SOLOPOS.COM - Halim H.D. (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (4/9/2017). Esai ini karya Halim H.D., seorang networker kebudayaan yang tinggal di Plesungan, Karanganyar. Alamat e-mail penulis adalah halimhade@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Beberapa hari yang lalu kita mendengar kabar tentang terpilihnya Dr. Guntur dari Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, nama resminya Institut Seni Indonesia Surakarta, sebagai rektor institute tersebut. Ia segera menggantikan Prof. Dr. Sri Rochana Widyastutieningrum dari Fakultas Seni Pertunjukan yang habis masa jabatannya pada Oktober 2017.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Seremoni pergantian rektor adalah hal yang biasa. Yang mungkin bagi publik terkait pergantian rektor perguruan tinggi adalah perlu melacak lebih jauh dan mendalam terhadap visi apakah yang akan diwujudkan dalam proses pendidikan bagi kaum muda dan strategi serta politik pendidikan seperti apakah yang ingin diterapkan sebagai wujud visi itu.

Pertanyaan ini sangat kuat kaitannya dengan latar belakang sejarah lembaga pendidikan tinggi kesenian ISI Solo yang dahulu dikenal sebagai Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) yang pada periode 1970-1980 dikenal sebagai salah satu think tank atau sumber pemikiran tentang tradisi dalam konteks proses pembentukan kesenian sebagai basis kebudayaan Indonesia modern kontemporer.

Ekspedisi Mudik 2024

Selanjutnya adalah: ASKI pada periode itu menjadi sentra pemikiran…

Sentra Pemikiran

Berkaitan dengan hal itu, ASKI pada periode itu menjadi salah satu sentra pemikiran dan praktik eksplorasi dalam berbagai uji coba dari khazanah tradisi di Nusantara dan bahkan eksplorasi dari berbagai aspek teknik dan pemikiran yang datang dari Eropa dan Amerika melalui lokakarya dan penciptaan karya seni pertunjukan, khususnya tari, karawitan, dan pedalangan.

Melalui tiga aspek profesi itulah eksplorasai teknik dan pemikiran serta berbagai disiplin kesenian diuji coba dengan cara kerja kolaboratif yang bersifat inter-multidisipliner yang didukung hasil riset kepustakaan dan lapangan. Itulah sekadar gambaran reflektif untuk memberikan suatu perspektif yang bisa kita sodorkan sebagai perbandingan: adakah hal itu masih menjadi tradisi dan pijakan di ISI Solo?

Pada sisi lainnya refleksi tentang posisi ASKI pada periode itu dibuktikan melalui berbagai karya dalam konteks konservasi seperti yang dilakukan ASKI dalam berbagai jenis tari bedhayan. Jika kita kini bisa merasakan karya-karya eksploratif Prof. Rahayu Supanggah, Dr. Al. Suwardi, Mpu Subono, Mpu Waluyo, dan Mpu Darsono dalam vokal serta Dr. Nyoman Chaya dalam tari yang telah memperkaya khazanah tradisi adalah berkat sistem yang diciptakan pada 1970-an, seperti upaya pendalaman dan konservasai bedhayan sehingga bisa dikenal oleh publik berkat Mpu Tasman.

Kini ISI Solo yang telah berumur setengah abad dengan sarana yang kian menjulang dan serbakomplet menunculkan konsekuensi logis bagi para peminat tradisi dan seni pertunjukan dan kesenian umumnya, memunculkan pertanyaan: adakah sistem yang pernah menjadi salah satu acuan bagi perguruan tinggi kesenian di Indonesia itu kini mewujud dan melahirkan karya yang bisa dijadikan khazanah pemikiran dan proses pembentukan ke arah kebudayaan yang akan datang?

Dua belas tahun yang lampau, pada 2005, saya menulis sebuah esai tentang posisi ISI Solo (pada waktu itu masih disebut Sekolah Tinggi Seni Indonesia atau STSI): ketiadaan wujud produksi yang bisa dijadikan andalan jika dibandingkan dengan periode 1970-80-an. Pertanyaannya, kenapa hal itu bisa terjadi? Kenapa ketika STSI Solo yang kemudian menjadi ISI Solo yang kian bertambah tenaga pengajarnya dan sarananya kian komplet justru tak menghasilkan karya “monumental” yang inspiratif?

Sal Murgiyanto, kritikus tari, mengkritik cara pandang saya dan dianggap mencari sensasi. Lalu kritikus itu menyebut bahwa Mugiyono dan generasinya sebagai produk STSI Solo dan ISI Solo. Pada satu sisi apa yang dinyatakan oleh kritikus benar, tapi yang dilupakan oleh kritikus lulusan pascasarjana New York University  itu adalah perguruan tinggi sebagai sistem dan basis produksi.

Selanjutnya adalah: Karya-karya mereka secara gamblang bukan produk STSI dan ISI…

Karya-Karya

Artinya, generasai Mugiyono dan Slamet Gundono memang lulusan, alumni STSI Solo dan ISI Solo, namun karya-karya mereka secara gamblang jelas bukan produk STSI Solo dan ISI Solo. Saya ingin menegaskan bahwa Mugiyono, Slamet Gundono, Jarot Budidarsono merupakan produk Taman Budaya Jawa Tengah di Solo yang dikenal sebagai Taman Budaya Surakarta atau TBS dibawah pengelolaan Murtidjono (almarhum).

Tanpa dukungan TBS, untuk mengambil contoh tiga kasus itu, dan sesungguhnya banyak kasus lainnya, saya merasa mereka tidak akan “lahir” sebagai seniman yang andal dan dikenal. Sesungguhnya kita bisa melanjutkan penegasan sistem produksi berdasarkan basis sosialnya: bukankah karya-karya Prof. Rahayu Supanggah dan Al. Suwardi pada periode 2000-an, dan bisa kita tarik muncur pada periode 1990-an, adalah karena inisiatif individual bersama komunitas mereka, seperti Prof. Rahayu Supanggah dengan Komunitas Benawa itu?

Dari refleksi itu kita ingin menyaksikan ke depan suatu posisi dan kondisi ISI Solo, yang konon masuk dalam peringkat 50 besar perguruan tinggi kesenian di dunia, bisa sungguh mewujudkan visi kebudayaan. Dalam kaitan inilah kita berharap kepemimpinan rektor yang baru ini bisa melakukan debirokratisasi dan menegaskan strategi dan politik pendidikan sebagai misi lembaga pendidikan yang bukan hanya memberikan gelar karena target, tapi menciptakan insan seniman dan sarjana kesenian yang mampu memberikan inspirasi kepada lingkungan dan masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya