SOLOPOS.COM - Kurnia Sya'ranie (Istimewa)

Gagasan Solopos, Jumat (12/2/2016), ditulis Kurnia Sya’ranie. Penulis adalah Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Solopos.com, SOLO — Bagi orang sakit, peribahasa ”sehat itu mahal” mungkin benar adanya. Mahalnya biaya yang dikeluarkan ketika berobat dianggap sebagai sesuatu hal menakutkan, terutama bagi masyarakat ekonomi lemah (miskin).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Eko Prasetyo (2004) pernah menulis kritik tajam lewat bukunya Orang Miskin Dilarang Sakit. Buku itu merupakan ekspresi kegundahan seorang penulis terhadap mahalnya biaya pengobatan ketika melihat orang tak mampu harus masuk rumah sakit.

Kritikan Eko menjadi pukulan telak terhadap pemerintah ketika itu, tentu sembari menyadarkan bahwa memberikan pelayanan kesehatan yang murah bagi masyarakat itu sangat penting.

Di negara dunia ketiga (berkembang), khususnya Indonesia, masalah kesehatan masyarakat baru jadi fokus perhatian pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini, terutama ketika Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disahkan.

UU BPJS bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang murah kepada seluruh lapisan masyarakat. BPJS selama 2015 telah membukukan layanan kepersertaan 157,4 juta orang, namun yang perlu diperhatikan bahwa klaim terhadap pembiayaan obat dan barang habis pakai (BHP) merupakan klaim terbesar yang harus dibayar BPJS.

Klaim itu di angka 60%-70%, terutama bagi pasien yang menjalani rawat jalan. Untuk meminimalisasi klaim pembiayaan obat, sudah selayaknya pemerintah mendorong serta memaksimalkan penggunaan obat murah (generik) di setiap rumah sakit pemerintah maupun swasta yang telah berafiliasi dengan BPJS.

Di Indonesia saat ini ada tiga jenis obat yang beredar, yaitu obat paten, obat generik bermerek (OBM), dan obat generik berlogo (OGB) yang sering disebut obat generik saja.

Obat generik berlogo peredarannya masih terbilang rendah, kini mencapai 10% dari total farmasi nasional, masih kalah dibanding obat paten yang mencapai 20%. Sedangkan obat generik bermerek paling menguasai farmasi nasional,  mencapai 70%.

Dari segi harga tampak ada perbedaan mencolok antara OBM dengan OGB, selisihnya mencapai 50%-200%, apalagi jika harga OGB dibandingkan dengan harga obat paten, selisihnya bisa mencapai 500% lebih.

Berdasarkan data kinerja industri farmasi nasional dari tahun ke tahun kerap mengalami kenaikan. Pada 2014 mencapai Rp56 triliun dan pada 2015 menjadi Rp60 triliun-Rp65 triliun (Bisnis Indonesia, 10/2).

Kondisi demikian tentu membuka persaingan usaha cukup ketat antarperusahaan farmasi di Indonesia. Guna mendongkrak nilai penjualan produk, bisa saja perusahaan farmasi melakukan tindakan tidak terpuji, yaitu dengan modus kerja sama antara perusahaan farmasi dengan rumah sakit maupun dokter dengan iming-iming bonus dan fasilitas lainnya.

Profesi dokter berstatus pegawai negeri sipil (PNS) meniscayakan perbuatan menerima bonus dan bantuan fasilitas merupakan tindakan menerima gratifikasi.
Kerja sama yang tidak baik itu sudah pasti merugikan pasien karena harus menanggung biaya obat yang lebih mahal dan juga mengikis penggunaan obat generik yang sejak lama dicanangkan pemerintah.

Tentu saya sebagai komisoner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan adanya pemberitaan seperti itu akan mengkaji secara mendalam dan mengawasi proses tata niaga persaingan usaha antarperusahaan farmasi di Indonesia.

Di tengah mahalnya harga obat, baik itu obat paten maupun obat generik bermerek yang membanjiri pasar farmasi Indonesia, ada tawaran beberapa solusi terhadap pemerintah guna menekan harga obat.

Pertama, merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, terutama Pasal 24 (b) yang berbunyi ”apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien”.
Kata ”dapat” nantinya diubah dengan kata ”wajib” karena selama ini dalam penggunaannya antara obat bermerek dengan obat generik tidak memiliki perbedaan signifikan dan khasiatnya sama.

Selain itu, penggunana obat generik dapat mengurangi beban biayayang ditanggung pasien ketika berobat, menghemat anggaran negara, dan dapat mencegah modus kerja sama tidak baik antara perusahaan farmasi dengan dokter maupun rumah sakit. [Baca selanjutnya: Tingkatkan Produksi]Tingkatkan Produksi

Kedua, meningkatkan produksi obat generik untuk ketersediaan yang lebih lama. Tuntutan penggunaan resep obat generik yang lebih banyak harus diimbangi dengan peningkatan produksinya.

Banyak rumah sakit, baik negeri maupun swasta, yang menjalin kerja sama dengan BPJS kerap mengeluhkan ketersediaan obat generik yang terbatas terutama rumah sakit di luar Pulau Jawa.

Kondisi ini terkadang memaksa dokter memberikan resep obat selain obat generik kepada pasien. Ketersediaan obat generik rata-rata 12,8 bulan, padahal idealnya 18 bulan sehingga ketersediaan obat tetap terjamin saat proses pengadaan berlangsung.

Sedangkan di Indonesia bagian timur ketersediaan obat generik rata-rata 10,4 bulan dan menyebabkan obat bisa berbulan-bulan kosong sampai pengadaan berikutnya.

Ketiga, dibuat peraturan pemerintah atau peraturan menteri kesehatan yang mensyaratkan kewajiban setiap rumah sakit atau apotek menyediakan 70% obat generik sehingga tidak ada alasan bagi dokter untuk tidak memberikan resep obat generik, terutama bagi pasien tidak mampu.

Keempat, guna menekan harga obat paten pemerintah mesti memanfaatkan perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). TRIPS merupakan salah satu bentuk perlakuan istimewa terhadap negara berkembang dalam menggunakan hak paten, salah satunya terkait dengan paten obat.

TRIPS juga memuat safe guards yang dapat dipergunakan sebagai strategi untuk menanggulangi ancaman paten terhadap akses kesehatan publik, di antaranya parallel import, compulsory license, dan government use.



Pemerintah dapat memanfaatkan parallel import, yaitu dengan membeli obat dari pihak ketiga atau negara lain, bukan langsung kepada pemegang paten. Dengan membandingkan harga obat paten di setiap negara, pengimpor obat bisa memilih atau mencari negara yang menjual harga obat paten lebih murah untuk dijadikan negara tujuan impor.

Compulsory license (linsensi wajib) adalah aturan pemerintah yang memperkenankan negara ”memaksa” pemegang paten atas obat-obatan untuk memberikan lisensi patennya kepada negara dengan kompensasi semestinya kepada pemegang paten.

Biasanya ini dilakukan ketika suatu negara menghadapi bencana atau epidemi suatu penyakit dengan tujuan demi kepentingan umum. Government use merupakan dikesampingkannya hak paten atas obat-obatan untuk kepentingan negara.

Pemerintah dapat menempuh langkah ini terutama untuk mengambil paten obat jantung, diabetes, maupun obat kanker yang banyak diderita masyarakat Indonesia.

Kelima, pemerintah bisa saja meniru kebijakan Tiongkok dengan mengeluarkan aturan yang mewajibkan industri farmasi membuat obat versi generik ketika perusahaan tersebut menjual produk di negerinya.

Ini bertujuan melindungi kepentingan kesehatan masyarakat dan dapat memberikan keleluasaan bagi perusahaan farmasi lokal untuk menduplikasi obat-obatan yang mendapat paten dari perusahaan farmasi internasional. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya