SOLOPOS.COM - Muhammad Milkhan (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (15/7/2015), ditulis Muhammad Milkhan. Penulis saat ini bergiat di Bilik Literasi dan merupakan alumnus Program Studi Muamalah Fakultas Syariat IAIN Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Kewajiban menunaikan zakat dalam Islam memiliki makna sosial yang cukup kental namun sering terabaikan. Selain berkaitan erat dengan aspek-aspek ketuhanan, zakat juga mengandung aspek ekonomi dan  keadilan sosial.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam tata urutan rukun Islam, zakat menempati urutan ketiga dalam hal penyebutannya, yaitu setelah syahadat dan salat, meskipun secara harfiah kelima rukun Islam tersebut saling erat berhungan satu sama lain dan mengandung kadar kewajiban yang mutlak untuk dilaksanakan sesuai dengan hukum syar’i.

Keutamaan melaksanakan ibadah zakat dalam aspek ilahiah dapat kita simak melalui kadar keseriusan Tuhan mengingatkan umat-Nya berkaitan dengan zakat yang terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci Alquran. Zakat sebagai bentuk ma’rifah (definitif) disebutkan 30 kali dalam Alquran.

Dua puluh tujuh kali di antaranya disebutkan secara berangkai dalam satu ayat bersamaan dengan kewajiban salat. Rasulullah Muhammad SAW menempatkan zakat sebagai salah satu pilar utama dalam menegakkan agama Islam.

Ini tecermin dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: Islam ialah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Engkau mengerjakan salat, membayar zakat yang wajib, dan puasa bulan Ramadan (Nuruddin Mhd. Ali : 2006).

Dari banyaknya ayat dan hadis yang menyinggung persolan zakat, tentu dapat menjadi rujukan bahwa kewajiban membayar zakat merupakan aspek penting untuk menyempurnakan keislaman.

Aspek ekonomi dalam zakat dapat kita lihat melalui pola pendistribusian zakat yang begitu rapi dan transparan sesuai dengan aturan syar’i yang ditetapkan dalam Alquran, sunah Nabi Muhammad SAW, dan ijmak para ulama.

Dengan berzakat diharapkan distribusi ekonomi menjadi lebih merata  sehingga dapat mengurangi kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya. Orang-orang yang memiliki harta berlebih diwajibkan mendistribusikan kelebihan harta mereka tersebut kepada orang-orang yang kekurangan.

Sistem tata kelola zakat sangat membantu orang-orang yang dikenai wajib berzakat dalam pendistribusian harta sehingga mereka tidak kebingungan ketika ingin memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim yang memiliki harta berlebih.

Dengan demikian zakat juga dapat mengurangi celah monopoli modal yang dimungkinkan dilakukan oleh perseorang atau sebuah lembaga. Dalam memenuhi unsur keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah), ritual ibadah zakat juga diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan sosial dan kemasyarakatan. Salah satu hal terpenting yang perlu diperhatikan ketika menyangkut unsur sosial adalah pola komunikasi.

Dengan mengedepankan pola komunikasi yang lebih intensif dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban (Jalaluddin Rakhmat: 1985).

Demikian halnya pola komunikasi untuk memenuhi unsur sosial dalam zakat, yakni pola komunikasi yang diharapkan terjalin antara orang yang dikenai wajib zakat (muzaki) dengan orang yang berhak menerima zakat (mustahik).

Pola komunikasi yang tercipta seharusnya dapat menumbuhkan rasa persahabatan untuk menghindari rasa iri dan dengki (bagi mustahik), tamak dan sombong (bagi muzaki), serta dapat memelihara rasa kasih sayang sehingga timbul ikatan persaudaraan dan saling pengertian antarkeduanya.

Si kaya akan lebih mensyukuri posisinya sebagai orang yang beruntung memiliki harta yang lebih sehingga rasa belas kasih dapat dicurahkan kepada si miskin (sebagai orang yang kurang beruntung dalam hal materi) melalui bantuan materi dan dukungan moral.

Bentuk perhatian yang dicurahkan secara langsung oleh seorang muzaki kepada seorang mustahik juga penting untuk ditampakkan secara langsung. Mereka yang berposisi sebagai mustahik tentu akan lebih terkesan apabila ternyata ada sebagian golongan yang lebih beruntung (secara materi) memerhatikan nasib mereka. [Baca: Sikap Reflektif]

 

Sikap Reflektif
Mustahik juga merasa kemalangan nasib secara materi yang diderita ternyata mendapatkan perhatian dan bantuan untuk mengurangi beban hidup mereka. Sikap reflektif seorang muzaki dengan mengetahui dan berkomunikasi langsung dengan mustahik membuat rasa angkuh dan sombong sebagai orang yang lebih beruntung dapat terminimalisasi atau bahkan sirna.

Sayangnya, sering kali kita mendapati pengelolaan zakat yang tidak profesional sehingga, salah satu sebabnya, dapat menimbulkan keterputusan komunikasi antara muzaki dengan mustahik.

Hal ini dapat kita lihat ketika zakat fitrah dihimpun di kampung-kampung. Panitia zakat seolah-olah hanya melaksanakan tugas untuk menggugurkan kewajiban zakat sebagai bentuk pemenuhan unsur ilahiah semata tanpa memerhatikan unsur sosial yang mungkin dapat terjadi.

Demikian juga para muzaki hanya sekadar membayar zakat tanpa perlu tahu ke mana dan kepada siapa zakat itu akan didistribusikan. Akibatnya mereka sering kali abai terhadap nasib para mustahik yang sesungguhnya.

Seolah-olah ketika sudah menyerahkan zakat, mereka telah memenuhi tugas sebagai seorang muzaki, padahal rasa empati yang seharusnya terpupuk dengan mengetahui secara langsung kondisi seorang mustahik secara langsung sejurus kemudian terlupakan.

Selain itu, mulai dari pemilihan amil zakat, pendataan mustahik, serta tata cara pendistribusian zakat terkesan masih banyak yang secara srampangan dan tidak profesional. Dalam beberapa kasus, untuk meringankan beban, panitia zakat sering melibatkan anak-anak kecil untuk mendistribusikan zakat.

Anak-anak kecil sama sekali tidak memenuhi unsur menjadi seorang amil  zakat (distributor zakat). Untuk menjadi seorang amil ada syarat dan rukun yang harus dipenuhi terlebih dahulu, seperti mereka harus dewasa (balig), beragama Islam, jujur dan amanah, serta harus mengetahui seluk-beluk hukum zakat.



Akibat mengabaikan syarat dan rukun tersebut, dapat kita lihat betapa kacaunya sistem zakat yang kita jalankan selama ini. Pengelolaan zakat secara professional memerlukan tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur, dan amanah.

Tidak bisa kita bayangkan apabila pengelola zakat tidak menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, seperti soal muzaki, nisab (batas minimal kewajiban untuk berzakat), haul, dan mustahik zakat.

Begitu pula sulit dibayangkan apabila pengelola zakat tidak penuh dedikasi, tidak berkerja lillahi ta’ala. Tentu akan banyak ekses yang akan terjadi. Lebih-lebih bila pengelola zakat tidak jujur dan amanah.

Kemungkinan yang akan terjadi adalah zakat tidak sampai kepada mustahik dan mungkin pula hanya dipakai untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, jujur, dan amanah sangat dibutuhkan dalam sistem pengelolaan zakat agar lebih profesional.

Zakat adalah ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan rukun tertentu (Sahal Mahfud: 1994). Sebagai salah satu bentuk ibadah wajib, sudah sepantasnya kita perlu mengevaluasi tata kelola zakat agar lebih profesional, termasuk dalam pemenuhan syarat dan rukun zakat yang sesuai dengan aturan syar’i.

Zakat sebagai ibadah sosial memerlukan pola interaksi yang lebih transparan dan manusiawi agar kelak pembayaran zakat bukan hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban dalam ritual ibadah semata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya