SOLOPOS.COM - Anton A Setyawan, Kepala Pusat Studi Penelitian Pengembangan Manajemen dan Bisnis (PPMB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta

Anton A Setyawan, Kepala Pusat Studi Penelitian Pengembangan Manajemen dan Bisnis (PPMB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta

Setelah pengangkatan Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo sebagai Gubernur Bank Indonesia, terjadi kekosongan jabatan Menkeu. Beberapa pihak menyatakan ada tiga kandidat kuat sebagai pengganti Agus di jabatan Menkeu, yaitu Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Chatib Basri, mantan Gubernur Bank Indonesia Darwin Nasution dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Setiap kandidat itu mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing, namun demikian mereka akan menghadapi tantangan yang sama pada saat menjadi Menkeu kelak. Masalah krusial yang harus dihadapi Menkeu baru adalah mengusahakan terjadinya stabilitas fiskal di tengah kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbebani subsidi dan utang pemerintah.

Subsidi terbesar dari APBN 2013 adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) senilai Rp193,8 triliun. Adapun total utang pemerintah sampai dengan akhir 2012 lalu adalah Rp1.975,42 triliun dengan rincian utang dalam negeri Rp612,52 triliun dan utang luar negeri  Rp1.362,9 triliun.

Menkeu baru nanti juga harus menghadapi pilihan sulit untuk menaikkan harga BBM bersubsidi atau melaksanakan pembatasan penggunaannya. Penentuan masalah BBM bersubsidi ini adalah hal yang krusial karena saat ini sudah terjadi kelangkaan BBM bersubsidi di beberapa daerah di Indonesia.

Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas) yang kemudian diubah menjadi Satuan Khusus menyebutkan bahwa jumlah BBM bersubsidi di awal Maret ini sudah melebihi kuota sebesar 0,7 persen.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, subsidi BBM dari 2009 sampai dengan 2011 terus mengalami kenaikan. Pada 2009, APBN Indonesia memberikan subsidi BBM sebesar Rp45,039 triliun, pada 2010 angka ini naik menjadi Rp88,89 triliun. APBN 2011 menganggarkan Rp92,785 triliun. Dalam APBN 2012 realisasi subsidi BBM sebesar Rp211,9 triliun, sedangkan pada t 2013 ini nilai subsidi di APBN sebesar Rp193,8 triliun.

Konsumsi BBM bersubsidi pada Januari 2013 untuk premium mencapai 2.391.418 kiloliter, solar mencapai 1.277.670 kiloliter dan minyak tanah/kerosine mencapai 95.075 kiloliter. Sedangkan pada Februari, konsumsi BBM bersubsidi untuk premium mencapai 2.192.430 kiloliter, solar mencapai 1.165.267 kiloliter dan minyak tanah mencapai 89.641 kiloliter

 

Pengetatan vs Stimulus

Kondisi APBN dalam keterbatasan biasanya mengundang keputusan untuk melakukan pengetatan fiskal, yaitu dengan penghematan. Kondisi ini yang ditempuh Amerika Serikat untuk mengurangi defisit ganda mereka yaitu defisit anggaran belanja dan neraca berjalan.

Kementerian Keuangan menargetkan defisit APBN 2013 sebesar 1,6 persen atau Rp153 triliun. Target ini bisa sulit direalisasikan karena pembengkakan konsumsi BBM bersubsidi. Pemerintah dihadapkan pada situasi mengalihkan beberapa penggunaan belanja APBN untuk menambah subsidi BBM atau menaikkan harga BBM bersubsidi.

Keputusan untuk melakukan pengetatan fiskal demi tercapainya target defisit APBN mempunyai risiko terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi karena pemerintah mengurangi belanja. Pilihan ini berisiko menyebabkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2 persen tidak tercapai.

Fakta yang terjadi selama ini menunjukkan daya serap belanja APBN rendah. Realisasi belanja pemerintah hanya 70 persen, artinya ada 30 persen dari dana APBN yang harus kembali ke kas negara dan tidak terserap ke dalam perekonomian.

Pilihan untuk mengurangi beban subsidi adalah menaikkan harga BBM bersubsidi karena rentang jarak antara harga BBM internasional dengan harga BBM bersubsidi semakin jauh. Selain itu, meningkatkan jumlah subsidi BBM ternyata memicu kenaikan konsumsi. Namun demikian, resistensi dari kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi besar.

Alasan pertama menolak kenaikan harga BBM bersubsidi adalah alasan ekonomis, yaitu target inflasi 4,9% tidak akan tercapai karena kenaikan harga BBM bersubsidi akan menyebabkan kenaikan biaya produksi. Resistensi dari kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi juga terjadi karena faktor politik.

Menaikkan harga BBM bersubsidi bagi pemerintah berkuasa saat ini berarti menyediakan ”peluru gratis” bagi lawan-lawan politik mereka pada saat pemilihan umum (pemilu) tahun depan. Artinya, pemerintah atau rezim berkuasa harus mampu membendung opini yang akan berkembang bahwa kebijakan ekonomi mereka tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Secara perhitungan ekonomi, pilihan yang paling logis untuk menjaga stabilitas fiskal sekaligus meningkatkan kemampuan stimulus dari APBN adalah menaikkan harga BBM bersubsidi pada kisaran Rp6.000 per liter. Fakta yang terjadi saat ini adalah kelangkaan BBM bersubsidi juga menyebabkan risiko kenaikan biaya produksi karena kenaikan biaya transportasi atau penundaan pengiriman barang sehingga terjadi kenaikan biaya penyimpanan. Artinya, dari sisi ekonomi menaikkan harga BBM bersubsidi atau tidak hasilnya sama yaitu sektor bisnis mengalami kesulitan.

Mekanisme

Apa sebenarnya yang dilakukan pemerintah dalam kebijakan stimulus fiskal? Ada beberapa cara yang dilakukan pemerintah dalam melakukan stimulus fiskal, yaitu, pertama, mengurangi penerimaan pajak dengan pembebasan pajak pada industri tertentu. Hal ini dilakukan jika stimulus fiskal yang dilakukan akan mengurangi beban biaya industri sehingga industri mampu melakukan ekspansi atau bertahan hidup dalam situasi krisis.

Kedua, meningkatkan belanja anggaran baik rutin maupun pembangunan. Peningkatan belanja anggaran rutin dilakukan dengan menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan anggota TNI-Polri. Adapun peningkatan belanja pembangunan dilakukan dengan peningkatan belanja pemerintah untuk proyek-proyek pemerintah seperti infrastruktur atau meningkatkan anggaran pendidikan.

Stimulus fiskal yang dilakukan oleh Menkeu baru nanti harus dilakukan dalam kerangka stabilitas fiskal. Pola ini harus dilakukan dengan kondisi potensi peningkatan subsidi BBM yang pasti terjadi. Kita menunggu Menkeu yang mampu menghadapi tantangan itu. (anton4setyawan@gmail.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya