SOLOPOS.COM - Muhammadun Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wan Nasyr PWNU Yogyakarta. (FOTO/Istimewa)

Muhammadun
Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wan Nasyr PWNU Yogyakarta. (FOTO/Istimewa)

Dalam setiap kesempatan, baik diskusi, seminar, bahkan muktamar, umat beragama terus mendeklarasikan diri untuk terus melakukan pencerahan demi pencerahan kepada umat manusia. Berbagai ajang pertemuan seluruh elemen umat beragama Indonesia yang terus diselenggarakan tersebut ternyata selalu terhalang oleh rendahnya komitmen umat dalam merealisasikan.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Untuk itu, perlu membangun media yang sangat strategis untuk memikirkan ulang posisi umat beragama Indonesia dewasa ini yang dililit krisis multidimensional, baik krisis internal maupun eksternal. Tidak hanya untuk mengkaji ulang problematika umat tertentu namun juga menjadi momentum mengkaji peta pergerakan umat secara universal. Sebab langkah yang akan diambil umat Indonesia sangat terkait dengan langkah umat yang berada di penjuru dunia.

Umat Islam Indonesia khususnya adalah entitas yang sangat krusial dari umat Islam dunia sehingga gerak langkahnya akan selalu diteropong kacamata dunia internasional. Terlebih dengan makin dipojokkannya umat Islam terkait problematika kontemporer, di mana umat Islam menjadi ”biang kerok” terjadinya terorisme dan radikalisme.

Sekarang merupakan momentum paling tepat untuk menyuarakan kembali posisi umat Islam Indonesia di tengah konstelasi dunia Internasional. Selama ini, dalam pandangan Jalaluddin Rahmat, umat Islam Indonesia banyak terjebak dalam pendefinisian jati dirinya yang absurd dan tidak tuntas. Bagi Kang Jalal, ada tiga absurditas dalam pendefinisian yang masih menggejala dalam umat Islam yakni pendefinisian umat islam, pemimpin Islam dan syariat Islam.

Perbedaan dalam mendefinisikan umat Islam menimbulkan perbedaan strategi perjuangan; kompromistis versus nonkompromistis, moderat versus ekstrem, revolusioner versus evolusioner. Kelompok yang mempunyai definisi nominal cenderung bersikap kompromistis: hampir semua orang dapat disebut umat Islam dan harus diperlakukan sebagai umat Islam juga. Boleh jadi, bekerja sama dengan penjajah pun dianggap “halal” karena mereka juga bagian dari umat Islam.

Kelompok yang mendefinisikan umat Islam secara ideologikal cenderung bersikap nonkompromistis, ekstrem dan revolusiner. Lebih lanjut mereka dapat mengafirkan banyak golongan Islam yang tidak sepaham dengan mereka.

Sementara definisi tentang pemimpin Islam lebih tragis lagi. Bahkan oleh mantan Menteri Agama, Alamsyah Prawiranegara, salah satu kelemahan terbesar umat Islam adalah tidak adanya pemimpin yang bisa diterima oleh semua pihak. Dari kelemahan ini timbul kelemahan terbesar kedua, yakni tidak adanya satu program untuk umat Islam. Sejarah membuktikan, definisi tentang kepemimpinan Islam telah mencabik-cabik umat Islam sepanjang sejarah, bahkan sejak perkembangan Islam yang paling dini, ketika kaum Muhajirin berdebat dengan kaum Anshar di Saqifah bani Saidah.

Dalam pandangan Asy-Syahrustani dalam Al-Milal wan Nihal dijelaskan bahwa “Pertentangan yang paling besar di kalangan umat Islam adalah pertentangan imamah. Karena pada setiap zaman, tidak pernah pedang dihunus karena akidah Islam (sesering) seperti pedang itu dihunus karena mempertentangkan imamah”. Bahkan akhir-akhir ini, definisi imamah menjadi lubang hitam bagi para politisi muslim yang sarat dengan kepentingan.

Sementara dalam definisi syariat Islam, dalam pandangan Kang Jalal, ada kelompok yang mendefinisikan pada aspek ibadah saja dalam Islam, ada juga yang memasukkan apa saja yang dinilai baik menurut akal (termasuk dari agama lain). Dalam perkembangan kontemporer, definisi syariat Islam kian kabur. Ada yang berjuang [berjihad] menegakkan syariat Islam lewat khilafah. Mereka banyak menggunakan atribut resmi dan selalu menggelorakan jihad dalam menegakkan khilafah. Ada juga yang memaknai syariat Islam sebagai makna kontekstual yang universal. Namun yang perlu digarisbawahi, banyak di antara mereka yang terjebak dalam pendefinisiannya sendiri sehingga menolak dan menjelek-jelekkan saudara lain. Yang terjadi bukannya memperkaya khazanah pendefinisian syariat islam, namun malah pertengkaran yang tiada henti, yang kadang malah ditarik ke dalam wilayah politik praktis-pragmatis.

 

Menuju Pencerahan

Perbedaan definisi umat Islam tersebut selama ini bukannya memberikan pencerahan, namun banyak memberikan ancaman yang menyakitkan. Perbedaan tidak lagi sebagai rahmah, malah sebagai kehancuran yang menghapus mimpi masa depan. Inilah tugas paling utama yang harus direalisasikan dalam berbagai forum umat beragama di Indonesia. Semakin banyak perbedaan, di situlah sesungguhnya letak awal kebangkitan dunia Islam. Karena semakin banyak perbedaan, semakin banyak titik temu perbedaan antarberbagai definisi.

Untuk itu, ada beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam mendambakan kebangkitan umat Islam Indonesia. Pertama, melakukan revolusi konseptual. Perlu kiranya semua elemen umat Islam membangun kembali paradigma berpikir yang progresif, toleran dan transformatif. Progresif dalam arti merumuskan paradigma kemajuan, baik progresivitas teks agama maupun gerak langkah umat Islam. Toleran berarti menghargai segala perilakua dan tafsir yang dilakukan oleh kelompok lain dalam menafsirkan teks agama.

Sementara transformatif adalah membumikan tafsir progresif-tolerannya dalam ranah praksis. Adalah sebuah kehampaan manakala teks agama agama tidak mampu berbicara dalam ranah praksis yang hanya menjadi dialektika dalam seminar dan diskusi saja. Revolusi ini penting, karena revolusi konseptual jauh lebih besar pengaruhnya terhadap perubahan umat daripada revolusi fisik. Bahkan, revolusi fisik tanpa revolusi konseptual sering hanya mengulangi kesalahan lama. Pelaksanaan operasional, tanpa landasan konseptual yang jelas, malahan tidak akan pernah ada langkah operasional.

Kedua, memutus hubungan dengan godaan politik pragmatis. Godaan politik adalah penyakit laten umat islam dalam memperjuangkan hak warganya, sehingga di pertengahan jalan mereka lalai dengan tugasnya. Memutus godaan politik pragmatis adalah keniscayaan. Karena sejarah telah membuktikan betapa umat Islam hancur hanya karena pragmatisme berpolitik. Untuk itu, membangun paradigma politik kebangsaan adalah keniscayaan pula. Politik adalah sarana untuk merealisasikan misi risalah Islam. Yang harus digarisbawahi adalah kemaslahatan. Apa pun yang dilakukan harus didasarkan pada kemaslahatan umat. Hilangnya kemaslahatan berarti hilang pula misi suci yang dibawa Islam.

Kedua hal utama ini harus menjadi langkah awal umat Islam dalam mendambakan kebangkitan yang selama ini hanya sebuah ilusi. Sudah saatnya sekarang ini umat Islam merealisasikan kebangkitan yang didambakan. Kebangkitan umat Islam Indonesia akan menjadi starting point umat Islam dunia dalam merefleksikan umat Islam dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya