SOLOPOS.COM - Anton A Setyawan (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (28/7/2015), ditulis Anton A. Setyawan. Penulis adalah dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah  Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Dalam pertemuan dengan pengusaha dan akademisi yang tergabung dalam Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada 9 Juli 2015 lalu, Presiden Joko Widodo menjelaskan beberapa hal penting terkait kondisi ekonomi terkini Indonesia.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sejak awal 2015 perkembangan kondisi perekonomian terus mengalami kelesuan. Triwulan I 2015 ini pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,7%. Asian Development Bank (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2015 hanya akan 4,7%-5%, sebuah perkiraan yang pesimistis.

Sejak awal 2015 perekonomian Indonesia mengalami kelesuan yang ditandai menurunnya daya beli masyarakat. Hal ini mengakibatkan aktivitas ekonomi mengalami penurunan.

Pada level makroekonomi, pelemahan kurs rupiah yang mencapai Rp13.000 per dolar Amerika Serikat memukul industri yang didominasi penggunaan bahan baku impor.

Asian Development Bank (ADB) dalam sebuah rilis tentang melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia menyebutkan ada tiga hal yang menjadi penyebab kelesuan ekonomi saat ini.

Pertama, kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terlalu kecil untuk menggerakkan perekonomian. Hal ini terjadi karena keterlambatan pencairan anggaran akibat perubahan nomenklatur di beberapa kementerian.

Kedua, reformasi ekonomi yang belum memberikan hasil yang diharapkan. Reformasi struktural seperti pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), peraturan akuisisi lahan, dan pelayanan perizinan layanan satu pintu memerlukan waktu lebih lama untuk memberikan dampak pada perekonomian.

Ketiga, kinerja ekspor memburuk karena penurunan harga komoditas di pasar global dan pelambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, mitra dagang utama Indonesia.

Dalam pertemuan dengan para anggota ISEI, Presiden Joko Widodo menyatakan kelesuan ekonomi ini adalah harga yang harus dibayar dari reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintahannya.

Pertumbuhan ekonomi yang didominasi konsumsi domestik adalah pertumbuhan ekonomi yang rentan terhadap gejolak ekonomi. Konsumsi domestik Indonesia tinggi karena besarnya subsidi yang diberikan pemerintah. Sudah saatnya hal itu dihentikan.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo berkeinginan membangun perekonomian berbasis produktivitas. Pertumbuhan ekonomi pada era pemerintahan Joko Widodo adalah pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang didominasi investasi.

Presiden Joko Widodo menyebutkan sedang membangun ”mesin pertumbuhan ekonomi” yang baru dengan fondasi inovasi, kualitas sumber daya manusia, dan kesiapan infrastruktur. [Baca: Reformasi Struktural]

 

Reformasi Struktural
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini didominasi konsumsi domestik yang mencapai hampir 65%. Sektor investasi swasta memberikan kontribusi 20% dan investasi pemerintah memberikan sumbangan 15% kepada angka pertumbuhan ekonomi.

Pola ini rentan terhadap guncangan ekonomi sehingga pada saat ekonomi melambat, masyarakat mengalami penurunan daya beli dan ekonomi mengalami kontraksi. Kondisi saat ini adalah cermin lemahnya struktur pertumbuhan ekonomi yang didominasi konsumsi domestik.

Presiden Joko Widodo menyatakan saat ini merupakan langkah awal untuk menyiapkan ”mesin pertumbuhan ekonomi” yang baru. Apa yang dimaksud dengan ”mesin pertumbuhan ekonomi” yang baru ini?

Dalam konsep pembangunan ekonomi, saya menduga pemerintah berkeinginan mewujudkan master plan atau semacam rancang bangun pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Dalam konsep ini, pertumbuhan ekonomi sebuah negara ditopang oleh investasi swasta produktif dalam wujud industri pengolahan yang inovatif dan merupakan bagian dari mata rantai industri yang bernilai tinggi.

Prasyarat terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan adalah sumber daya manusia berkualitas, sektor keuangan yang kuat, cetak biru industri yang lengkap dengan kebijakan pendukungnya, serta infrastruktur yang dibangun berdasarkan konsep manajemen rantai pasok industri strategis.

Pemerintah saat ini sebenarnya tidak mempunyai master plan untuk mewujudkan konsep pertumbuhan ekonomi berkelanjutan ini. Konsep Nawa Cita yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah masih sangat normatif.

Konsep kemandirian ekonomi yang ada dalam dokumen Nawa Cita belum menunjukkan langkah-langkah strategis menuju master plan industri strategis sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.

Kendati demikian, harus diakui pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, langkah taktis untuk melakukan reformasi struktur ekonomi sudah berada pada jalur yang tepat.

Tiga langkah utama yang dilakukan pemerintah yaitu percepatan pembangunan infrastruktur, perbaikan defisit neraca perdagangan internasional, dan pengendalian inflasi sudah dilakukan.



Percepatan pembangunan infrastruktur dilakukan dengan hasil lumayan, yaitu penambahan jalan tol dan jalur kereta api, sementara pelabuhan laut masih mengalami kendala, yaitu lamanya waktu bongkar muat barang.

Defisit  transaksi  berjalan  turun  dari  US$5,7  miliar  (2,6% dari produk domestik bruto atau PDB)  pada  triwulan  IV 2014  menjadi US$3,8 miliar (1,8% PDB) di triwulan I2015.

Kondisi ini terjadi karena penurunan impor BBM akibat pencabutan subsidi. Angka inflasi sampai dengan triwulan I 2015 juga masih terkendali dengan inflasi tahunan di bawah dua digit. [Baca: Kebijakan Strategis]

 

Kebijakan Strategis
Pernyataan Presiden Joko Widodo tentang rencana melakukan transformasi struktur ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan berbasis industri  strategis sebagai penopang patut diapresiasi, hanya saja, belum terlihat sebuah rencana strategis yang terukur untuk mewujudkan hal tersebut.

Cetak biru industri yang ditopang sumber daya manusia berkualitas, manajemen rantai pasok terintegrasi, dan infrastruktur belum ada atau jika sudah ada belum terkomunikasikan dengan baik.

Saya khawatir jika pernyataan tentang ”mesin ekonomi baru” dari Presiden Joko Widodo hanya sekadar konsep mentah di kertas tanpa dukungan data, hanya demi menjawab rasa penasaran publik tentang lambannya respons pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi yang melambat.

Transformasi struktur ekonomi bukan perkara yang gampang, demikian juga kebijakan industri terintegrasi. Cetak biru ekonomi dan formulasi kebijakan harus disiapkan dan dikomunikasikan dengan para pelaku ekonomi.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan gaya sebagai pebisnis mungkin tidak begitu peduli dengan dokumen perencanaan karena pelaksanaan dan tindakan lebih penting dari dokumen, tetapi dia mungkin lupa bahwa pelaksana kebijakan adalah para birokrat yang memerlukan acuan untuk melaksanakan pekerjaan.

Mereka tidak terbiasa melakukan inisiatif berdasarkan perintah lisan. Masalah-masalah teknis seperti ini yang menyebabkan kebijakan pemerintah pada masa Presiden Joko Widodo sangat lambat direspons.

Mungkin Presiden Joko Widodo harus ingat ungkapan lama dalam kebijakan ekonomi ”the devil lies in the details” atau kesulitan akan muncul jika sudah menyangkut hal detail dan teknis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya