SOLOPOS.COM - Ahmad Saifuddin (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (20/8/2015), ditulis Ahmad Saifuddin. Penulis adalah mahasiswa Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Klaten.

Solopos.com, SOLO — Beberapa hari lalu, Jogja jadi lokasi konvoi motor gede (moge). Ada acara yang bertajuk Jogja Bike Rendezvous 2015. Acara tersebut merupakan acara skala nasional yang bertujuan mengumpulkan para pengguna moge untuk merayakan hari kemerdekaan ke-70 Indonesia dalam upacara bendera di kompleks Candi Prambanan.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Sepanjang Jumat-Senin (14-17/8), jalan menuju Prambanan dari berbagai arah diwarnai konvoi moge, ada beberapa moge yang dikendarai sendiri tanpa pengawalan polisi. Banyak orang yang merasa hak mereka sebagai pengguna jalan ditindas karena harus mendahulukan konvoi moge tersebut.

Aparat kepolisian mengawal konvoi moge sehingga konvoi moge tersebut dapat tetap berjalan meskipun traffic light menyala merah. Salah seorang warga Jogja, Elanto Wijoyono, 32, menghentikan konvoi tersebut dan mengingatkan mereka agar mematuhi rambu-rambu lalu lintas demi keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan yang lain.

Pada titik tersebut banyak pro dan kontra yang muncul. Masyarakat biasa menilai sikap Elanto tersebut sebagai sikap berani untuk melawan dan menuntut kesetaraan hak sesama pengguna jalan. Di sisi lain, peserta konvoi moge dan kepolisian berdalih konvoi tersebut legal dan berhak mendapat ”perlakuan istimewa”.

Esai ini tidak akan membicarakan peraturan yang digunakan kepolisian yang diprotes masyarakat karena peraturannya sendiri masih belum memiliki batasan yang jelas, yaitu Pasal 134 (g) UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal tersebut menyatakan salah satu pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan adalah konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan aparat kepolisian.

Esai ini hanya akan mengungkap sisi psikologis pengguna jalan secara umum dan pengendara moge. Tidak bisa dimungkiri para pengendara moge adalah ”orang-orang berduit”. Jelas butuh uang banyak untuk membeli moge.

Selain itu, moge memiliki kapasitas mesin yang sangat besar sehingga para pengendara moge akan cenderung mengendarai moge dengan kecepatan tinggi. Kondisi seperti ini menimbulkan perasaan superior dalam diri pengguna moge.

Pengawalan olah polisi menguatkan superioritas tersebut kendati batasan wewenang mengawal konvoi moge dalam pemaknaan ”konvoi” yang berhak mendapat ”perlakuan istimewa” dalam peraturan perundang-undangan masih kabur.

Keadaaan ini yang semakin memperkuat superioritas pengendara moge yang merasa berhak mendapatkan ”perlakuan istimewa” dalam kondisi apa pun, termasuk tetap melaju walau traffic light menyala merah. [Baca: Intoleran]

 

Intoleran
Pada akhirnya, sikap seperti ini berefek pada munculnya sikap intoleran dan arogansi di jalan raya, padahal mereka tidak memiliki kepentingan khusus yang harus segera didahulukan di jalan raya. Kepentingan mereka sama dan setara dengan kepentingan pengguna jalan yang lain.

Perasaan superioritas dan merasa ”harus dipentingkan” ini yang kemudian digeneralisasi oleh para pengendara moge, meskipun tanpa pengawalan polisi. Saya pernah bertemu seorang pengendara moge yang menerobos lampu merah di traffic light perempatan Tegalarum, Boyolali.

Karena sikap dan tindakan tersebut, ada orang yang menyeberang jalan hampir tertabrak. Ketika tracffic light sudah menyala hijau, saya mengejar pengendara moge tersebut sampai di traffic light pertigaan Pakis, Wonosari, yang juga terdapat pos polisi dan ada polisi yang bertugas di pos itu.

Ketika sampai di traffic light tersebut, lampu merah menyala dan pengendara moge tersebut menyalakan sirene sebagai pertanda dirinya akan lewat dan harus diberi ruang untuk tetap berjalan. Para pengguna jalan lain memberikan ruang dan polisi hanya diam saja.

Pengendara moge itu tetap melaju. Ironis sekali. Ketika masyarakat umum menerobos lampu merah, pasti polisi segera mengejar dan memberikan bukti pelanggaran. Sedangkan pengendara moge sendirian menerobos lampu merah justru dibiarkan dan tidak ditindak, padahal juga tidak memiliki kepentingan tertentu yang sifatnya sangat mendesak.

Sikap-sikap seperti ini yang menjadi perhatian khusus masyarakat. Ini bukan soal legal atau tidak, tetapi perasaaan superioritas dan harus didahulukan ini yang menjadi sumber masalah.

Setiap pengguna jalan yang memiliki kepentingan yang sama harus saling menghargai. Ini yang harus dipahami para pengendara moge dan aparat kepolisian. Terlebih lagi, slogan kepolisian adalah “melayani masyarakat”.

Apakah yang termasuk masyarakat itu hanya pengendara moge? Sangat ironis ketika pengguna moge dan aparat kepolisian mendapatkan saran dan kritik dari masyarakat, mereka justru membuat rasionalisasi dan pertahanan diri, salah satunya diperlihatkan oleh Polri melalui akun Facebook Divisi Humas Mabes Polri.

Seperti itukah mental aparat penegak hukum dan orang kaya Indonesia? Sekali lagi, orientasi pemberian ”hak istimewa” seharusnya bukan pada bentuk kendaraan dan jumlah pengguna.

Orientasi pemberian ”hak istimewa” seharusnya ditekankan pada jenis kepentingan yang jika tidak segera dilaksanakan akan menimbulkan kerugian yang besar, misalnya ambulans pengantar pasien berpenyakit kronis, mobil pemadam kebakaran, atau kendaraan pejabat negara.

Apa pun bentuk kendaraannya, berapa pun jumlah pengendaranya, meskipun mendapatkan pengawalan polisi, jika kepentingannya tidak sangat mendesak seharusnya tetap menghargai pengguna jalan yang lain dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya