SOLOPOS.COM - M Fauzi Sukri, Peminat masalah ekonomi politik lokal Bergiat di Bale Sastra Kecapi Solo

M Fauzi Sukri, Peminat masalah ekonomi politik lokal Bergiat di Bale Sastra Kecapi Solo

yang jalan kaki

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

yang digenjot

yang jalan bensin

Ekspedisi Mudik 2024

semua ingin jalan

 

(Wiji Thukul, Solo, 22 November 1990)

 

Pada abad XXI ini tidak ada warga negara yang tidak membutuhkan jalan. Barangkali jalan sudah menjadi semacam hak setiap warga negara. Hampir setiap orang membutuhkan kendaraan bermotor. Setidaknya dapat dipastikan bahwa setiap keluarga di Jawa ini memiliki kendaraan bermotor atau sepeda onthel setidaknya.

Hidup tidak mungkin tanpa bergerak dan mobilitas, baik untuk urusan penghidupan, bersosial kemasyarakatan, pendidikan dan sebagainya. Dan itu harus ada jalan. “Semua ingin jalan,” kata Wiji Thukul. Saya pikir ini sudah menjadi kesadaran kolektif kita bersama saat ini, baik pemerintah atau warga negera biasa.

Jalan sudah menjadi kebutuhan dasar publik (public basic need), baik yang ada di kota, di pinggir kota atau yang berada di desa. Realitas ini membawa konsekuensi bahwa pemerintah sebagai otoritas penyedia dan pelayan kebutuhan publik wajib menyediakan jalan yang representatif.

Tapi, di beberapa desa, masyarakat terpaksa menyediakan dan membangun sendiri jalan yang mereka butuhkan karena tidak bisa berharap kepada dan menunggu pemerintah. Di beberapa wilayah, terutama karena jalan itu dipergunakan oleh masyarakat luas dan dari beberapa wilayah dan area politik-administrasi yang berbeda, warga tentu saja tidak bisa memenuhi sendiri kebutuhan jalan raya itu.

Kita bisa menyebut jalan perbatasan antara Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Boyolali dan Kota Solo, seperti di daerah Desa Gedongan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar. Beberapa jalan di daerah perbatasan lainnya bahkan juga di tengah kota kini banyak yang rusak dan berlubang-lubang.

Di daerah perbatasan tersebut, pada saat panas jalan penuh dengan debu, pada saat hujan jalan penuh dengan genangan air dan lumpur yang menjengkelkan saat cipratan mengenai pakaian dan tubuh. Tentu saja jalan-jalan rusak itu membahayakan keselamatan pengguna jalan.

Saat melewati jalan-jalan rusak itu, saya selalu berpikir: selama ini pajak kendaran yang kita bayarkan kepada pemerintah dikemanakan saja? Kok bisa-bisanya jalan yang jadi kebutuhan bersama dan merupakan bentuk pelayanan publik sampai bertahun-tahun rusak tanpa ada kehendak untuk diperbaiki. Ke mana pajak, khususnya pajak kendaraan bermotor, yang kita bayarkan setiap tahun yang jumlahnya triliunan rupiah itu?

Setiap tahun jumlah kendaran semakin bertambah. Sesungghnya tidak cuma bertambah tapi semakin membeludak. Sebagai gambaran, menurut data Masyarakat Otomotif Surakarta (Most), pada September 2011 jumlah mobil yang terjual di Kota Solo dan sekitarnya adalah 8.150 unit mobil, naik sekitar 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Pada akhir 2011, diperkirakan akan terjual 11.500 unit mobil. Ini berarti dalam sebulan rata-rata hampir 1.000 unit mobil terjual di Kota Solo dan sekitarnya (Koran Tempo, 3 November 2011). Itu belum sepeda motor yang pasti angkanya jauh lebih menakjubkan, bisa sepuluh kali lipat.

Artinya, kalau kita menghitung secara kasar pemasukan pajak kendaraan dari mobil yang baru dibeli saja, 11.500 unit dikalikan pajak Rp100.000 (angka yang sangat kecil dan perkiraan minimal), kita sudah bisa mendapatkan Rp1.150.000.000. Ini belum pajak mobil yang sudah lama dimiliki oleh warga Soloraya, dan tentu saja belum termasuk pajak sepeda motor.

Dana Rp1.150.000.000 ini saya pikir cukup untuk membangun beberapa ruas jalan yang rusak di Colomadu, sebagai pemenuhan hak kebutuhan warga. Saya juga tahu bahwa pajak yang masuk ke kas daerah tidak bisa langsung dipakai hanya untuk memperbaiki atau membangun jalan baru.

Ada pendidikan, kesehatan dan lain-lain dan ada yang perlu mendapatkan prioritas pembiayaan yang selama ini selalu melanda keuangan pemerintah daerah: pembayaran gaji pegawai negeri sipil (PNS). Dana untuk pembayaran gaji PNS ini bisa sampai 50% lebih dari total anggaran pemerintah daerah setiap tahun.

Dan dana untuk pembangunan—atau lebih tepatnya biasanya pemeliharaan dan bukan pembanguan—fasilitas pelayanan publik, seperti jalan raya, biasanya tidak sampai 10%, itu pun kalau dianggarkan. Tidak usah heran bila pada bulan Juli 2011 SOLOPOS memberitakan ancaman kebangkrutan pemerintah daerah karena masalah krisis keuangan: dana APBD hampir habis hanya untuk membayar PNS.

 

Menyamankan Penguasa

Bisa dikatakan bahwa pembangunan jalan dan fasilitas publik bukanlah prioritas utama. Pembangunan ekonomi bukan urusan utama pemerintah daerah. Saya ingat komentar sejarawan Prancis Denys Lombard (2008: 134) dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya. Ia menyatakan jalan diperbaiki bila seorang pembesar akan datang.



Lombard mengatakan hal ini berdasarkan pengamatan langsung dan berdasarkan literatur sejarah. Sejak zaman kerajaan dan kolonial Belanda pembangunan jalan selalu bersifat politis dan untuk menyenangkan dan menyamankan penguasa daripada sebagai bentuk pemenuhan hak-hak rakyat atau warga negara.

Hal ini sampai sekarang juga masih terjadi. Biasanya setelah pemilihan umum entah pemilihan gubernur, kepala daerah atau lurah, baru jalan akan dibangun. Dan sekarang ada tambahannya, bila warga sudah mendesak dengan sedikit marah-marah, protes dan memblokade jalan.

Memang terkadang terasa tidak adil jika jalan yang akan dibangun atau diperbaiki berada di perbatasan kota. Kesannya tidak adil kalau yang membangun hanya satu pemerintah daerah saja. Selama ini, tampaknya pembangunan fasilitas publik di kawasan perbatasan daerah hanya dikerjakan oleh satu pemerintah daerah. Pemerintah yang merasa dirugikan enggan membangun. Contoh yang menarik untuk hal ini adalah daerah perbatasan Solo dan Karanganyar seperti Colomadu. Banyak warga Colomadu beraktivitas di Solo, artinya mendapatkan dan menghabiskan uang di Solo daripada di Karanganyar.

Pembangunan fasilitas publik khususnya jalan raya seharusnya melibatkan kedua pemerintah daerah atau beberapa pemerintah daerah yang saling terkait, juga pemerintah pusat dan swasta. Daerah perkotaan yang padat dan berpotensi menimbulkan kemacetan di masa depan bisa dialihkan bebannya dengan pembangunan jalan.

Pembanguan jalan sedikti banyak bisa menjadi alat distribusi demografis, yang sekaligus akan membangun perekonomian seiring bertambahnya penduduk. Secara umum pembanguna jalan raya biasanya akan diikuti perkembangan ekonomi yang didukung oleh jalan itu.

Eksistensi jalan-jalan itu akan diikuti pembangunan sarana ekonomi lainnya di sekitar jalan. Jalan membuka akses pembangunan ekonomi dan membawa investor menanamkan modal mereka. Itulah kenapa dalam keadaan krisis ekonomi biasanya pembangunan jalan menjadi pilihan alternatif pemerintah untuk menanggulangi lesu dan melemahnya investasi publik. Pembangunan jalan untuk memicu investasi dan mengurangi pengangguran.

Jalan menjadi alat untuk menguatkan perekonomian dan efisiensi ekonomi saat kondisi ekonomi sedang dalam keadaan stabil. Ini sudah menjadi kesadaran umum para pemangku perencanaan ekonomi. Secara umum keuangan daerah sebenarnya mampu membangun jalan jika ada kemauan politik untuk menganggarkan dan melaksanakan.

Jadi, kerusakan jalan dan kegiatan perbaikan jalan seharusnya tidak kita temukan lagi apalagi sampai ada warga yang hendak bergabung dengan daerah administrasi-politik lain seperti dilakukan warga desa pada zaman kerajaan. Saat raja lalai dan lalim terhadap hak-hak warga dan kewajiban sebagai penguasa, warga desa biasanya akan pindah menyingkir dari daerah kekuasaan raja itu.

Jika mentalitas penguasa pengambil kebijakan masih seperti zaman kerajaan dan kolonial dan tetap emoh membangun dan memenuhi hak warga negara, mungkin kita harus ingat puisi Wiji Thukul: kalau rakyat sembunyi / dan berbisik-bisik / ketika membicarakan masalahnya sendiri  /penguasa harus waspada dan belajar mendengarkan. (fauzi_sukri@yahoo.co.id)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya