SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi bandungmawardi@yahoo.co.id Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi bandungmawardi@yahoo.co.id Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi
bandungmawardi@yahoo.co.id
Pengelola Jagat Abjad
Solo

Tan Malaka (1897-1949) belum usai jadi misteri. Perdebatan atas pengakuan Tan Malaka sebagai pahlawan pernah menjadi misteri politik selama Orde Lama dan Orde Baru. Kematian Tan Malaka pun masih belum terjawab tuntas.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Diskusi dan bedah buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia IV karya Harry A. Poeze memunculkan kontroversi. Diskusi buku itu di Surabaya dan Semarang diprotes beberapa orang. Sosok Tan Malaka jadi misteri, ada yang ingin mempelajari buah pikirannya, dan ada yang menghujat.

Misteri sosok Tan Malaka bertambah dengan penemuan makam Tan Malaka di Selopanggang, Kediri, Jawa Timur. Pelbagai pihak mulai berikhtiar memberi penghormatan bagi Tan Malaka. Usulan pemindahan sisa kerangka dan tanah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, diniatkan agar ada pengakuan negara atas jasa Tan Malaka.

Ingatan kita bergerak ke masa lalu. Indonesia adalah tema besar dalam pemikiran Tan Malaka, saat menggerakkan politik di Indonesia atau di negeri-negeri asing saat mengalami pembuangan dan pengembaraan.  Tan Malaka berjulukan Bapak Republik Indonesia, konsekuensi dari komitmen mengonstruksi Indonesia, dari ide sampai tindakan.

Risalah-risalah politik Tan Malaka, sejak 1920-an, gamblang mengandung propaganda Indonesia. Risalah-risalah melawan kolonialisme merangsang para penggerak bangsa turut mengejawantahkan Indonesia berdaulat penuh. Hasrat Tan Malaka adalah merdeka 100 persen. Indonesia mesti berdaulat!

Harry A. Poeze, penekun biografi dan pemikiran Tan Malaka, selama puluhan tahun menguak pelbagai misteri. Tan Malaka diwartakan dengan publikasi buku berjilid-jilid, bermaksud agar Indonesia tak lupa sejarah, tak menghapus nama tokoh besar dalam arus pembentukan Indonesia.

Poeze membuktikan Tan Malaka berpengaruh besar, menentukan nasib Indonesia saat menapaki kolonialisme. Pelbagai ide digarap dan disajikan ke publik untuk basis pergerakan, mulai dari urusan ilmu sampai politik. Agenda pembentukan Indonesia diumumkan melalui rangkaian kata dan aksi.

Indonesia adalah ”ambisi puncak” bagi Tan Malaka. Poeze (Kompas, 29 Januari 2014) mengungkapkan Tan Malaka cuma memiliki ”baju, topi, tongkat, dan gagasan kemerdekaan 100 persen”. Bapak Republik Indonesia itu tak mau kompromi atau berunding dengan Belanda demi Indonesia berdaulat penuh.

Kerja mencari dan menemukan makam Tan Malaka di Selopanggang memberi terang atas sejarah paradoks di Indonesia. Poeze dan pelbagai pihak telah memberi keinsafan atas ”penerangan” dan pemaknaan Tan Malaka bagi Indonesia, dari masa ke masa.

Tan Malaka tak cuma imajinasi di keremangan sejarah politik Indonesia. Tan Malaka adalah tokoh dan pokok, memiliki jejak-jejak tubuh, ide, buku, partai politik. Kita dilarang lupa atau menepikan Tan Malaka dari ”epos” Indonesia, sejak awal abad XX.

 

Pengakuan dan Penghormatan

Pengakuan dan penghormatan atas Tan Malaka dengan pemindahan ke makam di Taman Makam Pahlawan Kalibata memicu keinginan warga Selopanggang (Kediri) untuk dibuatkan monumen.

Monumen ini dimaksudkan sebagai tempat ziarah. Mereka tak ingin jejak Tan Malaka di Selopanggang terhapus oleh selebrasi kepahlawanan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mereka berpikiran tentang monumen dan ziarah?

Imajinasi negara-bangsa memang identik dengan monumen, patung, museum, makam. Ejawantah dari nasionalisme, ketokohan, peristiwa, ide sering mengundang tatapan mata dan kehadiran untuk bergerak ke masa silam, menguak memori dan mencipta imajinasi di titian waktu.

Indonesia telah berlimpah patung atau monumen, representasi kepemilikan pahlawan dan narasi sejarah. Tokoh-tokoh masa lalu ”diabadikan” dengan materi batu, semen, tembaga, besi, bernama monumen.

Mereka tetap hadir setelah kematian, referensi dari memori kolektif, mengenang masa silam. Para tokoh dihormati melalui pendirian monumen-monumen dan patung-patung, mulai Soekarno-Hatta sampai tokoh-tokoh militer.

Rezim Orde Lama dan Orde Baru ”bersaing” membuat monumen, pembuktian kerja menarasikan sejarah dan pengakuan tokoh-tokoh sesuai garis idelologi penguasa. Kita mewarisi ratusan monumen, mengesahkan Indonesia adalah negeri monumen.

Soekarno pada 15 Januari 1966 berkata: Monumen itu tjelana. Tjelana buat bangsa jang hendak bangkit! Tjelana bagi satu bangsa jang hendak mendjadi satu bangsa jang sedang di dalam revolusi!

Seruan ini mengacu ke percakapan Soekarno dengan Chruchov, penguasa Uni Soviet. Soekarno memang menghendaki pembuatan monumen-monumen di Indonesia, bermisi mewartakan gagasan dan ketokohan dari sejarah Indonesia.

Monumen pun berfungsi memberi lecutan mengonstruksi masa depan. Soekarno berseru,”Monumen itu absolut perlu!” Kita mewarisi monumen-monumen dari masa Orde Lama, diimbuhi secara fantastis oleh Soeharto pada masa Orde Lama.

Jejak Orde Lama mulai berbelok saat Soeharto rajin mendirikan monumen-monumen dengan tokoh dan narasi militer. Ingat Soekarno dan Soeharto, ingat monumen.

Kita pun mendapati sambungan ambisi monumen saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampil sebagai penguasa sejak 2004. Lakon kekuasaan di Indonesia masih memerlukan monumen-monumen, bergantung kehendak dan restu penguasa.



Permintaan warga Selopanggang agar ada pendirian monumen Tan Malaka adalah kelaziman, hasrat narasi sejarah ”termaterialkan”, mengandung rangsangan imajinasi sejarah. Keinginan itu berbeda dengan ingatan-ingatan publik, sebelum ada penemuan makam.

Goenawan Mohamad (2009) dalam lakon berjudul Tan Malaka memberi narasi-narasi sejarah dan imajinasi dalam kata-kata. Ada ingatan atas Tan Malaka: Revolusi melahirkan aku. Revolusi melenyapkan aku.

Narasi mengenang Tan Malaka berkutat di pusaran kata, tak lekas mengarah menjadi monumen. Kita memerlukan fantasi, imajinasi, tafsir agar Tan Malaka tetap hadir. Monumen tak menjadi keharusan.

Kita pun bisa tergoda memiliki narasi Tan Malaka melalui sajian kalimat puitis: Ia lahir dari buku, hidup dari pustaka, dan menghilang di halaman terakhir sebuah risalah. Tan Malaka tetap ada, tak bakal sirna dalam arus sejarah dan masa depan Indonesia.

 

Ziarah

Kita tak ingin berpolemik dan berkontroversi tentang pendirian monumen Tan Malaka. Keinginan itu bisa menjadi kebijakan negara atau realisasi kehendak publik. Kita cuma ingin memiliki siasat merawat dan mengawetkan sejarah dan tokoh tanpa ”formalitas” dan pengultusan politik melalui monumen.

Sejarah Indonesia terlalu berlimpah monumen. Kita pantas mengingat sindiran Robert Musil bahwa monumen memang perlu: dilihat dan menarik perhatian.

Monumen pun bisa menjauhkan perhatian, mengakibatkan pandangan sekejap menjadi surut kembali ibarat tetesan air di taplak dilapisi minyak, tak berjeda (Benedict Anderson, 2002).

Monumen bisa mengingatkan meski rawan menghilangkan pesona dan impresi atas narasi sejarah. Monumen untuk tatapan mata tak menjamin orang menelusuri lorong-lorong sejarah, memiliki tokoh secara imajinatif dan argumentatif.

Kita tetap memiliki Tan Malaka meski tak bermonumen. Tan Malaka bersama kita, dari buku-buku sampai selebrasi-selebrasi politik. Kita tak ingin usai ”menziarahi” biografi dan pemikiran-pemikiran Tan Malaka. Ziarah tak mesti ke makam pahlawan atau monumen!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya