SOLOPOS.COM - Danang Muchtar Syafi’i Bergiat di Korps Muballigh Mahasiswa Muhammadiyah (KM3) Soloraya Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (FOTO/Istimewa)

Danang Muchtar Syafi’i
Bergiat di Korps Muballigh Mahasiswa
Muhammadiyah (KM3) Soloraya
Alumnus Lembaga Pelatihan
Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (FOTO/Istimewa)Tulisan ini berawal dari penelitian yang dilakukan kawan-kawan saya yang akti

Tulisan ini berawal dari penelitian yang dilakukan kawan-kawan saya yang aktif di komunitas Korps Muballigh Mahasiswa Muhammadiyah (KM3) Soloraya. Mereka mengadakan penelitian berkaitan dengan profil masjid serta komparasi isi khotbah Jumat di beberapa masjid di Kota Solo. Hasilnya menarik untuk direnungkan bersama.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Sengaja masjid-masjid di Kota Solo diteliti karena di wilayah ini banyak kelompok-kelompok keagamaan dan sering kali identik dengan masalah anarkistis yang diatasnamakan agama. Menyedihkan bila mengingat roh agama yang pada mulanya senantiasa menyejukkan dan ramah kini sering tersudutkan oleh aktor-aktor politik dan kelompok atau gerakan tertentu menjadi pesakitan akibat terjadinya politisasi dan manipulasi.

Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa masjid di Kota Solo yang menampilkan khatib dengan  isi khotbah sering mengundang rasa permusuhan karena menjelekkan sesama umat Islam yang berbeda paham mengenai hal-hal yang tidak prinsipiel dan memang dimungkinkan berbeda.

Ekspedisi Mudik 2024

Masalah tata cara ibadah (ubudiyah) yang menjadi khilafiyah di antara kelompok keagamaan masih rutin dimunculkan sebagai materi khotbah. Padahal, masalah seperti itu sangat sensitif. Mustahil semua hadirin sidang Jumat berprinsip sama karena mereka berasal dari kelompok dan pemahaman atau berlatar belakang berbeda-beda.

Ada pula isi khotbah yang provokatif dan ajek mengajak ”perang”. Mungkin, bagi khatib demikian,  perang adalah satu-satunya bentuk jihad. Aksi mulia seperti menuntut ilmu, mengajar, riset yang bermanfaat dan berkarya (sengaja) ditiadakan dari makna jihad.

Khatib ”model” demikian juga selalu menekankan siapa yang bersahabat dengan umat Yahudi adalah musuh Islam dan harus diperangi. Amerika Serikat (AS) adalah pendukung setia Israel, negara bangsa Yahudi, maka menurut khatib ”model” ini siapa pun yang bersahabat dengan AS dan belajar ke sana adalah musuh umat Islam dan harus dimusnahkan.

Dulu kala, memang ada masa ketika khotbah dijadikan forum politik untuk saling menghujat dan melaknat lawan-lawan politik. Ketika khatibnya orang Bani Umayah, khotbahnya di akhiri dengan kutukan kepada para pengikut Ali yang disebut Syiah (partai Ali).

 

Posisi Strategis

Sebaliknya, ketika khatibnya dari kalangan pendukung Ali, yang dikutuk pasti orang Bani Umayah. Setelah kejadian itu, Umar bin Abdul Aziz memberi nasihat agar hal seperti itu jangan diteruskan. Umar meminta para khatib untuk mengakhiri khotbah-khotbah mereka dengan QS An-Nahl ayat 90.

Mayoritas isi khotbah Jumat era sekarang (kecuali yang ”model” saya sebut di atas) adalah warisan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang selalu mengakhiri khotbah dengan kutipan QS An-Nahl ayat 90: Sesunggahnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Nasihat Umar bin Abdul Aziz menjadi pelajaran penting dalam rangka upaya mengingatkan prinsip humanisme berbasis Islam. Mimbar Jumat merupakan salah satu tempat yang strategis bagi para dai/khatib untuk memengaruhi umat.

Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan mimbar Jumat dikatakan memiliki posisi strategis. Pertama, saat itu seluruh kaum muslimin, khususnya laki-laki yang tidak sakit, tidak gila, tidak dalam keadaan bepergian dan di masing-masing teritorial, dipastikan berkumpul di tempat-tempat untuk mengerjakan salat Jumat.

Kedua, forum salat Jumat adalah forum tetap dan rutin yang senantiasa akan terjadi selama masih ada komunitas muslim. Ketiga, forum tersebut dihadiri jemaah yang secara psikologis siap menerima nasihat karena mereka datang dengan niat beribadah. Keempat, forum tersebut berdurasi singkat, 10 menit atau paling panjang 20 menit, tidak ada tanya jawab dan haram diinterupsi.

Empat hal itu menunjukkan mimbar Jumat sangat strategis sehingga sering kali menjelang pemilihan umum (pemilu) mimbar Jumat digunakan untuk kampanye terselubung. Posisi strategis mimbar Jumat kemudian bukan menjadi wahana pencerahan umat, tetapi malah disalahgunakan untuk tujuan politik golongan.

Terlebih lagi jika pengurus masjid (takmir) memiliki afiliasi kuat dengan partai politik tertentu. Selain kampanye, indoktrinasi juga kerap muncul sebagai materi khotbah. Saya mendengar kasus serupa juga terjadi di lingkungan mimbar gereja. Namun, di masjid lebih terbuka sifatnya karena khotbah Jumat menggunakan pengeras suara sehingga bisa didengar oleh orang yang sedang melintas.

Hal yang harus menjadi perhatian adalah tampilnya para khatib di mimbar Jumat yang isi khotbahnya tidak membuat jamaah tenang, melainkan malah meresahkan dengan menyalahgunakan posisi strategis mimbar Jumat. Para khatib demikian tak menyadari bagaimana dampaknya nanti khususnya kepada hadirin sidang salat Jumat.

 

Akibat

Saalat Jumat kali pertama dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW setelah beliau hijrah ke Madinah (Yatsrib), yakni setelah turunnya firman Allah dalam QS Al-Jumu’ah ayat 9. Ayat tersebut menegaskan apabila khatib telah naik mimbar dan muadzin telah mengumandangkan azan di hari Jumat, umat Islam wajib bersegera memenuhi panggilan itu dan meninggalkan semua pekerjaan mereka.

Akibat dari penyalahgunaan mimbar Jumat dengan isi khotbah yang tidak mencerahkan itu, sekarang banyak orang yang hanya mau mengikuti salat Jumatnya saja. Agak mendingan kalau mereka terlambat mendengarkan khotbah atau tidur saat khotbah disampaikan.

Yang ironis adalah mereka enggan mengikuti khotbah dan masih asyik dengan pekerjaan mereka. Padahal, menurut ajaran fikih pada umumnya, mendengarkan khotbah dan melaksanakan salat Jumat dua rekaat berjemaah menjadi serangkaian ibadah yang tak terpisahkan.

Selain itu, jika isi (materi) khotbah hanya seputar menjelekkan kelompok lain dan provokatif tanpa data-data akurat dan faktual, jelas tak akan mampu menyelesaikan berbagai menjadi persoalan bangsa ini yang kini tak ubahnya hama yang sulit dibasmi.



Betapa banyak dan menjamurnya berbagai penyakit bangsa yang tak kunjung hilang. Bahkan, berbagai penyakit bangsa ini malah kian merajalela. Penyakit-penyakit itu antara lain korupsi, premanisme, seks bebas, kekerasan serta persoalan bangsa lainnya juga seharusnya ”disambut” oleh para khatib dan takmir masjid sebagai materi di mimbar Jumat untuk pencerahan umat.

Adalah berlebihan memang mengharapkan para khatib di mimbar Jumat (dai) memberantas kejahatan karena yang paling berwenang dan strategis adalah aparat dan lembaga penegak hukum, terutama polisi, hakim, jaksa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beberapa institusi terkait.

Akan tetapi, tanpa diterjemahkan dan didukung oleh para ahli pidato hal ihwal agama di mimbar Jumat, pesan moral agama takkan ikut andil mencerahkan dan mendewasakan rakyat. Berbagai khotbah agama selalu menekankan bahwa agama itu mengatur segala-galanya sehingga banyak orang menaruh harapan pada agama.

Mereka memandang agama itu di atas negara dan di atas semuanya. Agama seharusnya bisa mengatur dan menyelesaikan semua persoalan hidup. Lalu, bagaimanakah jika mimbar Jumat tak berfungsi sebagai tempat untuk mencerahkan umat?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya