauh beda dengan kita.

Kita adalah monyet dan monyet adalah kita. Atau bahkan, monyet lebih baik dari pada kita, manusia. Topeng monyet tak semata pertunjukan yang menyemai tawa. Topeng monyet juga banyak berkisah tentang keseimbangan hidup, kesetaraan, kemanusiaan, perjuangan, dan keadilan.

Menghilangkan topeng monyet tak cukup kiranya jika hanya dilihat berdasar domain kesehatan dan kekerasan. Faktor kebudayaan juga menjadi penting untuk dilibatkan. Topeng monyet mungkin telah tersisih dalam struktur kehidupan masa kini.

Namun, ia akan tetap menjadi bagian penting peradaban yang mampu menjelaskan dengan gamblang siapa dan dari mana sebenarnya kita berasal, dari mana Indonesia berasal dan siapa sesungguhnya Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya